Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Descendant

15 Desember 2015   18:23 Diperbarui: 17 Desember 2015   01:31 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Episode 05.

The Girl Who Learned From the Unborn

Kadang-kadang den tanyokan ka diri

Untuak apo jantuang nan jo hati [1]

 

Malam begitu agung. Terang benderang bertakhtakan rembulan penuh. Purnama sempurna hari kelima belas, tanpa sepotong awan pun yang sanggup mengekang bias keemasan di selimut alam. Syair rayuan si burung pungguk, bersahutan dari satu titik ke titik lainnya, di hamparan belantara. Ditingkah nyanyian cumbu jangkrik, sempurna sudah simfoni malam.

Semua keindahan itu, tiada mampu menghentikan langkah kaki seorang gadis belia usia lima belas tahun—paling tidak, sekadar tuk menikmati semilir angin yang mungkin saja mampu membawakan mimpi indah. Tanpa alas kaki, berlari di antara kelebatan tanaman liar, tiada menghiraukan luka-luka lecet di kaki dan tangan. Seperti dikejar setan, ia terus memacu larinya menuju selatan.

Terpaut belasan meter di belakangnya, belasan pria mengejar gadis belia. Sebagian dari mereka berpakaian ala hulubalang negeri. Gonggongan anjing menyertai langkah mereka. Ketegangan di wajah mereka, bahkan melebihi ketegangan di wajah gadis belia. Andai kata gagal menangkap bocah perempuan itu, hukuman berat akan mereka terima dari sang penguasa baru Istano Silinduang Bulan.

Puti Bungo Tanjuang nama gadis belia, terus memacu lari. Deru napas dan degup jantung berpacu dahulu mendahului. Terus lari dan lari, hingga dada semakin sesak, semakin dingin setiap helaan napas. Seakan membekukan paru-paru dan lalu pecah dalam satu helaan.

Puti tersandung akar tua yang membusuk. Jatuh bergulingan ke sisi kanan, berakhir di dasar parit kecil yang nyaris kering. Ia mengertakkan rahang, menahan sakit, agar orang-orang yang mengejar tidak mengetahui keberadaannya.

Kembali ia bangkit, merangkak cepat menaiki sisi parit. Lari lagi dan lagi, tak hirau tubuh kotor bergelimang lumpur.

Nyaris dua kilometer Puti terus berlari ke arah selatan tanpa jeda. Di Depan—sisi timur—samar-samar ia bisa melihat gonjong Istano Basa di antara celah kerapatan pepohonan. Gurat tipis terukir di sudut bibir, hanya sesaat, sebelum ia melanjutkan larinya ke arah timur.

Sempat terbesit keinginan untuk meminta perlindungan dari orang-orang istana, namun satu suara tak berwujud membisikkan pada Puti untuk terus saja berlari.

“Jangan berharap, Istano Basa pun sudah dikuasai. Teruskan langkahmu hingga ke lereng Gunung Bungsu.”

Puti tidak tahu, dan tidak mengenal sedikit pun suara itu sebelumnya. Yang ia tahu, sedari tadi, suara itu membimbingnya meninggalkan Istano Silinduang Bulan.

Sesaat, Puti berhenti. Mengatur napas yang memburu. Lima meter di depan adalah jalan besar beraspal—sisi kanan gerbang masuk ke lingkungan Istano Basa. Meski dada bergemuruh, namun sepasang mata liar mengawasi.

Di depan gerbang Puti melihat empat pengawal berdiri di sana. Sebuah mobil box meluncur pelan dari ujung kiri jalan, berhenti tepat di hadapan dua penjaga gerbang di sisi yang sama. Entah apa yang mereka bicarakan, Puti tak bisa menangkap dengan jelas suara-suara mereka itu. Dua pengawal di kaki gerbang sisi kanan menghampiri mobil, setelah seorang rekan mereka di sisi kiri memanggil keduanya.

“Larilah…”

Kembali suara gaib itu bergema di telinga Puti. Perhatian para penjaga teralihkan, gadis belia melangkah keluar dari persembunyian. Melangkah santai agar nanti para penjaga mengira ia adalah penduduk setempat, orang biasa.

Degupan jantung kian menyesak, sepasang telinga menangkap pergerakan di belakang sana, meski sayup-sayup sampai. Dua langkah lagi, Puti akan meninggalkan jalanan beraspal, dan para penjaga itu—juga beberapa orang dari mobil box—tidak menyadari si gadis kecil berlalu menyeberangi jalan.

Terlindung bayang-bayang pohon dan rimbunnya tanaman, gadis belia kembali memacu larinya menuju tebing Gunung Bungsu yang berada beberapa ratus meter di belakang Istano Basa.

 

Pria-pria yang berusaha menangkap Puti sama mencapai gerbang Istano Basa, dua orang di antara mereka membawa dua ekor anjing pelacak. Empat orang penjaga gerbang sama mengerutkan dahi melihat pemandangan tak biasa di hadapan mereka, begitu juga yang di dalam mobil box.

Mobil itu melanjutkan perjalanannya setelah menurunkan tiga dus besar, dan meninggalkan dus-dus tersebut kepada keempat penjaga gerbang.

“Apo nan tajadi? Cando dikaja setan nampak e mah,”  tanya seorang penjaga gerbang.

(Translet: “Apa yang terjadi? Seperti dikejar setan saja tampaknya.”)

“Cilako… sabana cilako kito ko,”  jawab seorang di antara pengejar. “Si Bungo Tanjuang malarikan diri. Ko kami bausaho mangaja, tapi lari e cando limbubu.”

(Translet: “Celaka… Benar-benar celaka kita. Si Bunga Tanjung melarikan diri. Ini kami berusaha mengejar, tapi larinya bak angin puyuh.)

 

Belasan meter sudah Puti melewati bangunan Istano Basa, namun ia terus memacu larinya. Gonggongan anjing yang saling bersahutan seakan Si Jundai yang mengikik di gendang telinga. Baru saja gadis belia sedikit merasa senang sebab merasa tiada seorang pun yang mengikuti jejaknya, namun kembali membias. Berganti ketakutan yang kian membesar.

Dan benar saja. Dengan bantuan penciuman kedua ekor anjing, para hulubalang berhasil mengikuti jejak kaki sang gadis belia. Tidak ingin gadis itu lepas, lebih-lebih tak ingin mendapat hukuman dari sang penguasa, dua ekor anjing mereka lepaskan. Begitu rantai lepas dari kala di leher, kedua anjing menghambur cepat dan menghilang dari pandangan mereka, bak anak panah yang terlepas dari busurnya.

Dua ekor anjing begitu cepat menyusul Puti. Gadis belia menggeram dalam ketakutan, gonggongan anjing terdengar begitu dekat. Ia berpaling, dan terpekik kencang.

Mendengar pekik Puti di depan sana, para pengejar mengumbar senyum, bahkan seorang di antara mereka melepas tawa seakan seekor rusa besar siap untuk mereka dapatkan.

Puti tak ingin gagal, beberapa puluh meter lagi ia akan tiba di bawah tebing Gunung Bungsu, ia memaksa kaki yang telah lelah untuk berlari lebih cepat lagi, dan lagi. Dua ekor anjing semakin dekat, dan seekor di antaranya melompat tinggi. Menerkam gadis belia. Puti terpekik, bahu kirinya disambar anjing besar, tersungkur dan bergulingan ke dasar lekukan—parit yang sedang kering.

Mendengar jeritan histeris, para pengejar yakin jika gadis belia telah berhasil dilumpuhkan kedua ekor anjing tersebut. Mereka semakin bersemangat, mempercepat lari, menyusul ke arah suara sebelum kedua anjing membunuh gadis itu.

Kaing

Kaiiing…

Begitu para hulubalang hampir mencapai tepian parit, mereka sama disambut dengan dua tubuh yang melesat ke arah mereka. Sontak mereka—yang sekarang berjumlah dua puluh orang itu—sama menghindar.

Satu tubuh bergedebukan langsung ke tanah, lainnya menghantam batang pohon dengan keras lalu terhempas ke tanah.

Mata para pengejar sama membelalak. Dua tubuh yang terhempas itu adalah kedua anjing milik mereka. Semua pandangan kembali mengarah ke tepian parit. Sepasang mata sama memindai kegelapan. Mereka masih mendengar deru napas seseorang, dan itu terdengar seperti seseorang yang ketakutan sebelum akhirnya kembali hening. Tidak mungkin gadis belia yang melakukan itu semua, pikir seorang di antara mereka.

Saat seorang dari pengejar mendekati tepian parit, satu sosok—yang entah melompat dari mana—tahu-tahu mendarat di hadapannya. Sepersekian detik, pria yang mengenakan jaket kulit itu tercekat, lalu tubuhnya terhempas ke belakang dihantam kekuatan amat besar. Dan tergeletak dengan mulut berbusa bercampur darah, dan diam.

Sembilan belas orang lainnya sama terperangah menyaksikan satu rekan mereka tewas di depan mata. Sontak mereka memandang ke arah yang sama dengan sikap waspada. Dari gerak tubuh mereka, menggambarkan jika mereka adalah orang-orang yang—setidaknya—mengenal ilmu bela diri.

“Jahanam… barani mambunuah hulubalang Silinduang Bulan! Sabuikkan namo jo gala, nak sanang kami mambuek nisan…!”  ucap seorang yang berpakaian hulubalang pada sosok di depan mereka.

(Translet: “Jahanam… beraninya membunuh prajurit – Istano – Silinduang Bulan! Sebutkan nama dan gelarmu, agar mudah kami ukir di nisanmu…!)

Sosok yang dibentak tetap bergeming. Sembilan belas orang bergerak mengepungnya. Sesiur angin menyibak rapatnya dedaunan di kanopi, memberi keleluasaan cahaya sempurna sang purnama menyentuh lantai hutan.

Para hulubalang tak lagi memandang enteng sosok dalam kepungan, seorang yang di kanan sempat melihat ke dalam parit. Ia mengenali sosok yang sepertinya tengah pingsan di sana, Puti Bungo Tanjuang.

Bantuan cahaya rembulan sedikit “menegaskan” rupa sosok di depan. Ketenangan dari tatapan dan mimik wajah, menjelaskan lebih dari satu kata kepada para hulubalang; sosok tua itu seorang sakti.

Meski rambut sebahu telah memutih—diikat deta—begitu juga kumis dan janggut yang riap-riapan diterpa angin, namun wajah dan bentuk tubuhnya tak sedikit pun menampakkan ketuaan. Sorot mata menggidikkan, laksana bara menyala, merah tanpa bintik hitam di sana.

“Urang gaek, jan salahkan kami balancang diri!”  kembali pria itu membentak menanggapi keheningan sosok tua tersebut.

(Translet: “Orang tua, jangan salahkan kami jika lancang diri!”)

Heekh…

Pria yang berujar lantang tiba-tiba terdiam. Sebentuk benda panjang meluncur dari balik punggung sosok tua, melesat dan membelit leher prajurit istana tersebut. Melilit kuat dan kencang, hingga pria itu menjulurkan lidah. Lantas tewas dengan leher patah.

Menyaksikan itu, rekan-rekan si prajurit serempak menghambur. Menyerang sosok tua dalam balutan kain putih tersebut—seperti pakaian ihram orang-orang di Mekah.

Keroyokan datang bertubi. Si orang tua tetap bergeming, selangkah pun kakinya tiada bergerak. Benda panjang menyabet ganas, melilit dan menghentikan tendangan yang terarah ke wajahnya. Prajurit itu menjerit keras, pergelangan kakinya remuk “diremas” benda panjang yang ternyata sangat mirip dengan ekor panjang seekor harimau putih.

Dua tangannya tampak bergerak sedikit saja, namun empat prajurit yang mengeroyok terhempas beberapa meter ke belakang. Sama, keempatnya tewas dengan mulut berbusa bercampur lelehan darah. Sementara pria yang masih menjerit dan dalam keadaan tergantung terbalik, dihempaskan ekor panjang tersebut ke arah sebatang pohon.

Duaakh…

Ia pun tewas dengan tulang punggung patah.

Para hulubalang yang tersisa mulai khawatir. Tanpa ada komando sama sekali, kesemuanya mengeluarkan senjata. Mereka-mereka yang berpakaian ala hulubalang menghunus keris dan golok, sementara yang berpakaian jaket hitam dari kulit dan celana jeans yang senada mengacungkan senjata api.

Si orang tua mengunjuk seringai, sesaat berubah menjadi tawa menggema. Saat itu juga tubuhnya membesar dan menjadi lebih tinggi, dan sosoknya bertransformasi menjadi berlainan.

Para prajurit istana bergidik. Yang mereka hadapi sekarang memang bukanlah manusia, namun sesuatu yang lebih mengerikan. Inyiak Balang.

Panik dan ketakutan yang terpampang di wajah, membuat mereka menyerang membabi buta. Letusan senjata api, sabetan golok, dan tikaman keris seumpama curah hujan. Namun sosok setengah harimau itu tak gentar. Sekali bergerak, tubuhnya melesat laksana kilat. Setiap gerakan tangan, kaki, dan ekor panjangnya, selalu dibarengi jeritan memilukan dari pria-pria pengeroyok.

Hingga tersisa seorang saja. Prajurit ini telah lebih dulu mengambil jarak. Belasan rekannya tewas mengenaskan. Bergelimpangan begitu saja menutupi lantai hutan dengan darah dan isi perut terburai.

Nyali yang menciut memaksa sepasang kakinya untuk menjauh. Berputar arah, dan lari terbirit-birit meninggalkan medan pembantaian. Sosok setengah harimau mengaum dahsyat, sebelum tubuhnya menciut, dan kembali seperti sediakala.

 

***

Tiga tahun yang lalu.

Tanah Minang dikejutkan dengan kemunculan seorang wanita yang mengaku masih memiliki darah keturunan Sang Sapurba si Ruso Ameh—seorang raja berjuluk; Raja Natan Sang Sita Sangkala, yang berasal dari tanah Hindu—India.

Wanita itu bernama; Tuan Gadih Bamuluik Manih. Ia menuntut balas, sakit hati terhadap anak keturunan Suri Dirajo—raja yang memerintah kala itu—sebab Suri Dirajo menjadikan Sang Sapurba hanya sebagai “boneka”. Raja yang hanya sebagai pelambang saja atas kekayaan diri, dan itu dimanfaatkan oleh Suri Dirajo.

Tak pelak, berita itu mengguncang Tanah Minang. Tuan Gadih Bamuluik Manih yang jauh hari sebelumnya telah lebih dulu “menancapkan” kukunya—dengan ulet ia memanfaatkan kekayaan untuk menyusupi semua lini dan sendi dalam Adat Nagari—hingga menjadikan Istano Silinduang Bulan adalah kediaman bagi dirinya. Dan ia merasa berhak atas itu semua, mengingat leluhurnya adalah pendiri Kerajaan Bungo Satangkai.

Selama dua tahun Tuan Gadih Bamuluik Manih semakin menampakkan “taringnya” tak ada tanah di Ranah Minang yang tidak ia kuasai, bahkan hingga ke Istano Basa—dua kilometer ke arah tenggara dari Istano Silinduang Bulan—pun dikuasainya.

Setahun kemudian, masyarakat Minang yang tidak terima akan kepemimpinan Tuan Gadih Bamuluik Manih berusaha mencari jejak silsilah Kerajaan Tuo yang tertinggal. Kecanggihan teknologi berperan penting dalam hal ini. Hingga, mereka menemukan seorang gadis belia bernama; Puti Bungo Tanjuang di daerah Pesisir Selatan yang memiliki darah keturunan dari Adityawarman.

Penyelidikan atas silsilah Puti Bungo Tanjuang menunjukkan kebenaran, dan ini sangat tidak disukai oleh Tuan Gadih Bamuluik Manih. Namun, demi orang banyak tidak melakukan pemberontakan, ia memenuhi keinginan orang banyak untuk menempatkan Puti Bungo Tanjuang di dalam Istano Silinduang Bulan. Berpikir untuk melindungi gadis belia itu, sedikit pun Tuan Gadih tiada sudi. Hanya topeng dewi kebaikan yang ia unjukkan setiap kali berhadapan dengan khalayak ramai. Begitupun terhadap Puti, Tuan Gadih memaksa sang gadis belia untuk bermanis wajah setiap kali orang-orang ingin menemuinya, dalam ancaman yang ia tahu bukanlah sesuatu yang main-main.

Bagi Puti Bungo Tanjuang sendiri, hidup di dalam istana dan mendapat pelayanan terbaik adalah satu berkah tak bernilai, lebih-lebih selama beberapa tahun belakangan ia hidup sebatang kara. Namun kebahagiaan hanya berlangsung sesaat, sikap ketus Tuan Gadih yang kian hari kian menampakkan perangai aslinya membuat gadis belia seperti hidup dalam sangkar kurungan.

Bagi Tuan Gadih Bamuluik Manih, kematian Puti Bungo Tanjuang akan memutus harapan orang-orang Minang. Dan itulah rencananya. Bukan dengan kematian yang akan mendatangkan kecurigaan, tetapi dengan perlahan. Lewat makanan yang selalu disajikan untuk Puti Bungo Tanjuang. Ramuan mematikan yang sedikit demi sedikit diberikan, hingga tubuh kurus Puti Bungo Tanjuang kian terlihat ringkih.

Malam itu, Puti Bungo Tanjuang yang tak bisa lagi leluasa bermain—bahkan untuk sekadar keluar dari dalam istana—duduk melamun di samping jendela yang terbuka. Menatap sedih purnama sempurna di cakrawala malam.

 

Di lahia sajo tampaknyo sanang

Di batin luko denai suruakkan

Mangko den acok balangang-langang

Tuhan dangalah… nyanyian malam… [2]

 

Berulang-ulang syair itu ia bisikkan, plus dengan uraian air mata. Adalah lebih baik ia hidup seperti dulu di Pesisir Selatan, tiada satu pun yang peduli padanya tapi… itu lebih baik. Daripada di sini, orang-orang memberikan perhatian, tapi… semuanya dengan maksud terselubung.

“Jan basadiah…” –(“Jangan bersedih…”)

Tiba-tiba satu suara menyapa pendengaran sang gadis belia. Tiada bentuk, tiada ujud yang bisa dilihat Puti Bungo Tanjuang.

“Turuikkan bisiakan nanko. Apuih sudah aie mato tu, pantang mato buka talingo, langkahkan kaki tu.”

(Translet: “Ikutilah bisikan ini. Hapus air matamu, pentangkan mata buka telinga, langkahkan kakimu.”)

Meski cemas sebab suara tak berwujud, namun nada dalam suara itu begitu menenangkan, Puti tiada merasa sedikit pun ancaman dibalik suara itu. Merasa orang—atau entah siapa pun itu—bermaksud menolong dirinya, Puti melangkahkan kaki mengikuti arahan suara gaib, hingga berhasil keluar dari dalam Istano Silinduang Bulan dan melarikan diri ke Gunung Bungsu.

 

***

Puti membuka mata, suara gemeretak kecil dan berketerusan mengusik tidurnya. Perlahan ia bangkit, duduk. Ahh, api unggun, bisiknya dalam hati. Sedikit bingung dengan keberadaan dirinya di dalam ruangan itu. Ini bukan penjara, bukan pula istana, pikirnya. Lalu, sepasang mata menangkap sosok yang duduk bersila di atas sebuah batu pipih.

Untuk sesaat, gadis belia perhatikan tubuhnya sendiri. Memang, luka-luka lecet terutama luka di bahu akibat terkaman anjing masih ada—dibalut tanaman obat yang telah dilumatkan. Namun, tiada rasa sakit sama sekali, tubuhnya terasa jauh lebih ringan. Lebih bergairah dan hidup.

Kembali ia memandang sosok bersila di hadapannya. Puti harus memicingkan sedikit mata untuk bisa melihat lebih jelas wajah sosok itu.

“I—nyiak, di-dimano ambo kini ko?” –(“I—nyiak, di-dimana saya sekarang?”)

Sosok itu membuka matanya yang sejak lama terpejam. Sekilas, gurat tipis terukir di sudut bibir. Ia bersyukur, nyawa gadis belia itu bisa ia selamatkan. Bukan pada luka-luka di tubuhnya, tapi racun yang mengendap nyaris setahun ini, ulah Tuan Gadih Bamuluik Manih. Meski, gadis belia tidak—setidaknya belum—mengetahui perihal racun di dalam tubuhnya.

“Ananda sadang di dalam gua, lereang tabiang Gunuang Bungsu,”  jelas si orang tua sembari bangkit dan mendekati Puti.

(Translet: “Ananda berada di dalam gua, lereng tebing Gunung Bungsu,”)

“Tapi… baeko urang-urang istano naiak kamari. Ambo takuik, Nyiak. Urang-urang tu kasa ka ambo…”  Puti merasa suara gaib yang selama ini menuntun dirinya sama persis dengan suara sosok tua di hadapannya kini itu. Pasti dia pemilik suara itu, bisiknya dalam hati.

(Translet: “Tapi… bisa saja orang-orang istana menemukan kita di sini. Saya takut, Nyiak. Orang-orang itu berlaku kasar pada saya…”)

“Ndak usah takuik, Nak,” si orang tua duduk di samping Puti, dan memeluk gadis belia mencoba mengusir kerisauan yang tergambar dalam seraknya ucapan tadi. “Indak salamonyo langik ka kalam. Ndak salamonyo pulo lauik mambuncah.”

(Translet: “Jangan takut, Nak. Tidak selamanya langit akan gelap. Tidak selamanya pula laut membuncah.”)

Puti sesegukkan, menangis dalam pelukan si orang tua. Untuk sesaat ia bisa merasa jika dirinya telah selamat dari tangan orang-orang suruhan Tuan Gadih Bamuluik Manih.

“Inyiak, sia?”  tanyanya kemudian. (“Inyiak, siapa?”)

Pria tua mengulas senyum, membelai rambut hitam kusam sang gadis belia.

“Harimau Champa.”

Sepasang mata Puti nyaris saja melompat keluar, tak percaya pada pendengarannya, alih-alih penglihatannya sendiri. Apa pun itu, Puti yakin sekarang ia terlindungi. Dan pelukan pada tubuh pria tua semakin erat, layaknya pelukan pada ayah kandung sendiri.

Pria tua kembali tertawa, halus dan menenangkan.

 

-----bersambung^^-----

Dari berbagai sumber.

 

Note: Bahasa Minang yang digunakan adalah Bahasa Minang kebanyakan (yang dimengerti semua suku Minang) tadinya ingin menggunakan Bahasa Minang Pagaruyung, karena satu dan lain hal, akhirnya dibatalkan^^.

 

[1] dan [2] : Penggalan lirik lagu; Rinai Pambasuah Luko – Zalmon.

Translet:

Kadang-kadang kutanyakan ke diri,

Untuk apa gunanya jantung dan hati…

Di lahir saja terlihat senang,

Di batin luka telah kusembunyikan.

Sebab itu sering kududuk sendirian dalam kelengangan,

Tuhan, dengarkanlah nyanyian malam (keluh kesahku)…

 

Catatan:

Istano Silinduang Bulan: Istana yang terletak di nagari Pagaruyung, disebut juga; Rumah Gadang 9 Ruang. Selengkapnya, di sini…

Istano Basa:  lebih dikenal dengan nama; Istana Pagaruyung. Terletak di Tanjung Emas, Batusangkar – Sumatera Barat. Selengkapnya, di sini…

Gonjong:  tajuk; bagian sisi yang meruncing seperti tanduk. Contoh; pada atap rumah adat Minangkabau.

Hulubalang:  dubalang; dalam hal ini, prajurit atau pengawal.

Kala:  sabuk yang melingkar di leher anjing.

Si Jundai:  makhluk mitologi dalam kebudayaan Minang. Digambarkan; berwujud wanita bertubuh pendek namun dengan rambut yang sangat panjang dan sukar untuk diukur, plus berbau sangit. Biasanya suka cekikan di atas pohon. Sering digunakan untuk sarana pelet, gayung ataupun santet.

Inyiak Balang:  bisa juga diartikan menjadi; Datuk Harimau.

Inyiak:  panggilan terhadap sesepuh, pria maupun wanita, di tanah Minang.

Sang Sapurba: Ruso Ameh;  Rusa Emas. Hikayatnya bisa ditemukan dalam cerita tua (tambo—babad) Minangkabau. Begitu juga dengan Suri Dirajo  yang semuanya dikisahkan pada masa-masa Kerajaan Minang Kuno—kerajaan-kerajaan pendahulu Kerajaan Pagaruyung.

Harimau Champa:  satu dari empat pendekar tangguh sebelum zaman Kerajaan Pagaruyung. Tiga lainnya; Kucing Siam, Kambing Hutan, dan Anjing Mualim. Dari mereka lah akhirnya terlahir Luhak Nan Tigo; Luhak Nan Tuo, Luhak Agam, dan Luhak 50 Koto.

            TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 15 Desember 2015.

Sumber ilustrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun