Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Teduh

5 Mei 2016   20:08 Diperbarui: 6 Mei 2016   01:45 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bapak pikir yang lain tidak!?” bentak petugas kedua hilang empati dan kesabaran. “Sudah jelas-jelas ada pamflet peringatan—“ ia menunjuk pamflet yang dimaksud.

Pamflet berukuran 35 x 50 cm itu bertuliskan; Memakai Celana Pendek, Tidak Kami Layani.

“Jadi—“ sambung petugas pertama. “Silakan Bapak kembali lagi nanti.”

“Haram jadah!” ludah si pria membanting kaki lantas berbalik menuju mobilnya yang jauh lebih indah ketimbang mobil-mobil lain yang terparkir di depan jalan itu.

Mobil itu meraung-raung kencang, kesengajaan demi memperlihatkan: siapa aku. Hanya dengusan cemooh yang ia dapat dari beberapa wajah di sana terhadap aksinya itu. Bahkan setelah mobil tersebut menghilang ke kiri persimpangan.

“Segitu saja, sombongnya naudzubillah,” gumam seseorang yang mengenal pria itu tadi. “Gimana kalau lebih? Mungkin singgasana Tuhan pun kaubeli…”

Jeda lima menit seorang tua ringkih—yang mungkin saja akan menyakitkan mata sebagian orang yang memandangnya—melangkah tertatih, tanpa bantuan tongkat. Perlahan… perlahan, dan terbungkuk-bungkuk. Di tangan kiri menenteng kantong plastik hitam dekil, sedekil tubuhnya, dan di tangan kanan membekap satu kantong plastik kaca yang tak bisa lagi disebut bening, di dalamnya terdapat beberapa lembar kertas.

Bulir-bulir keringat mengucur tersendat-sendat di kulit tubuh yang berlipat. Dan setiap langkah yang ia lakoni, hanya bisa ia pastikan dengan hati, sebab kedua mata tak lagi sama kala di muda dahulu, samar. Hitam berangsur memudar.

Tidak ada satu pun yang menarik di diri tua ringkih itu. Tidak ada. Kopiah tak lagi memiliki warna, tiada mampu menahan panasnya bara mentari. Baju kaos pun tak lagi hijau, bolong-bolong kecil di punggung, di ketiak, bahkan di atas bahu kiri robek lebih dari setengah panjangnya. Lebih terlihat seperti baju sexy  seorang wanita yang juga ikut mengantre di sana.

Celana kotor dekil berbau tajam. Tanpa alas kaki… tanpa alas kaki. Perlahan, ia menapakkan kaki kurus legamnya di lantai ubin, bermaksud untuk mengantre juga guna satu keperluan. Sedikit hawa sejuk yang menyapa telapak kakinya, cukup mampu menghadirkan keteduhan di wajahnya.

Beberapa orang, memang tidak mengumbar kata keberatan, namunnya sikap jelas mengutarakan. Menyisih, menjauh dari pria tua, bahkan di antaranya sembari menutup hidung yang pengap dan mulut yang nyaris saja menyemburkan isi perut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun