Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[My Diary] Kau Segalanya

13 April 2016   21:50 Diperbarui: 13 April 2016   21:58 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi by; Fiksiana Community."][/caption]

Ando Ajo, No Urut 165.

 

Dear Diary

Ahh, inilah yang membuat aku malas menyentuhmu, Di. Seriously! Belum apa-apa kausudah menertawakanku. Sial…

Baiklah. Harus kuakui, terakhir kali aku menyentuhmu itu… hmm, tunggu dulu, shit! Hahaha… iya-iya, lebih dari satu dekade. Oke, aku minta maaf. Cukup? Very good.

So, boleh aku muntahkan isi perut ini?

Hahaha, jangan ngambek dong, Di. Isi kepala dan dada ini maksudnya. Boleh? Apa, puisi? Hahaha, kau makin mirip para ABG itu, Di. Hahaha, iya, akan kuhias kau dengan puisi. Nanti.

 

Baiklah, Di, tolong dengarkan baik-baik. Dan kalau bisa, berhentilah senyum-senyum sendiri, jari-jariku jadi tidak bisa bergerak. Paham! Good.

 

Kautahu, Di…

Semenjak aku punya rumah kedua dan ketiga, orang-orang mengira aku pria yang romantis, Di. Hei-hei-hei, berhentilah tertawa… dengar dulu! Nah, kan… aku tahu, kausangat mengetahui siapa aku sesungguhnya. Gak ada romantis-romantisnya. Kurasa kaubenar, Di. Yaa, karena puisi-puisi dan syairku, apalagi yang menyangkut asmara dan perasaan.

Ya pastilah, Di. Kau ini bagaimana? Tentu saja aku mencintai istriku dengan caraku sendiri. Meski kata: cinta, tiada pernah kuungkapkan. Hmm, gak pernah sih, kalau dibacakan puisi atau syair, pantun saja gak pernah kok. Hahaha, sial kau, Di.

Eeh, jangan salah kau, Di. Kala sampai di rumah, aku selalu menyanyikan lagu favoritnya dia. Yup, kaubenar. Bidadari Surga milik almarhum Uje.

Aku menaruh kepercayaan kepada dia sembilan puluh sembilan persen, Di. Pun begitu pula dia terhadapku. Eeh…? Hahaha, kalau seratus persen, itu untuk Tuhan, Di. Tuhan. Ahh, payah kau.

Sini, kukasi tahu kau, Di. Apa pun yang kulakukan di rumah kedua dan ketiga, aku selalu memberi tahu dia. Bahkan nih, Di, sampai menjawab telepon kangen Cinta Pertama saja, itu sambil dia menyuapkanku makan, Di.

Eeh…? Gila? Berengsek kau, Di. Aku tidak gila. Aku jujur apa adanya. Aku tidak suka main belakang. Haram. Perasaan dia? Ahh kau ini. Kan sudah kukatakan: lebih baik jujur berterus terang apa adanya. Daripada aku main-main sama wanita lain di belakang dia, dan dia tahu kemudian, itu jauh lebih menyakitkan, Di. Dan aku, tidak suka itu. Sekali lagi, H-A-R-A-M. Sedangkan aku, haha-hihi dengan teman-teman maya di depan dia. Nelpon kangenan sama mantan, di depan dia. Chat ini-itu, di depan dia. Pendek kata: dia tahu segalanya. Dan aku, tidak berniat selingkuh sama sekali, Di.

Dia justru bilang: “Daripada selingkuh, lebih baik nikahi saja.” Plus, pakai senyuman sambil pegang pisau tiga puluh sentimeter. Hahaha, just kidding.

Nah lhoo… mau ngomong apa kau, Di?

Kautahu, laptop ini, handphone, sama sekali tidak kukunci, Di. Tidak kugunakan password-nya, Di. Coba kautanya teman diary-mu dari pria lain? Bagiku, Di, pria yang mengunci laptop dan ponselnya, berarti ada niat mau selingkuh dan tidak ingin ketahuan sama pasangannya. Apaan sih, Di, kok malah kau yang sensi? Biarkan saja mereka mengamuk, inikan opiniku. Ya suka-suka aku dong, Di. Baaahh… Toh, mereka pasti punya tameng seribu alasan seribu argumen.

 

Baah, ditanya lagi! Eeh, Di. Ini aku mau curhat lhoo, bukan mau menjawab pertanyaanmu. Sinting! Malah berasa di dalam kantor Polisi.

Tentu saja aku mencintai istriku…! Buka kupingmu lebar-lebar, kuteriakkan lagi. Aku mencintai istri dan anak-anakku!

Puas? Eeh, nanya lagi…

Iya, kaubenar—lagi. Aku menikahi dia karena komitmen. Laki-laki harus punya prinsip, Di. Sekali berkata, pantang menjilat ludah. Dan cinta, akan hadir setelah itu.

Buktinya? Hahaha, masihkah harus kautanya buktinya?

Di, Di… kau itu gimana, sih? Apa kau tidak lihat? Hampir delapan tahun kami menikah, kadang makan kadang puasa, tidur di kamar dua kali dua meter persegi, emang pernah kaudengar kami bertengkar, hmm…? Kaubandingkan saja dengan pasangan yang belum menikah tapi sudah berani panggil Papa-Mama, atau Ayang, atau Mbeb, sebut sesuka hatimu semua kata yang membuatku muntah.

 

Sial kau, Di…

Masih saja kaubertanya, padahal aku ingin mengadu padamu. Hahh… payah. Jadi memelas, deh. Kujawab saja pertanyaan terakhirmu, sekalian mengakhiri ini. Hedeuh… masih saja menagih puisi. Baiklah. Baiklah. Kujawab tanyamu dalam puisi.

Jika ada hal yang sangat indah dan sangat pantas disyukuri, itu adalah dirimu, istriku. Pada rasa dalam setiap langkahku. Pada senyuman teduh pada setiap tulisanku. Pada rangkulan dalam setiap kesempitan yang kita hadapi.

Tiada sebersit benci bila aku pulang dengan tangan hampa. Tiada secercah cemburu dengan siapa pun aku berteman. Dan kita tetap mendendangkan syair keindahan. Yang kausuka, dan jujur… sangat kusuka.

Dengarlah kasih, dengarlah sayang. Kan kubisikkan di telinga yang jengah. Bukan kata cinta atau bujuk rayu. Bukan pula selarik kata pemanis muka.

Kau segalanya.

Segalanya...

-----o0o-----

[caption caption="Logo FC by; FIksiana Community."]

[/caption]

Untuk membaca karya Peserta lainnya sila menuju link: Inilah Perhelatan My Diary FC di Kompasiana.

Sila bergabung dan berfiksi bersama: Fiksiana Community.

 

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM DALAM EVENT MY DIARY YANG DIADAKAN OLEH GROUP FB FIKSIANA COMMUNITY.

Ando Ajo, Depok 13 April 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun