Jam tanganku terlihat menunjukkan pukul sembilan, langit pun tampak begitu cerah, secerah wajahmu menyapa hiks.. 😜😅. Kala itu, suhu udara berkisaran angka 35 derajat celcius, aku pun segera bergegas untuk berangkat menuju salah satu spot kawasan heritage di Surabaya.
Hari itu, aku bersama kawanku berniat mengikuti kegiatan napas tilas observasi sejarah, bersama Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Surabaya serta komunitas pemerhati sejarah. Bahkan, beberapa mahasiswa yang sedang melakukan tugas akhir, nampak ikut dalam ekspedisi ini.
Spot heritage yang kami tuju, berada di Jalan Kedung Cowek. Lokasinya, persis di pesisir utara Kota Surabaya. Siapa sangka, di dekat tol gerbang masuk Jembatan Suromadu, terdapat benteng kuno peninggalan jaman kolonial Hindia Belanda, yang menghadap langsung ke Selat Madura. Orang-orang sekitar, biasa menyebutnya dengan Benteng Kedung Cowek. Namun, kadang juga ada yang menyebut sebagai gudang senjata atau peluru. Pantas saja, memang tempat ini dulunya pernah digunakan TNI sebagai gudang penyimpanan peluru.
Namun sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui keberadaan benteng satu ini. Selain tempatnya yang masih tertutup dengan semak belukar, kawasan ini juga tidak terbuka untuk umum. Sebab, kawasan ini masuk dalam pengawasan pihak TNI. Pengunjung yang akan masuk, diwajibkan untuk melaporkan tujuannya ke sana kepada petugas TNI yang menjaga Benteng Kedung Cowek. Jika anda berniat berkunjung ke sini, saya sarankan menggunakan sepatu dan celana panjang, agar terhindar dari sengatan ular maupun hewan berbisa.
Usai menempuh perjalanan dari kantor sekitar 20 menit, kami pun tiba di kawasan Benteng Kedung Cowek. Kami berdua langsung menuju ke pos penjagaan TNI yang berada di sisi sebelah barat benteng. Tampak tiga orang bapak-bapak berbaju doreng, terlihat sedang berjaga. Rombongan dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, serta komunitas pemerhati sejarah, rupanya juga sudah tiba duluan. Sejenak kami mengobrol sembari berkenalan. Tak berapa lama, kami mulai beranjak berjalan setapak, menuju lokasi benteng yang tak jauh dari pos penjagaan.
Tak lupa, sebuah kamera kesayangan mulai aku siapkan, untuk dokumentasi. Setapak demi setapak, kami mulai berjalan, medan yang sedikit menanjak, tak menyulut langkah kami untuk menguak misteri benteng yang dibangun akhir abad 19 ini.
Tibalah kami di deretan bangunan benteng paling barat. Tampak jelas tembok beton bangunan ini masih berdiri kokoh tertutup rindangnya pepohonan. Rombongan sejenak berhenti, sembari mendengar cerita dari Ady Setyawan, pendiri komunitas Roodebrug Soerabaia.
Pada peristiwa perang 10 Nopember 1945, sejarah mencatat, benteng ini pernah digunakan oleh bekas Pasukan Heiho (Bentukan Jepang). Bekas pasukan Heiho ini, sebelumnya bertempur di Pulau Morotai dengan kondisi kalah perang dan singgah di Surabaya.
Ketika sampai di Surabaya, pimpinan mereka bertemu dengan Kolonel dr. Wiliater Hutagalung, ia pun menceritakan bagaimana kondisi Indonesia yang sudah merdeka. Namun, kemerdekaan yang telah diraih itu harus dipertahankan. Akhirnya mereka diminta tolong oleh Kolonel Wiliater Hutagalung untuk membantu arek-arek Suroboyo berperang melawan sekutu.
Saat itu, kondisi Surabaya memang benar-benar genting, sekutu Inggris menyatakan perang dengan mengultimatum Surabaya. Namun, arek-arek Suroboyo yang dikenal pantang menyerah, lebih memilih melawan. Bahkan, mereka bersemboyan Merdeka ataoe Mati...!!
Dalam pertempuran Surabaya fase pertama (27-29 Oktober 1945) dan fase kedua (10 November 1945 hingga awal Desember 1945/pertempuran sekitar tiga minggu), diperkirakan sepertiga Pasukan Sriwijaya tewas. Bahkan, sengitnya pertempuran kala itu, memuat banyak jenazah tidak sempat untuk dimakamkan.
Ironisnya, pasukan-pasukan yang telah gugur itu, hingga kini tanpa nama dan tanda pengenal. Namun, sejarah tidak akan pernah hilang, jika di benteng inilah saksi bisu perjuangan Pasukan Sriwijaya membantu arek-arek Suroboyo bertempur mempertahankan kemerdekaan dari serangan sekutu Inggris.
Bahkan, salah satu bangunan benteng ada yang berbentuk setengah lingkaran, dulu digunakan sebagai landasan meriam. Rel besi untuk lintasan meriam pun masih terlihat jelas di bangunan tersebut.
Di benteng ini, ada beberapa ruas kosong yang dahulu digunakan untuk ventilasi udara dan mengintai musuh. Beberapa pipa besi pun dibuat melengkung ke bawah, agar musuh tidak bisa memasukkan granat.
Sayangnya, banyak aksi vandalisme yang merusak estetika bangunan benteng. Beberapa tembok benteng terdapat coretan-coretan orang tak bertanggung jawab. Miris memang, dengan kondisi masyarakat kita yang kurang peduli terhadap nilai-nilai sejarah.
Sebenarnya, Benteng Kedung Cowek bisa menjadi destinasi wisata heritage bila dikelola dengan baik. Tapi memang, saat ini Benteng Kedung Cowek masih berada dalam pengawasan TNI. Sehingga pemerintah daerah, masih belum punya wewenang untuk melakukan revitalisasi kawasan tersebut.
Banyak hal yang bisa dipetik dari hasil observasi kali ini. Namun, yang menjadi catatan saya, walaupun Pasukan Sriwijaya bukan berasal dari Pulau Jawa, namun rasa gotong-royong dan nasionalisme mereka dahulu sudah begitu tinggi. Mereka rela berkorban nyawa berjuang bersama arek-arek Suroboyo untuk mempertahankan kemerdekaan.
Tinggal sekarang kita sebagai penerus bangsa bagaimana memaknai dan melanjutkan perjuangan mereka??
Terima kasih banyak atas perjuanganmu mempertahankan kota kami tercinta Surabaya dan bangsa ini. Walau tubuhmu hancur berkeping-keping, namun kami akan terus ingat dan mengenang jasa-jasa perjuangamu. 🙏🙏
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H