Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Descendant

2 Februari 2016   17:32 Diperbarui: 3 Februari 2016   04:03 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode 06

When the Water Accompanied by the Wind

[Part-1] 

Episode sebelumnya... 

Sulawesi Tenggara, 2027.

Menjelang pagi, dua mil ke arah timur laut Pulau Padea Besar. Sebuah kapal kargo berbendera asing terhenti dari “perjalanannya”. Belasan speedboad—rata-rata berisi empat orang—mendampingi kapal besar tersebut.

Pria-pria di atas speedboad berpakaian serba hitam dan wajah tertutup—hanya “menyisakan” mata dan mulut. Serta, masing-masing mereka membekal berbagai jenis senjata api. Dari jenis pistol hingga laras panjang.

Sementara itu, di atas kapal kargo, lusinan orang berjaga-jaga. Sama seperti pria-pria di atas speedboad, mereka mengenakan setelan pakaian serupa, juga senjata.

Sesuatu yang tidak diinginkan mereka memaksa kapal kargo tersebut terhenti. Sesuatu yang mampu membuat pria-pria bersenjata tersebut lebih berhati-hati. Semua pandangan memindai permukaan laut yang sedikit tenang, sebagian dengan bantuan teropong.

Dhuumm…

Lagi-lagi benturan keras serupa di bagian lambung kapal kargo.

Seseorang dengan setelan pakaian serba putih memerintah dengan lantang. Meminta beberapa pengawal untuk terjun ke laut. Dengan bahasa dan dialek asingnya, ia memaki “sesuatu” yang mengganggu tujuannya.

Enam orang melompat ke dalam laut setelah mengenakan setelan pakaian selam, lengkap dengan senjata. Keadaan alam yang masih remang, tidak menyurutkan nyali keenam penyelam. Berbekal penerangan yang menempel di bagian depan kepala masing-masing—sebagian lagi penerangan berasal dari senter di atas laras senjata—mereka menyelam lebih dalam. Menelisik setiap jengkal bagian bawah kapal kargo.

Para penyelam membagi diri menjadi dua kelompok, tiga orang memeriksa lambung sisi kiri, tiga lainnya di sisi kanan. Dalam kehati-hatian setiap mereka memeriksa lapisan terbawah kapal tersebut, mungkin saja ada bagian yang penyok dan hal lainnya.

Seorang penyelam yang berada di sudut buritan—di dekat dua baling-baling besar—melihat bayangan sesuatu. Kecemasan sedikit melanda. Cahaya penerangan di laras senjatanya memindai kegelapan. Beberapa detik ia tidak melihat satu apa pun yang asing, tidak pula hiu besar yang mungkin saja hidup di perairan itu. Kembali ia menelisik dinding kapal. Benar saja. Ia menemukan dinding di ujung belakang penyok, seakan tertubruk sesuatu yang besar dan kuat.

Sang penyelam kembali memutar tubuh, memindai keadaan lebih saksama. Ia sangat yakin, baru saja mendengar pergerakan sesuatu yang besar di belakangnya. Namun, sekali lagi, laut pagi tidak menampakkan apa-apa—setidaknya, belum. Cahaya senter di senjatanya berkelabat beberapa kali sebelum kecemasan mengambil alih tubuhnya. Dengan gerakan—isyarat—tergesa-gesa, ia memanggil seorang rekan terdekat.

Penyelam yang berada di tengah—sisi kiri lambung kapal—melihat isyarat rekannya, namun yang membuat penyelam yang satu ini tercekat adalah: sosok rekannya itu tahu-tahu tertarik cepat ke belakang. Seolah ada kekuatan besar yang menghela tubuhnya. Kalut, dan pandangan yang terbatas sebab terhalang oleh gelembung-gelembung yang muncul tiba-tiba, ia melepas beberapa kali tembakan.

Empat penyelam sama menyadari aksi rekannya, dan satu dari rekan mereka menghilang. Merasa sesuatu yang buruk telah terjadi, senjata di tangan siaga, siap ditembakkan.

Rona tembaga sang fajar mampu memberi penerangan hingga ke dalam laut, meskipun belum lepas dari kecemasan, lima penyelam yang tersisa masih merasa beruntung. Namun, terang justru membawa kekhawatiran lainnya, memupuk kecemasan di diri mereka.

Sesuatu yang-belum-jelas-apa-itu seakan menjadikan mereka berlima target, berenang cepat mengelilingi kelimanya, meninggalkan gelembung-gelembung halus yang sangat mengganggu penglihatan para penyelam.

Takut hal buruk menimpa diri—meski kelimanya sama meyakini sesuatu tersebut bukanlah predator laut yang pernah mereka kenal—tanpa komando sama sekali, kelimanya berenang cepat menuju permukaan.

Para pria di atas speedboad serentak mengangkat para penyelam dari dalam air. Melihat kecemasan di diri para penyelam membuat mereka bersikap waspada. Seorang di antaranya meneriakkan peringatan terhadap orang-orang di atas kapal kargo. Moncong-moncong senjata sama mengarah ke permukaan laut.

Ketenangan kurang dari dua menit sangat menguras pikiran dan konsentrasi pria-pria bersenjata.

Duakkk…

Speedboad di depan haluan kapal kargo terlempar ke atas berikut dengan empat orang di atasnya, dan kembali terhempas ke permukaan laut dengan keras. Empat orang gelagapan mencapai permukaan, senjata di tangan dipentang. Beberapa detik, mereka tidak melihat satu apa pun, dengan cepat berenang menuju speedboad lainnya.

“Hurry up!”

Pria di atas speedboad—sisi kanan kapal kargo—mengulurkan tangan pada rekannya yang berenang ke arahnya. Belum lagi ia berhasil menjangkau tangan sang rekan, senjata di tangan kembali ia siagakan. Bayang sesuatu yang berenang cepat di bawah sang rekan menimbulkan kekhawatiran teramat di diri pria tersebut.

Melihat rekannya mengokang senjata dengan tiba-tiba, pria yang masih di dalam air pun melakukan yang sama. Kecemasan di wajahnya jauh lebih hebat dibanding rekannya di atas itu. Lima detik berlalu, dan ia tidak melihat sesuatu apa pun di bawah kakinya. Dengan cepat ia membalik tubuh, menggapai reling di pingggiran speedboad, dan berusaha memanjat, seorang rekan lainnya membantu menarik tubuhnya.

Belum usai tubuhnya terangkat dari air, sesuatu meremas kencang pergelangan kakinya. Pria itu menjerit kesakitan. Entah bagaimana dan kekuatan apa, yang jelas pergelangan kaki berlapis sepatu PDL itu remuk, itu yang dirasakan pria tersebut. Sang rekan yang membantu menarik tubuhnya dilanda ketakutan, meski sekuat tenaga ia menarik tubuh temannya itu, namun tak jua sedikitpun beringsut. Belum habis kebingungan mereka yang di atas speedboad, kebingungan lain datang melanda. Tubuh pria yang melolong kesakitan tersebut tersentak lepas dari pegangan. Satu kekuatan lebih besar dari mereka menyeret tubuh pria tersebut ke kedalaman laut.

Tanpa tahu apa atau siapa yang menjadi musuh, pria-pria bersenjata memuntahkan amunisi ke permukaan. Membabi buta, hingga, asap-asap putih dari letusan setiap amunisi sedikit menutupi pandangan. Ratusan butir peluru melesat ke berbagai arah di sepanjang kedua sisi kapal kargo.

Lebih dari dua menit mereka menembaki “hantu” tersebut dan berhenti. Namun tak satu jua tanda-tanda memuaskan—setidaknya noda darah entah dari makhluk apa pun itu yang bisa memerahkan sebagian kecil air laut. Tidak ada.

Splaaasss…

Sesosok makhluk melompat, keluar dari dalam laut, di sisi timur kapal kargo. Tingginya lompatan dan kemunculan tiba-tiba tersebut, membuat semua pria-pria—lebih didominasi orang asing—di sisi yang sama, terperangah.

Cahaya merah tembaga sang fajar terhalang sosok yang baru saja menampakkan ujudnya itu. Dayinta Bombang. Hanya saja, separuh tubuh ke bawahnya—dari pusat—berbentuk setengah ikan. Rambut panjang tergerai, basah, tersapu angin. Riap-riapan tak ubahnya tentakel-tentakel gurita. Dan butiran-butiran air yang berhamburan bersama sosoknya yang melompat tinggi ke udara itu, berkilauan memantulkan rona merah sang mentari baru.

Sepersekian detik, tidak satu pun pria-pria bersenjata yang sanggup bergerak, tidak pula suara. Begitu juga mereka yang di atas kapal kargo. Kemunculan dramatis dan begitu anggun di bawah megahnya payung fajar, menghipnotis puluhan pasang mata.

“Me—mermaid…” ucap beberapa mulut.

Hanya ada satu orang saja yang justru menanggapi kemunculan Dayinta Bombang adalah satu peluang.

“You, lit-mother-f…” pria dengan setelan putih-putih merampas satu senjata dari tangan pria berpakaian hitam-hitam—senjata laras panjang. “Eat this, you bastard…!!!”

Pria yang adalah pimpinan dari “rombongan” tersebut, melepas rentetan tembakan ke arah Dayinta Bombang yang masih menggantung di udara.

Seakan tersadar dan mendapat komando, pria-pria lainnya pun menembaki sosok yang terlihat anggun tersebut.

Segurat ketenangan terukir indah di bibir Dayinta Bombang. Sepasang mata tiba-tiba terbuka, bola mata berubah semerah darah. Dua tangan terbentang rendah, sama mengepal. Begitu gaya gravitasi mengambil alih, Dayinta Bombang menukik dengan kepala di bawah. Dan tubuh berputar kencang layaknya kitiran diterpa angin kencang, dengan kedua tangan menyilang di dada.

Butiran-butiran air laut yang akhirnya turut diseret gravitasi, seakan tertarik ke pusaran tubuh Dayinta Bombang. Semakin lama semakin banyak dan menyatu, menjadi pelindung pada tubuhnya. Berputar dan berdesing kencang. Kini tubuh yang akan kembali ke permukaan laut itu tak ubahnya sebuah cakram yang diputar seseorang.

Ratusan peluru yang menjadikan tubuh dara—sekarang berusia 23 tahun—itu, seolah membentur lempengan baja. Berdesing, berdenting, dan melenceng ke berbagai arah.

Hanya sejangkauan tangan lagi tubuh berputar itu akan kembali ke dalam laut, Dayinta Bombang menyentakkan kedua tangan, mengembang ke samping, bersamaan itu ratusan butir air laut yang ikut berputar di tubuhnya melesat kencang.

Belasan tubuh terhenyak ditembus butir-butir air yang lebih keras dari peluru di senjata mereka. Ambruk, dan tak lagi bergerak. Sebagian, terjun bebas ke permukaan laut, dan hening. Dayinta Bombang kembali menghilang ke dalam laut bersama cipratan air laut yang menutupi pandangan beberapa pria bersenjata.

“Goddamnit…!”

Pria setelan putih membanting kencang senjata di tangan—kehabisan peluru. Dengan kekesalan memuncak, ia memerintah beberapa orang bawahannya menggunakan senjata kelas berat—kelas sniper-rifle.

Ada sepuluh pria menyandang senjata kelas berat tersebut, mereka menyebar di beberapa sisi kapal kargo, memindai permukaan laut yang telah terang. Menunggu kemunculan kembali mermaid  yang tidak saja mengganggu “bisnis” mereka, tapi juga telah membunuh banyak rekan mereka.

Di dalam air. Dayinta Bombang memandang tak berkedip pada kapal kargo, dari beberapa meter di bawah lambung kapal tersebut. Meskipun sorot mata laksana sepasang pedang terhunus, namun sudut bibir menyatakan lain.

“Ina Wandiu Diu, tampaknya aku belum menuntaskan pelajaranmu, Ina”  bisik Dayinta Bombang dalam hati. (Ina; dari bahasa Buton – Sulteng; sapaan takzim pada wanita yang lebih tua, ibu)

Ada beberapa luka gores di tubuhnya, satu di antaranya luka di bahu kanan yang sekarang ia bekap dengan telapak tangan kiri, luka ditembus peluru salah satu senjata di tangan pria-pria di atas sana. Dayinta Bombang masih merasa beruntung, tidak ada luka yang bisa membuat ia kehilangan nyawa. Kebanyakan luka akibat peluru-peluru yang melenceng—seperti luka sayat.

Tapi, Dayinta Bombang belum akan menyerah pada pria-pria bersenjata tersebut. Tidak akan. Ia telah lama “mengintai” mereka. Muatan di dalam kapal kargo itulah yang menjadi alasan Dayinta Bombang berkukuh untuk menenggelamkan kapal tersebut. Ya, narkotika dan zat adiktif jenis baru yang akan menjadi ladang uang pria bersetelan putih-putih tadi. Barang-barang haram, yang ia tahu telah banyak merusak terumbu karang di kawasan Wakatobi, sebab dari beberapa spesimen terumbu karang itulah mereka-mereka memproduksi barang haram tersebut.

Dan yang menyedihkan, Dayinta Bombang belumlah lamur untuk membedakan. Beberapa sosok pria-pria di atas kapal di permukaan laut sana, adalah orang-orang Indonesia juga. Apa yang ada dalam pikiran mereka? Pertanyaan itu selalu menghantui Dayinta Bombang dengan mesra.

Dayinta Bombang meremas kuat bahu yang tertembus peluru. Urat-urat darah menegang di pelipis, menahan nyeri. Andai saja ia sedang tidak berada di dalam laut, mungkin teriakannya akan bisa didengar pria-pria di atas. Air laut di dekat bahunya, membentuk pusaran kecil. Tak lama kemudian, laksana tangan-tangan gaib sang ahli, pusaran air bercampur darah menarik cepat peluru yang bersarang di dalam bahu. Gelembung air semakin besar keluar dari mulut Dayinta Bombang yang terbuka lebar menahan perih teramat.

Dayinta Bombang mengulurkan tangan kiri, menyambut proyektil peluru yang mengambang di hadapannya.

Didahului mengatupnya rahang dengan kencang, tubuh Dayinta Bombang melesat cepat menuju lambung kapal kargo—pada bagian yang sebelumnya telah ia bikin penyok.

Dhuuumm…

Lagi-lagi hantaman terjadi di lambung kapal kargo, dan kali ini, cukup kuat untuk membuat beberapa pria di atas kapal kargo menjadi goyah pijakan mereka.

“Find her…!”

Kembali para pria bersenjata berada di sisi kapal, memindai permukaan. Sepuluh pria dengan sniper-rifle tetap tenang, penglihatan terfokus di pangkal teropong senjata mereka.

Dhuuaaak…

Satu speedboad beserta penumpangnya—di sisi belakang kapal kargo—terlempar bersamaan tubuh Dayinta Bombang yang ikut keluar dari dalam air.

Seorang sniper melepaskan tembakannya, namun masih kalah cepat dengan pergerakan tubuh mermaid itu, dan kembali ia menghilang di dalam laut. Empat orang pria yang tercebur, sama menghilang ditarik kuat tangan-tangan tak kasatmata.

Detik selanjutnya Dayinta Bombang melempar sebuah speedboad  di haluan kiri kapal kargo, bersamaan itu, tali-tali air sebesar pohon pinang melesat dan menghempaskan lima pria yang dalam posisi melayang, tenggelam ke dasar laut.

Aksi kali kesekian ini, Dayinta Bombang kalah sigap oleh tembakan seorang sniper di haluan kapal kargo. Peluru kaliber besar menembus bagian paha setengah ikannya, menghempaskan tubuh gadis tersebut kembali ke permukaan air.

Tidak ingin cidera bertambah, Dayinta Bombang menyelam cepat, menghilang dari pindaian sang sniper. Satu peluru lagi sempat menyongsong tubuh yang terhempas, namun tak mengenai sasarannya.

Rona air laut berubah merah di sekitar Dayinta Bombang, kernyit di dahi menjadi-jadi. Ia merasa bagian bawah tubuhnya mulai tak “mendengar” kata hati.

Tak peduli dengan luka tembus—dari sisi depan ke sisi belakang—di tubuhnya itu, lebih-lebih pada lelehan darah yang mengubah rona air, Dayinta Bombang kembali menghantam kuat lambung kapal kargo.

Kekuatan yang belum sempurna, ditambah anggota tubuh yang mulai mengingkari perintah otak, memaksa Dayinta Bombang kembali membalik dan melempar speedboad yang masih tersisa.

Namun, gerakannya tak secepat tadi. Beberapa kali peluru-peluru tajam dan panas menyengat tubuhnya. Meski luka-luka itu semakin banyak, meski tidak mengenai titik vital, tetap saja jika gadis itu meneruskan aksinya, paling tidak ia akan kehilangan banyak darah. Dan masalah baru akan muncul setelah itu: taring-taring predator laut akan terpancing karena banyaknya tetesan darah.

Kembali, Dayinta Bombang muncul di sisi timur kapal kargo. Niatnya sudah bulat, mati demi menggagalkan perdagangan haram pria bersetelan puih-putih di atas sana adalah lebih baik. Lompatan Dayinta Bombang kali ini lebih tinggi, dengan marah yang menggelegak, ia memaksakan tubuhnya ke batas terakhir yang ia bisa.

Pilar-pilar air mencuat ganas bersamaan teriakan lantang dan nyaring dari mulut Dayinta Bombang. Meski tubuhnya terbuka dan menjadi sasaran empuk bagi para sniper, ia tidak memikirkan itu. Menghancurkan kapal kargo itu adalah prioritas utamanya.

Sekejapan mata saja, pilar-pilar besar yang bergulung menari liar. Laksana naga air menghempaskan setiap sasaran yang dituju. Setiap speedboad di sisi kanan kapal kargo terbalik akibat dihempas kekuatan pilar-pilar tersebut.

Kapal kargo berderit kencang, bergoyang lebih keras. Apa-apa yang ada di geladak atas kapal tersebut, berhamburan dan terpental ke sisi laut di sebelahnya. Hempasan pilar-pilar air ke atas kapal tersebut laksana air bah yang melanda. Namun, kapal besar itu masih cukup tangguh untuk “dijatuhkan” oleh seorang Dayinta Bombang.

Satu lengkingan panjang mengusik perhatian semua orang, begitu juga dengan Dayinta Bombang yang dalam kondisi kembali jatuh ke permukaan.

Sesosok besar laksana sebuah rudal, menerjang dari sisi timur. Sekejap terlihat seperti seekor burung raksasa, detik selanjutnya menghilang dari pandangan begitu tubuh besar itu berputar kencang laksana tombak raksasa yang dilemparkan ke arah kapal kargo.

Dhuumm…

Kembali kapal besar harus berguncang hebat untuk kedua kalinya, kekuatan besar tak berwujud itu menggeser paksa buritan kapal ke sisi kiri.

Dayinta Bombang mengawasi semua itu dari sisi berjauhan di permukaan laut. Bingung ada, senang begitu juga. Akan tetapi, ia masih heran, entah siapa pun yang membantu “perjuangannya” itu, yang jelas ia sangat berterima kasih.

 

“Kau butuh bantuan, Nona Lautan?”

Satu suara mengagetkan Dayinta Bombang, begitu ia menoleh ke kanan, keterkejutannya semakin membesar.

Seorang pria berdiri di atas permukaan laut hanya terpaut dua kali jangkauan tangan di samping Dayinta Bombang. Bagaimana mungkin? Jerit hati gadis tersebut. Bagaimana mungkin pria itu bisa berdiri di atas air layaknya permukaan laut adalah sesuatu keras?

“Kau… ba-bagaimana bisa tahu—“

“Sudahlah,” senyum pria itu begitu manis dengan kehadiran dua lesung pipit di pipinya. “Aku hanya menawarkan uluran tangan. Kau butuh bantuan, Nona Lautan?”

“Kau, siapa?”

“Hmm, aku… Nuu Waar. Yaa, kau boleh saja memanggilku; Kweiya. Kalau kau tahu apa yang kumaksud,” pria itu mengedipkan sebelah matanya.

Dayinta Bombang terperangah. Dari Ina Wandiu Diu, ia pernha diperkenalkan dengan nama itu. Ya, sesuatu yang sama seperti dirinya. Satu senyum penuh arti mengembang di sudut bibirnya.

 

---bersambung---

Catatan:

Ina; dari bahasa Buton – Sulteng; sapaan takzim pada wanita yang lebih tua, ibu.

Wandiu Diu; legenda asal muasal Putri Duyung - Mermaid - dari Sulawesi tenggara.

Kweiya; legenda asal muasal burung Cendrawasih dari Papua.

 

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 2 Februari 2016.

Sumber Ilustrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun