Maka terdiamlah Malak Al-Maut. Diam dalam pikiran yang bernas. Teringat kembali akan suara Sang Khalik; “…dan engkau akan melihat sesungguhnya pada apa-apa yang membuat dia menjadi sosok yang paling Ku-kasihi.”
“Yaa Malak Al-Maut, dari tadi aku tidak melihat Jibril. Tidakkah ia datang bersamamu?” tanya Baginda Rasul, berharap sahabat baiknya yang satu itu hadir saat itu juga.
“Akan aku panggilkan Jibril untukmu, Junjungan Alam.”
Maka pergilah Malak Al-Maut menjemput Jibril. Dengan izin Allah Azza wa Jalla, Jibril pun akhirnya tampil dengan rupa terindah yang ia miliki, berdua menemui Baginda Rasul.
Sungguh, melihat Baginda Rasul—yang adalah sahabat juga bagi dirinya—Jibril menitikkan air mata. Junjungan Alam terlihat lemah di ujung usianya. Dan kenyataan Malak Al-Maut hadir di sana adalah pukulan teramat besar yang dirasa Jibril.
Manakala tegur sapa dengan Jibril telah usai, maka Baginda Rasul berkata kepada Malak Al-Maut.
“Duhai Sang Maut, kiranya ketetapan silakan engkau laksanakan. Jangan engkau menunda barang sedetikpun.”
“Duhai jiwa yang penuh kasih, tidak akan aku cabut nyawamu melainkan dengan kelembutan yang tidak pernah kuberikan pada lain insan.”
Maka Asiyah putri Abu Bakar bergeser duduknya, memberi ruang bagi Malak Al-Maut berdiri di dekat kepala Baginda Rasul dengan sesak tangis yang kapan saja akan meledak keluar. Begitu pula Jibril yang berada di samping kiri Baginda Rasul, tiada kuat menyaksikan itu semua.
“Duhai jiwa yang agung, bila engkau merasakan sakit, maka berserulah. Agar aku bisa menghentikan barang sesaat.”