Mohon tunggu...
And Media
And Media Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis Lepas

Journalist Graphic Design Web Development

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menapak Sunyi Menelisik Misteri di Pesisir Utara Surabaya

5 Februari 2019   15:53 Diperbarui: 5 Februari 2019   16:43 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam tanganku terlihat menunjukkan pukul sembilan, langit pun tampak begitu cerah, secerah wajahmu menyapa hiks.. 😜😅. Kala itu, suhu udara berkisaran angka 35 derajat celcius, aku pun segera bergegas untuk berangkat menuju salah satu spot kawasan heritage di Surabaya.

Hari itu, aku bersama kawanku berniat mengikuti kegiatan napas tilas observasi sejarah, bersama Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Surabaya serta komunitas pemerhati sejarah. Bahkan, beberapa mahasiswa yang sedang melakukan tugas akhir, nampak ikut dalam ekspedisi ini.

Spot heritage yang kami tuju, berada di Jalan Kedung Cowek. Lokasinya, persis di pesisir utara Kota Surabaya. Siapa sangka, di dekat tol gerbang masuk Jembatan Suromadu, terdapat benteng kuno peninggalan jaman kolonial Hindia Belanda, yang menghadap langsung ke Selat Madura. Orang-orang sekitar, biasa menyebutnya dengan Benteng Kedung Cowek. Namun, kadang juga ada yang menyebut sebagai gudang senjata atau peluru. Pantas saja, memang tempat ini dulunya pernah digunakan TNI sebagai gudang penyimpanan peluru.

Namun sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui keberadaan benteng satu ini. Selain tempatnya yang masih tertutup dengan semak belukar, kawasan ini juga tidak terbuka untuk umum. Sebab, kawasan ini masuk dalam pengawasan pihak TNI. Pengunjung yang akan masuk, diwajibkan untuk melaporkan tujuannya ke sana kepada petugas TNI yang menjaga Benteng Kedung Cowek. Jika anda berniat berkunjung ke sini, saya sarankan menggunakan sepatu dan celana panjang, agar terhindar dari sengatan ular maupun hewan berbisa.

Usai menempuh perjalanan dari kantor sekitar 20 menit, kami pun tiba di kawasan Benteng Kedung Cowek. Kami berdua langsung menuju ke pos penjagaan TNI yang berada di sisi sebelah barat benteng. Tampak tiga orang bapak-bapak berbaju doreng, terlihat sedang berjaga. Rombongan dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, serta komunitas pemerhati sejarah, rupanya juga sudah tiba duluan. Sejenak kami mengobrol sembari berkenalan. Tak berapa lama, kami mulai beranjak berjalan setapak, menuju lokasi benteng yang tak jauh dari pos penjagaan.

Dari sini terlihat jelas indahnya panorama laut Surabaya (dok pribadi)
Dari sini terlihat jelas indahnya panorama laut Surabaya (dok pribadi)
Rombongan mulai berjalan setapak melewati batuan terjal melintas di pesisir pantai. Dari sini, terlihat jelas indahnya panorama laut Surabaya. Di penghujung mata, juga tampak membentang jembatan yang menjadi penghubung Kota Surabaya dengan Pulau Madura. 

Tak lupa, sebuah kamera kesayangan mulai aku siapkan, untuk dokumentasi. Setapak demi setapak, kami mulai berjalan, medan yang sedikit menanjak, tak menyulut langkah kami untuk menguak misteri benteng yang dibangun akhir abad 19 ini.

Tibalah kami di deretan bangunan benteng paling barat. Tampak jelas tembok beton bangunan ini masih berdiri kokoh tertutup rindangnya pepohonan. Rombongan sejenak berhenti, sembari mendengar cerita dari Ady Setyawan, pendiri komunitas Roodebrug Soerabaia.

Rombongan sejenak berhenti, untuk mendengarkan cerita sejarah Benteng Kedung Cowek dari Ady Setyawan pendiri komunitas Roodebrug Soerabaia (dok pribadi)
Rombongan sejenak berhenti, untuk mendengarkan cerita sejarah Benteng Kedung Cowek dari Ady Setyawan pendiri komunitas Roodebrug Soerabaia (dok pribadi)
Sejarah mencatat, benteng ini dibangun jaman kolonial Hindia-Belanda pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Namun kala itu, Belanda belum sempat memanfaatkan, benteng ini sudah jatuh ke tangan Jepang. Hal yang sama, Jepang juga tak sempat memanfaatkan, hingga akhirnya benteng ini pun jatuh ke tangan Republik Indonesia yang baru diproklamasikan.

Pada peristiwa perang 10 Nopember 1945, sejarah mencatat, benteng ini pernah digunakan oleh bekas Pasukan Heiho (Bentukan Jepang). Bekas pasukan Heiho ini, sebelumnya bertempur di Pulau Morotai dengan kondisi kalah perang dan singgah di Surabaya.

Ketika sampai di Surabaya, pimpinan mereka bertemu dengan Kolonel dr. Wiliater Hutagalung, ia pun menceritakan bagaimana kondisi Indonesia yang sudah merdeka. Namun, kemerdekaan yang telah diraih itu harus dipertahankan. Akhirnya mereka diminta tolong oleh Kolonel Wiliater Hutagalung untuk membantu arek-arek Suroboyo berperang melawan sekutu.

Deretan perbentengan ini menghadap langsung ke Selat Madura (dok pribadi)
Deretan perbentengan ini menghadap langsung ke Selat Madura (dok pribadi)
Bahkan, Kolonel Wiliater Hutagalung menyarankan mereka untuk membentuk batalyon dan mengatur pangkat sendiri. Hingga kemudian, mereka menamakan diri sebagai Pasukan Sriwijaya. Mereka adalah sekelompok pemuda yang sebagian besar berasal dari Aceh, Tapanuli dan Deli, dan hanya beberapa yang berasal dari Sumatera Barat dan Selatan.

Saat itu, kondisi Surabaya memang benar-benar genting, sekutu Inggris menyatakan perang dengan mengultimatum Surabaya. Namun, arek-arek Suroboyo yang dikenal pantang menyerah, lebih memilih melawan. Bahkan, mereka bersemboyan Merdeka ataoe Mati...!!

Kondisi salah satu bangunan dalam benteng (dok pribadi)
Kondisi salah satu bangunan dalam benteng (dok pribadi)
Di Benteng Kedung Cowek inilah Pasukan Sriwijaya yang dikenal terlatih mengoperasikan meriam-meriam berat bertempur menghadang armada kapal-kapal Inggris. Bahkan, kala itu, sekutu Inggris menyangka, jika yang menembaki armada kapal mereka adalah anggota pasukan Jepang yang tidak tunduk terhadap sekutu. Sehingga perlawanan itu dianggap sebagai tindakan kejahatan perang (war criminal).

Dalam pertempuran Surabaya fase pertama (27-29 Oktober 1945) dan fase kedua (10 November 1945 hingga awal Desember 1945/pertempuran sekitar tiga minggu), diperkirakan sepertiga Pasukan Sriwijaya tewas. Bahkan, sengitnya pertempuran kala itu, memuat banyak jenazah tidak sempat untuk dimakamkan. 

Ironisnya, pasukan-pasukan yang telah gugur itu, hingga kini tanpa nama dan tanda pengenal. Namun, sejarah tidak akan pernah hilang, jika di benteng inilah saksi bisu perjuangan Pasukan Sriwijaya membantu arek-arek Suroboyo bertempur mempertahankan kemerdekaan dari serangan sekutu Inggris.

Salah satu benteng yang berbentuk setengah melingkar, dahulu digunakan sebagai landasan meriam (dok pribadi)
Salah satu benteng yang berbentuk setengah melingkar, dahulu digunakan sebagai landasan meriam (dok pribadi)
Dari hasil observasi di lapangan, kawasan benteng ini memiliki luas sekitar 700 meter, bahkan hampir mencapai 1 kilometer. Sayangnya, beberapa bangunan benteng terlihat masih kotor dan belum dibersihkan, sehingga kami hanya bisa melihat dari kejauhan.

Bahkan, salah satu bangunan benteng ada yang berbentuk setengah lingkaran, dulu digunakan sebagai landasan meriam. Rel besi untuk lintasan meriam pun masih terlihat jelas di bangunan tersebut.

Di benteng ini, ada beberapa ruas kosong yang dahulu digunakan untuk ventilasi udara dan mengintai musuh. Beberapa pipa besi pun dibuat melengkung ke bawah, agar musuh tidak bisa memasukkan granat.

Rel besi untuk lintasan meriam masih terlihat jelas di bangunan benteng tersebut (dok pribadi)
Rel besi untuk lintasan meriam masih terlihat jelas di bangunan benteng tersebut (dok pribadi)
Terlebih, dari hasil penelusuran kami, sisa-sisa bekas tembakan senapan, masih membekas di tembok bangunan benteng. Beberapa proyektil peluru juga terlihat masih bersarang di tembok bangunan. Hal ini membuktikan bagaimana dahsyatnya pertempuran kala itu.

Sayangnya, banyak aksi vandalisme yang merusak estetika bangunan benteng. Beberapa tembok benteng terdapat coretan-coretan orang tak bertanggung jawab. Miris memang, dengan kondisi masyarakat kita yang kurang peduli terhadap nilai-nilai sejarah.

Sebenarnya, Benteng Kedung Cowek bisa menjadi destinasi wisata heritage bila dikelola dengan baik. Tapi memang, saat ini Benteng Kedung Cowek masih berada dalam pengawasan TNI. Sehingga pemerintah daerah, masih belum punya wewenang untuk melakukan revitalisasi kawasan tersebut.

Salah satu sumber mata air tawar yang ditemukan saat penelusuran benteng (dok pribadi)
Salah satu sumber mata air tawar yang ditemukan saat penelusuran benteng (dok pribadi)
Sekitar dua jam lebih berkeliling, kami bersama rombongan akhirnya mengakhiri penelusuran dan beristirahat di titik awal bertemu (Pos Penjagaan).

Banyak hal yang bisa dipetik dari hasil observasi kali ini. Namun, yang menjadi catatan saya, walaupun Pasukan Sriwijaya bukan berasal dari Pulau Jawa, namun rasa gotong-royong dan nasionalisme mereka dahulu sudah begitu tinggi. Mereka rela berkorban nyawa berjuang bersama arek-arek Suroboyo untuk mempertahankan kemerdekaan.

Tinggal sekarang kita sebagai penerus bangsa bagaimana memaknai dan melanjutkan perjuangan mereka??

Terima kasih banyak atas perjuanganmu mempertahankan kota kami tercinta Surabaya dan bangsa ini. Walau tubuhmu hancur berkeping-keping, namun kami akan terus ingat dan mengenang jasa-jasa perjuangamu. 🙏🙏

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun