Panglima itu Quraisy terdiam. Sesungguhnya, tiada sebarang perbuatan pun yang dapat ia lakukan untuk menghasut keteguhan Ali putra Abu Thalib kala itu.
“Tiadalah dia seorang Muslim bila melakukan sesuatu semata-mata karena dendam sakit hati,” lanjut Ali. “Aku tidak akan menjatuhkan hukuman apa pun atas dirimu hanya karena kebencian. Pergilah engkau hai panglima orang-orang yang mengingkari kebenaran, tiada perang untukmu kali ini.”
Ali putra Abu Thalib, sepupu Baginda Rasul memegang teguh ajaran Allah, akhirnya Ali berlalu dari hadapan panglima Quraisy itu. Meninggalkan pria itu terhenyak tak dapat berkata-kata.
Namun Allah punya skenario lain, yang tiadalah satu manusia pun di muka bumi ini akan tahu. Panglima kaum penentang kebenaran itu tertunduk, sesaat mata menggenang. Tiada pernah seumur hidup ia diperlakukan tentara musuh sedemikian baik, tidak pula perlakuan dirinya terhadap tentara lain yang terdesak. Tidak pernah sama sekali.
Hingga, panglima Quraisy tersebut memilih untuk mengikuti jejak Ali putra Abu Thalib yang pada akhirnya mengantarkan ia bertemu dengan Baginda Rasul. Di sanalah ikrar diucapkan. Kebenaran diserukan dalam kesaksian pada penyembahan seutuhnya akan Keesaan Tuhan.
Ali putra Abu Thalib suami dari Fatimah Az-Zahra putri Muhammad SAW. Ali putra Abu Thalib, Khulafaur Rasyidin keempat, yang darinyalah Hasan dan Husein. Ali putra Abu Thalib, yang mampu mengekang ego meski di tengah pertempuran sekalipun. Ia wafat pada 28 Januari 661M.
Begitulah kisah disampaikan, berulang-ulang agar dapat menjadi pedoman. Berlaku adil dan arif dalam kehidupan, tidak saja sanak handai taulan, tapi juga pada musuh dalam pertempuran. Pada orang-orang berlawanan.
Ampun dan maaf bila banyak kekurangan, sebab manusia tak luput dari kesalahan, hanya Tuhan pemilik kesempurnaan, sebab itu maaf kami pintakan.