Maka diteruskanlah oleh Malak Al-Maut, mencabut ruh dari Baginda Rasul. Ruh perlahan keluar dari raga, meski sang maut menghadirkan maut itu sendiri dalam kelembutan yang teramat, tak urung “menyakitkan” raga Baginda Rasul. Hinggalah kala ruh lepas sehingga mata kaki, Baginda Rasul mengerenyit menahan sakit, keringat dingin memercik di sekujur tubuh.
Malak Al-Maut menghentikan gerakan tangannya, namun Baginda Rasul tetap mengatakan; “Teruskan saja wahai Malak, teruskan saja.”
Tatkala ruh terlepas hingga lah ke pinggang, Baginda Rasul nyaris saja berteriak lantang, begitulah sakit yang teramat dirasakan beliau. Lagi-lagi Malak Al-Maut menghentikan tarikannya. Dan Jibril pun memalingkan muka, dengan lelehan air mata di kedua pandangan.
“Duhai Jibril, kenapa engkau memalingkan wajahmu? Adakah aku begitu tak layak untuk engkau pandang?”
Seketika Jibril menangis tersedu-sedu. “Duhai Junjungan Alam, tidak satu pun di dirimu yang tidak layang untuk kupandang. Akan tetapi, sungguh, demi Allah Azza wa Jalla, tiada kekuatanku sedikitpun melihat engkau kesakitan.”
Namun, karena permintaan dari Baginda Rasul, Jibril Alaihi Sallam akhirnya mau menyaksikan wajah Baginda Rasul hingga ruhnya lepas keseluruhan dari raga.
Tidak ada air mata yang tidak menganaksungai di sana. Tidak Jibril, tidak pula Malak Al-Maut sendiri, lebih-lebih Aisyah putri Abu Bakar. Namun apa daya, ketetapan Allah adalah hal yang pasti, tiada satu kekuatan pun di semesta ini yang mampu menangguhi.
Seluruh makhluk-makhluk peka di muka bumi menunduk sedih, kehilangan sosok panutan. Para penghuni syurga tak mampu bersuara, meski asa untuk berjumpa dengan Baginda Rasul semakin terbuka lebar.
Muhammad putra Abdullah wafat dengan senyum damai di wajah. Menghembuskan napas terakhirnya dalam pelukan sang istri—Aisyah Radhiallahu Anhu, pada bulan juni 632 Masehi.