Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Teduh

5 Mei 2016   20:08 Diperbarui: 6 Mei 2016   01:45 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pria tua tahu… diri tak layak berdekatan, namun demi mengurus Kartu Keluarga yang hilang karena rumah—bukan! Gubuk, yang tergusur sebab konon pemukiman kumuh akan dijadikan Taman Kota. Tapi… itu semua mungkin bohong, pria tua tahu itu. Rencana itu bergaung semenjak lima-enam tahun yang lalu, kenyataanya: plang pembangunan apartemen mewah berdiri di atas tanah yang dulu pernah dihuni. Dan kini, terpaksa tinggal di tepian rel kereta api, menunggu lagi sewaktu-waktu akan terkena penggusuran juga.

Tak banyak yang bisa dilakukan pria tua, hanya menunduk, menatap ubin yang tak lagi indah. Terkadang hasut diri mampu menggemuruhkan dada, ingatan pada anak-istri yang entah di mana kini.

Segurat keharuan berbaur dengan kepasrahan diri terluksis tipis di bibir yang keriput.

“Ngg, maaf, Kek,” sapa seorang gadis sepantaran siswi SMU. “Mau ngantri juga?” pria tua palingkan wajah, kembali hadirkan senyum meski tak seberapa. “Udah ambil nomor antrian, Kek?”

Pria tua menggeleng. Ahh… cepat sekali perubahan dunia, adunya di dalam hati.

“Oh, ya udah,” gadis muda hadirkan senyum, meski ia tahu pria tua mungkin risih. Bukan pada dirinya yang terlihat rapi dan bersih, tapi pada diri si pria tua itu sendiri. Tiada tega untuk mengabaikan keberadaannya, pikir sang gadis. “Aku—ambilkan, ya. Tunggu sebentar, Kek.”

“Tidak apa-apa, Mbak,” petugas yang sama datang menghampiri, begitupun rekannya. “Biar kami yang melayani.”

Si gadis kembangkan senyum, dengan gerak kedua tangan ia mempersilakan pria tua “mengadu” kepada kedua Petugas Piket itu.

“Maaf, Bapak,” ujar petugas kedua dengan sopan. “Bisa kami bantu?”

Pria tua tidak menjawab, sebab ia tahu: mulut yang entah sudah berapa lama tidak lagi mengenal sikat dan pasta gigi, pastilah akan “mengganggu” orang lain. Jadi, ia hanya mengangguk dan menyerahkan bungkusan dalam plastik kaca yang semenjak tadi ia dekap—Surat Pengantar dari RT dan RW. Dan lagi… ia tidak mengenal apa itu bahasa, apa itu tulisan.

“Hoo,” petugas kedua mengangguk-angguk. “Mari, Pak. Saya antar ke loket nomor tiga di sana,” dengan sopan ia membimbing langkah pria tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun