“Hmm…”
Pakde Darmin mengangguk-angguk lantas mendongak menatap langit biru. Kembali seringai tipis terukir di bibir keriput Pakde Darmin, semakin aneh dengan bayang sekilas yang melintas di kedua bola matanya, berkilat.
“Biyuuung…”
Kaget, Babeh Usman meloncat dari duduknya menghadap Pakde Darmin dengan posisi memasang kuda-kuda silat Betawi-nya. Teriakan Pakde Darmin barusan benar-benar membuat jantung Babeh Usman berdegup kencang.
“Kesambet demit mane lu, Min?”
Pakde Darmin mengusap-usap wajahnya, waafilkhususon mata kirinya. Di situ, Babeh Usman bisa melihat ada noda hitam bertitik putih.
Detik berikutnya, Babeh Usman mengakak kencang sembari menekan perutnya. Ternyata ohh ternyata, seekor cecak yang nangkring di dahan mangga di atas kepala Pakde Darmin menjatuhkan “hajatnya”. Apesnya, tuh hajat yang baunya naudzubillah, tepat menimpa mata kiri Pakde Darmin.
***
Sore, pukul empat. Benjo melintasi jalanan kecil dengan santai—bukan Benjonya yang santai, tapi laju tuh motor. Dari raut wajahnya yang memelas, sudah dapat diterka; gagal lagi, gagal lagi.
“Nape nasib gue apes banget, yak?” gerutunya pada diri sendiri.
Dua puluh meter lagi di depan—di dekat warung gorengan-nya Teh Nina—Benjo melihat seorang sahabatnya. Orang yang paling bertanggung jawab atas keanehan mimpi yang ia alami sepanjang malam tadi. Bay, nama pria kurus dengan potongan rambut ala-ala Andy Lau di era 90an itu—katanya sih, karena terobsesi dengan cintanya Bibi Long dalam serial Yoko yang diperanin Andy Lau kala itu.