Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cahaya yang Tak Pernah Padam

25 Desember 2015   17:19 Diperbarui: 25 Desember 2015   17:19 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[Renungan Jumat]

 

Dikisahkan

Tersebutlah tatkala Allah Azza wa Jalla memanggil  sang maut untuk menghadap, sesungguhnya sang maut sendiri—Malak Al-Maut, alias Izrail—tiada tahu menahu, atas apa dan perihal apa selain ketaatan yang ia punya terhadap Yang Mahaagung.

Maka berangkatlah Malak Al-Maut, terbang menuju syurga tingkat keenam. Duduklah ia menunggu berdekatan dengan Sidratul Muntaha. Perhatiannya tertuju pada Pohon Kehidupan itu, selalu kagum akan makhluk Allah yang satu itu, kagum akan kesempurnaannya yang hanya Allah sajalah yang dapat memerintahkan pohon itu. Terbesit keinginan untuk menelisik selembar daun Sidratul Muntaha yang menguning, menunggu saat untuk luruh, namun ketaatan tak pernah dikhianati, hingga sang maut tetap duduk menunggu meski besarnya rasa ingin tahu.

Lembaran hidup siapakah gerangan itu?

Nyawa kehidupan siapa yang harus kucabut setelah ini?

Datanglah suara bergema menembus lapisan atap syurga ke tujuh hingga menggema menggetarkan ke dalam diri sang maut. Suara Sang Pemilik Kehidupan dari ‘Arsy-Nya.

“Wahai sang maut, tidakkah kau tergelitik ingin melihat lembaran mengering itu? Kuizinkan kau untuk melihat.”

Maka, tatkala sang maut menelisik, sepasang mata yang terbiasa memindai kematian itu pun meleleh tak tertahankan, menggetarkan setiap inci tubuhnya.

“Ya Rabb, Yang Mahaagung, pemilik semua kehidupan. Tidakkah ini terlalu cepat?”

“Wahai sang maut, sesungguhnya Aku tidak mempercepat tidak pula memperlambat sedetik pun waktu kematian. Dan Aku telah memerintahkan hal ini pada Arham semenjak ruh ditiupkan pada tiap-tiap janin. Yang telah Ku-ukirkan di Lauh Mahfudz.”

Tiada yang bisa dilakukan oleh sang maut, kali pertama dalam tugasnya selama ribuan tahun—dan mungkin saja hingga kiamat kelak—sang maut begitu terpukul, enggan untuk mencabut nyawa yang satu ini.

“Turunlah engkau ke bumi, temui dia. Temuilah dengan rupa terbaik yang kau punya. Temuilah sebagaimana manusia-manusia itu menemui dia, dan bila dia tidak berkenan, maka kembalilah engkau ke sini. Dan engkau akan melihat sesungguhnya pada apa-apa yang membuat- dia menjadi sosok yang paling Ku-kasihi.”

Maka turunlah sang maut ke bumi dengan rupa terindah yang belum pernah ia perlihatkan pada siapa-siapa pun sebelum ini.

 

Di Bumi. Muhammad putra Abdullah sedang tidak enak badan. Kepala pening, demam, dan sudah tiga kali jatuh pingsan di rumah Maimunah putri Al-Harits. Baginda Rasul meminta dipindahkan ke rumah Aisyah putri Abu Bakar saja.

Kala itu, Aisyah putri Abu Bakar mengurut kepala sang suami—Baginda Rasul—tatkala ia mendengar seseorang mengetuk pintu depan. Dengan enggan Aisyah bangkit, meninggalkan Baginda barang sesaat.

“Siapakah engkau wahai Fulan? Dan apakah keperluanmu?” tanya Aisyah.

“Maaf, saya ingin bertemu dengan Baginda Rasul,” jawab tamu gagah luar biasa itu.

“Mohon maaf, Tuan Fulan, Baginda sedang tidak enak badan. Kembalilah engkau esok hari.” Dan Aisyah pun menutup pintu.

Sesampainya di kamar, dan kembali memijit dahi Baginda Rasul, Aisyah ditanya oleh Baginda.

“Yaa Humaira—wahai pipi yang bersemu—siapakah gerangan tamu tadi?”

“Yaa Rasul, sungguh aku tidak mengenal laki-laki itu sebelumnya. Dia ingin bertemu denganmu, tetapi mengingat engkau sedang tidak sehat, kuminta ia kembali esok hari,” jawab Aisyah sembari terus memijit dahi Baginda Rasul.

Lagi-lagi terdengar pintu diketuk seseorang, dan lagi-lagi dari tamu yang sama. Kejadian itu berlangsung hingga tiga kali, dan tiga kali pula Aisyah putri Abu Bakar meminta tamu gagah itu kembali lagi pada esok saja.

Baginda Rasul akhirnya berkata kepada Aisyah setelah kejadaian yang ketiga kalinya.

“Yaa Humaira, tahukah engkau siapa orang mengetuk pintu depan sampai tiga kali itu?”

“Hanya Allah dan Rasul-Nya sajalah yang tahu,” senyum Aisyah.

“Sesungguhnya, bila tamu itu datang dengan wujud sebenarnya, niscaya ruh di dalam tubuhmu akan tercerabut saat itu juga, yaa Humaira.”

“Astaghfirullahaladzim…”

Seketika pucatlah seluruh tubuh Aisyah putri Abu Bakar. Bukan membayangkan akan ajalnya sendiri, namun hati kecil berbisik gemetar, Baginda Rasul akan berpulang. Hingga tak kuasa Aisyah menahan bulir air mata.

“Yaa Humaira, sesungguhnya ajal itu adalah ketetapan Allah. Adakah makhluk di syurga dan di bumi ini yang dapat menghindarinya?”

Aisyah menggeleng lemah. Ia sangat meyakini itu, tetapi sisi manusiawinya tak henti menjerit, kenyataan ke depan bawha ia akan kehilangan sosok dambaan semua insan, tidak saja di bumi tapi juga mereka-mereka di langit sana.

“Duhai Humaira, janganlah engkau menangisi atas ajalku hingga menjadikan engkau golongan orang-orang yang merugi. Panggilkanlah kembali sahabatku  itu, ia masih berdiri di depan rumah.”

Maka kembalilah Aisyah membuka pintu, dan benar, sosok gagah yang akhirnya ia ketahui sebagai perwujudan terindah dari Malak Al-Maut masih berdiri mematung di sana. Aisyah putri Abu Bakar menggigil, pertama kali dalam hidupnya menghadapi sesuatu yang “teramat besar”.

 

Datanglah Malak Al-Maut menemui Baginda Rasul yang terbaring lemah di atas pembaringannya. Dengan rupa dan tingkah laku terindah yang bisa ia berikan. Begitu salamnya dijawab Baginda, sang maut duduk di dekat kaki Baginda. Sementara Aisyah, tetap kembali memijit perlahan dahi Baginda.

“Duhai Sang Maut, mengapa engkau duduk menjauhiku? Apakah aku terlihat begitu lemah saat ini hingga engkau menjaga jarak dariku?”

Malak Al-Maut tiada mampu menjawab sepatah kata pun, ia menggeser duduknya di samping kanan Baginda Rasul.

“Sungguh janji Allah Rabb-ku adalah sesuatu yang tepat. Begitupun ajalku.”

“Wahai jiwa yang dirindukan penduduk syurga, seandainya engkau meminta penangguhan akan ajalmu, maka aku akan kembali ke Sidratul Muntaha menemui Allah Azza wa Jalla.” Begitulah ucapan Malak Al-Maut tidak sanggup menatap wajah Baginda Rasul tanpa air mata tercurah.

“Sungguh aku tidak akan melakukan itu,” senyum Baginda Rasul.

“Dunia ini masih butuh kehadiranmu, duhai kekasih Allah—“

“Tidakkah engkau menyadari, duhai Maut sahabatku?” sanggah Baginda Rasul masih dengan senyuman di sela pening kepala yang kian berat. “Bila aku meminta penangguhan atas ajalku sendiri—meski hanya untuk sedetik, sesungguhnya lah aku telah menodai ketetapan Allah Rabb-ku. Dan tidaklah karenanya umatku akan mengingkari itu, menjadikannya alasan untuk meninggalkan ajaran.”

Maka terdiamlah Malak Al-Maut. Diam dalam pikiran yang bernas. Teringat kembali akan suara Sang Khalik; “…dan engkau akan melihat sesungguhnya pada apa-apa yang membuat dia menjadi sosok yang paling Ku-kasihi.”

 

“Yaa Malak Al-Maut, dari tadi aku tidak melihat Jibril. Tidakkah ia datang bersamamu?” tanya Baginda Rasul, berharap sahabat baiknya yang satu itu hadir saat itu juga.

“Akan aku panggilkan Jibril untukmu, Junjungan Alam.”

Maka pergilah  Malak Al-Maut menjemput Jibril. Dengan izin Allah Azza wa Jalla, Jibril pun akhirnya tampil  dengan rupa terindah yang ia miliki, berdua menemui Baginda Rasul.

Sungguh, melihat Baginda Rasul—yang adalah sahabat juga bagi dirinya—Jibril menitikkan air mata. Junjungan Alam terlihat lemah di ujung usianya. Dan kenyataan Malak Al-Maut hadir di sana adalah pukulan teramat besar yang dirasa Jibril.

Manakala tegur sapa dengan Jibril telah usai, maka Baginda Rasul berkata kepada Malak Al-Maut.

“Duhai Sang Maut, kiranya ketetapan silakan engkau laksanakan. Jangan engkau menunda barang sedetikpun.”

“Duhai jiwa yang penuh kasih, tidak akan aku cabut nyawamu melainkan dengan kelembutan yang tidak pernah kuberikan pada lain insan.”

Maka Asiyah putri Abu Bakar bergeser duduknya, memberi ruang bagi Malak Al-Maut berdiri di dekat kepala Baginda Rasul dengan sesak tangis yang kapan saja akan meledak keluar. Begitu pula Jibril yang berada di samping kiri Baginda Rasul, tiada kuat menyaksikan itu semua.

“Duhai jiwa yang agung, bila engkau merasakan sakit, maka berserulah. Agar aku bisa menghentikan barang sesaat.”

Maka diteruskanlah oleh Malak Al-Maut, mencabut ruh dari Baginda Rasul. Ruh perlahan keluar dari raga, meski sang maut menghadirkan maut itu sendiri dalam kelembutan yang teramat, tak urung “menyakitkan” raga Baginda Rasul. Hinggalah kala ruh lepas sehingga mata kaki, Baginda Rasul mengerenyit menahan sakit, keringat dingin memercik di sekujur tubuh.

Malak Al-Maut menghentikan gerakan tangannya, namun Baginda Rasul tetap mengatakan; “Teruskan saja wahai Malak, teruskan saja.”

Tatkala ruh terlepas hingga lah ke pinggang, Baginda Rasul nyaris saja berteriak lantang, begitulah sakit yang teramat dirasakan beliau. Lagi-lagi Malak Al-Maut menghentikan tarikannya. Dan Jibril pun memalingkan muka, dengan lelehan air mata di kedua pandangan.

“Duhai Jibril, kenapa engkau memalingkan wajahmu? Adakah aku begitu tak layak untuk engkau pandang?”

Seketika Jibril menangis tersedu-sedu. “Duhai Junjungan Alam, tidak satu pun di dirimu yang tidak layang untuk kupandang. Akan tetapi, sungguh, demi Allah Azza wa Jalla, tiada kekuatanku sedikitpun melihat engkau kesakitan.”

Namun, karena permintaan dari Baginda Rasul, Jibril Alaihi Sallam akhirnya mau menyaksikan wajah Baginda Rasul hingga ruhnya lepas keseluruhan dari raga.

Tidak ada air mata yang tidak menganaksungai di sana. Tidak Jibril, tidak pula Malak Al-Maut sendiri, lebih-lebih Aisyah putri Abu Bakar. Namun apa daya, ketetapan Allah adalah hal yang pasti, tiada satu kekuatan pun di semesta ini yang mampu menangguhi.

Seluruh makhluk-makhluk peka di muka bumi menunduk sedih, kehilangan sosok panutan. Para penghuni syurga tak mampu bersuara, meski asa untuk berjumpa dengan Baginda Rasul semakin terbuka lebar.

Muhammad putra Abdullah wafat dengan senyum damai di wajah. Menghembuskan napas terakhirnya dalam pelukan sang istri—Aisyah Radhiallahu Anhu, pada bulan juni 632 Masehi.

 

 

Wallahu a’lam bishawab.

Dari berbagai sumber Islami.

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 25 Desember 2015.

Sumber ilustrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun