Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cahaya yang Tak Pernah Padam

25 Desember 2015   17:19 Diperbarui: 25 Desember 2015   17:19 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maka diteruskanlah oleh Malak Al-Maut, mencabut ruh dari Baginda Rasul. Ruh perlahan keluar dari raga, meski sang maut menghadirkan maut itu sendiri dalam kelembutan yang teramat, tak urung “menyakitkan” raga Baginda Rasul. Hinggalah kala ruh lepas sehingga mata kaki, Baginda Rasul mengerenyit menahan sakit, keringat dingin memercik di sekujur tubuh.

Malak Al-Maut menghentikan gerakan tangannya, namun Baginda Rasul tetap mengatakan; “Teruskan saja wahai Malak, teruskan saja.”

Tatkala ruh terlepas hingga lah ke pinggang, Baginda Rasul nyaris saja berteriak lantang, begitulah sakit yang teramat dirasakan beliau. Lagi-lagi Malak Al-Maut menghentikan tarikannya. Dan Jibril pun memalingkan muka, dengan lelehan air mata di kedua pandangan.

“Duhai Jibril, kenapa engkau memalingkan wajahmu? Adakah aku begitu tak layak untuk engkau pandang?”

Seketika Jibril menangis tersedu-sedu. “Duhai Junjungan Alam, tidak satu pun di dirimu yang tidak layang untuk kupandang. Akan tetapi, sungguh, demi Allah Azza wa Jalla, tiada kekuatanku sedikitpun melihat engkau kesakitan.”

Namun, karena permintaan dari Baginda Rasul, Jibril Alaihi Sallam akhirnya mau menyaksikan wajah Baginda Rasul hingga ruhnya lepas keseluruhan dari raga.

Tidak ada air mata yang tidak menganaksungai di sana. Tidak Jibril, tidak pula Malak Al-Maut sendiri, lebih-lebih Aisyah putri Abu Bakar. Namun apa daya, ketetapan Allah adalah hal yang pasti, tiada satu kekuatan pun di semesta ini yang mampu menangguhi.

Seluruh makhluk-makhluk peka di muka bumi menunduk sedih, kehilangan sosok panutan. Para penghuni syurga tak mampu bersuara, meski asa untuk berjumpa dengan Baginda Rasul semakin terbuka lebar.

Muhammad putra Abdullah wafat dengan senyum damai di wajah. Menghembuskan napas terakhirnya dalam pelukan sang istri—Aisyah Radhiallahu Anhu, pada bulan juni 632 Masehi.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun