Tentu saja aku mencintai istriku…! Buka kupingmu lebar-lebar, kuteriakkan lagi. Aku mencintai istri dan anak-anakku!
Puas? Eeh, nanya lagi…
Iya, kaubenar—lagi. Aku menikahi dia karena komitmen. Laki-laki harus punya prinsip, Di. Sekali berkata, pantang menjilat ludah. Dan cinta, akan hadir setelah itu.
Buktinya? Hahaha, masihkah harus kautanya buktinya?
Di, Di… kau itu gimana, sih? Apa kau tidak lihat? Hampir delapan tahun kami menikah, kadang makan kadang puasa, tidur di kamar dua kali dua meter persegi, emang pernah kaudengar kami bertengkar, hmm…? Kaubandingkan saja dengan pasangan yang belum menikah tapi sudah berani panggil Papa-Mama, atau Ayang, atau Mbeb, sebut sesuka hatimu semua kata yang membuatku muntah.
Â
Sial kau, Di…
Masih saja kaubertanya, padahal aku ingin mengadu padamu. Hahh… payah. Jadi memelas, deh. Kujawab saja pertanyaan terakhirmu, sekalian mengakhiri ini. Hedeuh… masih saja menagih puisi. Baiklah. Baiklah. Kujawab tanyamu dalam puisi.
Jika ada hal yang sangat indah dan sangat pantas disyukuri, itu adalah dirimu, istriku. Pada rasa dalam setiap langkahku. Pada senyuman teduh pada setiap tulisanku. Pada rangkulan dalam setiap kesempitan yang kita hadapi.
Tiada sebersit benci bila aku pulang dengan tangan hampa. Tiada secercah cemburu dengan siapa pun aku berteman. Dan kita tetap mendendangkan syair keindahan. Yang kausuka, dan jujur… sangat kusuka.
Dengarlah kasih, dengarlah sayang. Kan kubisikkan di telinga yang jengah. Bukan kata cinta atau bujuk rayu. Bukan pula selarik kata pemanis muka.