Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

2 Kali Malam Minggu

6 Februari 2016   23:32 Diperbarui: 7 Februari 2016   00:05 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rabu, 21:30:46.

“Hei, kamu di sana? Hubungi aku jika kau sudah di rumah.”

Bip...

Jumat, 20:45:59.

“Erick, ayolah Honey, angkat telepon-mu! Besok sudah weekend pertama bulan penghujan ini. Aku menagih janjimu, Erick. Erick…?”

Bip…

Sabtu, 19:02:27.

“Hon, aku gak peduli kamu sedang apa, tiga puluh menit lagi aku akan ke—“

 

“Liona-liona, i-ya, ada apa?” Erick menyeka titik keringat di dahi. Mencoba menenangkan diri, mengontrol suaranya yang mungkin akan ditanggapi berbeda oleh Liona.

“Hahh, finally…” dengus Liona di seberang sana. “Jangan pura-pura bego deh, Sayang. Gimana dengan janjimu?”

“Iya, aku pasti akan memenuhi janjiku. Ta—“

“Erick! Please… jangan mengulur-ulur terus!” Suara Liona terdengar berat dan serak di telinga Erick. “Aku gak bisa gini terus, Hon. Atau—atau kamu berniat mengingkari?”

“Bukan, Sayang. Bukan.” Semakin lama Erick melayani omongan Liona, semakin deras pula keringat yang memercik di kening. Erick harus memutar otak dengan cepat. “Gi-gini aja, malam minggu kedua, bagaimana?”

“Kamu berniat gak sih, Hon?! Dan—dan hape-mu gak aktif sama sekali!”

“Bukan-bukan seperti itu. Itu—kecopetan, iya.” Erick harus menggunakan handuk kecil untuk mengusap peluh yang membanjir. “Gini, dengar deh. Itu—kan pas tanggal empat belas. Nah, menurut kamu, bagaimana?”

“Valentine…” hening sejenak. “Baiklah, Hon. Kupikir itu lebih romantis. Ahh, kamu—kenapa bikin kejutannya lama banget, sih? Tapi ya udah. Aku suka kejutan.”

“Iya, maaf ya, Sayang.”

“It’s okay. Bye Honey, love you.”

“Bye…”

Erick menghela napas dalam-dalam. Terlepas beban untuk saat ini, pikir pria tiga puluh lima tahun. Ia memutar pandangan, dan kamar ini, benar-benar pengap. Erick menyibak gorden yang menghalangi masuknya cahaya. Dan membuka salah satu jendela, membiarkan sejenak sepoi angin menerpa kamarnya. Di atas pembaringan yang awut-awutan, ponselnya tergeletak “tak bernyawa”.

Yup, benar-benar kusut dan berantakan, gumam Erick. “Tidak lebih kusut dari otakku!”

--o0o—

Kamis, 18:25:25.

Erick akhirnya harus mengalami ketakutannya. Ia memang sudah mendengar dari rekan di kantor: akan ada pengurangan karyawan, dan Erick salah satu di antaranya. Sampai pukul empat sore tadi, Erick masih berharap namanya akan menghilang dari “list pembuangan” tersebut. Dan penantian yang amat tidak mengenakkan akhirnya berbuah kekecewaan.

Yang lebih “menguntungkan” lagi pada kondisinya saat ini, adalah tuntutan janjinya terhadap Liona sang kekasih.

“Apa yang harus kulakukan?”

Erick menghempaskan tubuhnya ke atas pembaringan yang sejak seminggu yang lalu tak tersentuh kata bersih, alih-alih rapi.

“Pikir-pikir-pikir…”

 

Dan pikiran bernas itu tak jua datang, tidak pula di dalam mimpi, hingga keesokan harinya Erick terbangun persis di tempat mana ia merebahkan tubuhnya kemarin. Dan sang surya nyaris saja berada di puncak tertingginya.

--o0o—

Sabtu, 17:01:02.

Kamar itu terlihat jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Saking rapinya, tidak ada hal yang istimewa lagi di dalam kamr itu. Erick telah memindahkan semua barang-barangnya, ke dalam dus-dus besar, dalam bungkusan kantong plastik hitam. Semua sudah dikemas.

Erick melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Senyum hambar terlukis di sana. Bukan karena mengingat janjinya kepada Liona. Tapi… arloji itu sendiri.

Malam, pukul 21:15:00.

“Sayang, kok kamu ngelamun aja dari tadi, sih? Oh iya, jam tangan kamu ke mana?”

Erick memaksakan gurat di bibirnya melengkung ke atas. Ia memenuhi janjinya untuk bersama Liona weekend ini, memesan satu meja dihiasi lilin ungu beraroma lavender kesukaan Liona. Makan malam yang romantis, dan yaa… pas di hari yang oleh orang-orang disebut: hari kasih sayang.

Kenyataannya, tidak ada satu apa pun yang mampu memberi sedikit cahaya di wajah Erick malam ini. Tidak pula dandanan menggairahkan dari Liona yang sudah dua bulan menjadi kekasihnya. Hampa.

“Kamu kenapa, sih?” dan perangai Liona kembali kambuh. “Kalau gak suka, kenapa kamu ajak aku ke sini?!”

Diajak salah, gak diajak salah. Erick hanya bisa tertawa di dalam hati, menertawai dirinya sendiri. Satu pemikiran melintas saat itu juga dalam tempurung kepala Erick.

“Ngomong dong, Sayang. Ngomong!”

“Oke.” Erick menghela napas jauh lebih dalam. Sementara pandangan Liona tertumbuk ke wajah Erick. “Yang, kamu yakin benih yang se—“

“Udah deh!” wajah Liona mendadak memerah. Dan suara yang melengking tiba-tiba, mengundang banyak pasang mata ke arah mereka berdua. “Kita dah ngomongin ini dari dua minggu yang lalu, kan? Jangan dibahas lagi!”

“Yang, Sayang, tenang dulu…” di hari lain, Erick mungkin akan berusaha menyembunyikan wajahnya dari tatapan aneh orang-orang di sekitar. Tapi tidak untuk kali ini, rasa malu sepertinya raib dari diri.

“Kamu masih mikir ini benihnya Fredy, gitu?!”

“Bukan… yaa ampun, Yang. Udah, tenang dulu.”

“Terus…?!”

“Aku hanya ingin memastikan—ntar dulu, jangan dipotong!” Erick tetap menghadirkan senyum di wajahnya, meski Liona benar-benar merasa harus segera pergi saja dari sana. “Yaa, kita dah membicarakan hal ini, aku—aku hanya ingin menepati janjiku. Hanya saja… aku baru di-PHK. Jangan takut, aku sudah menguangkan semua hartaku, termasuk… jam tangan. Jadi, kalau kamu benar ingin hidup bersamaku, hari ini juga bawa aku ketemu orang tuamu untuk mela—“

Erick terpaksa menghentikan ucapannya. Semburan air merah dari gelas di tangan Liona telah menyahut ucapannya.

Tanpa sepatah kata pun, Liona bangkit dan berlalu dari hadapan Erick.

Hari kasih sayang, ya?

Tinggallah Erick seorang diri menghadap meja yang sedianya akan menjadi saksi makan malam romantisnya dengan Liona. Erick tertunduk, tatapan dari orang-orang sekitar sedikit terasa memberatkan.

Namun, ada senyum teramat manis di ujung bibir Erick.

Kau sudah menjawab semuanya dengan baik, Liona. Sangat baik.

 

---o0o---

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 6 Februari 2016.

Sumber ilustrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun