Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Descendant

15 Desember 2015   18:23 Diperbarui: 17 Desember 2015   01:31 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***

Puti membuka mata, suara gemeretak kecil dan berketerusan mengusik tidurnya. Perlahan ia bangkit, duduk. Ahh, api unggun, bisiknya dalam hati. Sedikit bingung dengan keberadaan dirinya di dalam ruangan itu. Ini bukan penjara, bukan pula istana, pikirnya. Lalu, sepasang mata menangkap sosok yang duduk bersila di atas sebuah batu pipih.

Untuk sesaat, gadis belia perhatikan tubuhnya sendiri. Memang, luka-luka lecet terutama luka di bahu akibat terkaman anjing masih ada—dibalut tanaman obat yang telah dilumatkan. Namun, tiada rasa sakit sama sekali, tubuhnya terasa jauh lebih ringan. Lebih bergairah dan hidup.

Kembali ia memandang sosok bersila di hadapannya. Puti harus memicingkan sedikit mata untuk bisa melihat lebih jelas wajah sosok itu.

“I—nyiak, di-dimano ambo kini ko?” –(“I—nyiak, di-dimana saya sekarang?”)

Sosok itu membuka matanya yang sejak lama terpejam. Sekilas, gurat tipis terukir di sudut bibir. Ia bersyukur, nyawa gadis belia itu bisa ia selamatkan. Bukan pada luka-luka di tubuhnya, tapi racun yang mengendap nyaris setahun ini, ulah Tuan Gadih Bamuluik Manih. Meski, gadis belia tidak—setidaknya belum—mengetahui perihal racun di dalam tubuhnya.

“Ananda sadang di dalam gua, lereang tabiang Gunuang Bungsu,”  jelas si orang tua sembari bangkit dan mendekati Puti.

(Translet: “Ananda berada di dalam gua, lereng tebing Gunung Bungsu,”)

“Tapi… baeko urang-urang istano naiak kamari. Ambo takuik, Nyiak. Urang-urang tu kasa ka ambo…”  Puti merasa suara gaib yang selama ini menuntun dirinya sama persis dengan suara sosok tua di hadapannya kini itu. Pasti dia pemilik suara itu, bisiknya dalam hati.

(Translet: “Tapi… bisa saja orang-orang istana menemukan kita di sini. Saya takut, Nyiak. Orang-orang itu berlaku kasar pada saya…”)

“Ndak usah takuik, Nak,” si orang tua duduk di samping Puti, dan memeluk gadis belia mencoba mengusir kerisauan yang tergambar dalam seraknya ucapan tadi. “Indak salamonyo langik ka kalam. Ndak salamonyo pulo lauik mambuncah.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun