Begitulah suara-suara lantang memekakkan telinga. Menyudutkan Maryam sang perempuan mulia pada tuduhan perzinahan. Para penduduk mengira, Maryam yang dulu gadis manis menjadi pujaan, Maryam yang dulu soleh, telah terhasut rayuan Syetan.
Ketika cacian dan makian kian tak terbendung, Maryam mengangkat Isa dalam pangkuan, berhadapan dengan kaumnya.
“Sesungguhnya aku tidak melakukan setitik dosa pun sebagaimana yang kalian tuduhkan. Allah Rabb-ku telah menjaga kesucianku hingga bayi ini lahir. Biarlah dia—bayi Isa—yang menjawab tuduhan kalian.”
Beberapa di antara mereka mengumbar tawa menghinakan.
“Apa yang kau lakukan Maryam? Bagaimana mungkin bayi merah yang masih ditimang mampu untuk berbicara?”
“Tampaknya kau sengaja berbuat gila, Maryam. Dengan begitu, kami akan mendiamkan saja pada dosa perzinahan yang kau lakukan. Benar?!”
Atas izin Allah, sebagaimana yang terukir indah dalam Al Qur’an, bayi Isa menunjukkan “pertandanya” kepada kaum ibunya itu.
“Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia menyampaikan ajaran-Nya (Injil) kepadaku, dan menjadikanku Nabi. Dan Dia menjadikanku terberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku untuk mendirikan salat dan menunaikan zakat selama aku hidup, dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikanku seorang yang sombong lagi celaka.” [QS – Maryam: 30-32]
Mendengar jawaban dari bayi yang masih merah dalam pangkuan Maryam putri Imran, maka tercenganglah kaumnya. Bayi sekecil itu telah memperlihatkan mukjizatnya. Mukjizat dari Allah yang selalu dimiliki para Nabi dan rasul-Nya.
Demikianlah kisah si gadis perawan, wanita mulia yang diagungkan. Menjadi satu-satunya wanita yang namanya diabadikan, dalam firman Tuhan. Menjadi nama dalam Surah kesembilan belas—QS – Maryam—dalam tautan, 98 delapan ayat bertautan.
Namanya tersebut 34 kali bilangan, di dalam kitab suci Al Qur’an, lebih banyak dari Sang Pelengkap akhir zaman, Baginda alam junjungan. Demikianlah ianya diahadapkan, agar menjadi contoh cerminan suri tauladan, tidak saja dahulu tapi kini hingga masa depan.