Maka panaslah tubuh panglima Quraisy sebab kenyataan adalah benar. Mereka tidak menerima ajaran Baginda Rasul, alih-alih memeranginya dengan segala cara. Wajah sang panglima laksana bara menyala, lantas melompat tiba-tiba, menebaskan pedangnya dan berharap dalam sekali ayunan dapat membunuh Ali putra Abu Thalib.
Ali putra Abu Thalib dengan tenang mampu mengelak. Sang panglima membabi buta, sabet sana, sabet sini. Setiap ayunan pedang selalu dengan kekuatan penuh, tiada sungkan sedikit pun. Hingga satu ketika, langkah Ali putra Abu Thalib terhalang tubuh-tubuh bergelimpangan. Ayunan pedang datang menderu. Dengan menyebut nama Tuhannya, Ali putra Abu Thalib menebaskan juga pedang di tangan.
Apa yang terjadi?
Dua pedang beradu kencang, dua pria saling menunjukkan kekuatannya. Sayang disayang seribu kali sayang. Pedang boleh besar, pedang boleh lebih panjang, sang panglima Quraisy tercengang. Pedang di tangan patah dua, kenyataannya Ali putra Abu Thalib lebih unggul.
Ujung pedang Ali menggores pergelangan tangan sang panglima. Membuat ia meringis menahan perih. Kala Ali bergerak mengayunkan lagi pedangnya, panglima Quraisy meludah dengan kencang.
Ludah menerpa wajah Ali putra Abu Thalib, hingga Ali menggeram penuh amarah namun justru menghentikan tikamannya.
Panglima Quraisy tergelak, menyangka diri telah selamat. “Dasar pengecut! Kenapa kau tidak jadi menikamku, haa…? Pulang saja ke ibumu!”
Ali menyeka ludah menjijikan itu dari wajahnya. Meski tatapan laksana singa kelaparan, namun satu senyum tersungging di sudut bibir.
“Jika tadi aku menikammu, itu semata-mata karena Allah.”
“Lantas…?” Teriak panglima Quraisy. “Tidakkah ludahku di wajahmu adalah alasan terkuat untuk kau membunuhku, heiii… Putra Abu Thalib?”
Ali masih sanggup untuk tersenyum. “Tidaklah syurga kudapatkan bila kubunuh kau sekarang juga, melainkan neraka jahanam menungguku. Karena, sekarang aku sangat membencimu, teramat sangat hingga ingin kuremukkan tubuhmu.”