Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Karena Aku Membencimu

14 Januari 2016   14:48 Diperbarui: 14 Januari 2016   15:36 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[Renungan Jumat] 

Tersebutlah sebuah kisah. Bukan kisah sekadar pengantar tidur, bukan pula kisah buah imajinasi. Ianya terukir dalam sejarah, terekam dalam ingatan para ahli. Kisah Ali putra Abu Thalib dalam perang menghadapi salah seorang panglima perang Quraisy yang berniat melenyapkan umat Muslim beserta junjungan, Rasulullah.

Sebab kebencian menutupi hati, kepentingan politik demi harta diri, hingga fitnah melenggang menutupi sanubari, dan perang pun tak bisa dihindari.

Ali putra Abu Thalib terdesak dari serangan panglima berbadan tegap, namun tak serta merta membuat ia lengah, apalagi mengalah.

“Hei, Ali… pulanglah engkau dengan segera dan temui ibumu sebelum ujung pedangku menembus dadamu.”

Kata-kata merendahkan itu terucap di sela tawa sang panglima, semakin menyudutkan Ali sang menantu Baginda Rasul. Seolah Ali tak lebih dari anak kecil yang masih menyusu dalam pelukan ibunya.

Meski wajah memerah, namun Ali putra Abu Thalib tetap berlaku tenang.

“Demi Allah, urusan mati hanya milik Allah Sang Mahapencipta. Bukan kau, tidak pula aku.”

Panglima Quraisy mendengus dan tertawa kencang, menatap Ali dengan selaksa kebencian.

“Hei, Ali. Kenapa kau dan kalian semua tidak menurut saja, mengapa memilih menentang kami?”

Ali putra Abu Thalib berdiri gagah, menghunus pedang di dada. “Aku tidak menentang, tidak pula melawan siapa-siapa. Aku hanya tunduk pada perintah Allah. Dan kami berlindung kepada Allah dari orang-orang kafir sepertimu yang zalim, munafik mengingkari perjanjian, dan menghalang-halangi dakwah Rasulullah.”

Maka panaslah tubuh panglima Quraisy sebab kenyataan adalah benar. Mereka tidak menerima ajaran Baginda Rasul, alih-alih memeranginya dengan segala cara. Wajah sang panglima laksana bara menyala, lantas melompat tiba-tiba, menebaskan pedangnya dan berharap dalam sekali ayunan dapat membunuh Ali putra Abu Thalib.

Ali putra Abu Thalib dengan tenang mampu mengelak. Sang panglima membabi buta, sabet sana, sabet sini. Setiap ayunan pedang selalu dengan kekuatan penuh, tiada sungkan sedikit pun. Hingga satu ketika, langkah Ali putra Abu Thalib terhalang tubuh-tubuh bergelimpangan. Ayunan pedang datang menderu. Dengan menyebut nama Tuhannya, Ali putra Abu Thalib menebaskan juga pedang di tangan.

Apa yang terjadi?

Dua pedang beradu kencang, dua pria saling menunjukkan kekuatannya. Sayang disayang seribu kali sayang. Pedang boleh besar, pedang boleh lebih panjang, sang panglima Quraisy tercengang. Pedang di tangan patah dua, kenyataannya Ali putra Abu Thalib lebih unggul.

Ujung pedang Ali menggores pergelangan tangan sang panglima. Membuat ia meringis menahan perih. Kala Ali bergerak mengayunkan lagi pedangnya, panglima Quraisy meludah dengan kencang.

Ludah menerpa wajah Ali putra Abu Thalib, hingga Ali menggeram penuh amarah namun justru menghentikan tikamannya.

Panglima Quraisy tergelak, menyangka diri telah selamat. “Dasar pengecut! Kenapa kau tidak jadi menikamku, haa…? Pulang saja ke ibumu!”

Ali menyeka ludah menjijikan itu dari wajahnya. Meski tatapan laksana singa kelaparan, namun satu senyum tersungging di sudut bibir.

“Jika tadi aku menikammu, itu semata-mata karena Allah.”

“Lantas…?” Teriak panglima Quraisy. “Tidakkah ludahku di wajahmu adalah alasan terkuat untuk kau membunuhku, heiii… Putra Abu Thalib?”

Ali masih sanggup untuk tersenyum. “Tidaklah syurga kudapatkan bila kubunuh kau sekarang juga, melainkan neraka jahanam menungguku. Karena, sekarang aku sangat membencimu, teramat sangat hingga ingin kuremukkan tubuhmu.”

Panglima itu Quraisy terdiam. Sesungguhnya, tiada sebarang perbuatan pun yang dapat ia lakukan untuk menghasut keteguhan Ali putra Abu Thalib kala itu.

“Tiadalah dia seorang Muslim bila melakukan sesuatu semata-mata karena dendam sakit hati,” lanjut Ali. “Aku tidak akan menjatuhkan hukuman apa pun atas dirimu hanya karena kebencian. Pergilah engkau hai panglima orang-orang yang mengingkari kebenaran, tiada perang untukmu kali ini.”

Ali putra Abu Thalib, sepupu Baginda Rasul memegang teguh ajaran Allah, akhirnya Ali berlalu dari hadapan panglima Quraisy itu. Meninggalkan pria itu terhenyak tak dapat berkata-kata.

Namun Allah punya skenario lain, yang tiadalah satu manusia pun di muka bumi ini akan tahu. Panglima kaum penentang kebenaran itu tertunduk, sesaat mata menggenang. Tiada pernah seumur hidup ia diperlakukan tentara musuh sedemikian baik, tidak pula perlakuan dirinya terhadap tentara lain yang terdesak. Tidak pernah sama sekali.

Hingga, panglima Quraisy tersebut memilih untuk mengikuti jejak Ali putra Abu Thalib yang pada akhirnya mengantarkan ia bertemu dengan Baginda Rasul. Di sanalah ikrar diucapkan. Kebenaran diserukan dalam kesaksian pada penyembahan seutuhnya akan Keesaan Tuhan.

 

Ali putra Abu Thalib suami dari Fatimah Az-Zahra putri Muhammad SAW. Ali putra Abu Thalib, Khulafaur Rasyidin keempat, yang darinyalah Hasan dan Husein. Ali putra Abu Thalib, yang mampu mengekang ego meski di tengah pertempuran sekalipun. Ia wafat pada 28 Januari 661M.

 

Begitulah kisah disampaikan, berulang-ulang agar dapat menjadi pedoman. Berlaku adil dan arif dalam kehidupan, tidak saja sanak handai taulan, tapi juga pada musuh dalam pertempuran. Pada orang-orang berlawanan.

Ampun dan maaf bila banyak kekurangan, sebab manusia tak luput dari kesalahan, hanya Tuhan pemilik kesempurnaan, sebab itu maaf kami pintakan.

 

Wallahu a’lam bishawab.

Dari berbagai sumber Islami.

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 14 Januari 2016.

Sumber ilustrasi.

Terima Kasihn Admin Kompasiana^^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun