Mohon tunggu...
ANDJANI RAMADINA AZZAHRA
ANDJANI RAMADINA AZZAHRA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa / Akuntansi / FEB/Universitas Mercu Buana

Nama : Andjani Ramadina Azzahra NIM : 43222120001 Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan etik umb

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

KUIS 11 - Diskursus Sigmund Freud dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

21 November 2024   02:17 Diperbarui: 21 November 2024   03:19 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Contohnya, seorang pejabat yang melakukan korupsi mungkin akan berkata pada dirinya sendiri, "Saya pantas mendapatkan ini karena saya sudah bekerja keras," atau "Semua orang melakukannya, jadi ini adalah hal yang wajar." 

Rasionalisasi ini memungkinkan Ego untuk menenangkan Superego dan mengurangi rasa bersalah yang mungkin muncul akibat tindakan korupsi. Dengan demikian, Ego tidak hanya berfungsi sebagai penengah, tetapi juga sebagai pembenaran bagi dorongan Id yang tidak terkendali.

Superego dan Kegagalan Pengawasan Moral

Superego adalah bagian dari kepribadian yang seharusnya mencegah seseorang melakukan tindakan yang melanggar norma moral. Namun, dalam banyak kasus korupsi, Superego tampaknya gagal dalam menjalankan fungsinya. Mengapa ini bisa terjadi?

Salah satu alasannya adalah budaya korupsi yang sudah mengakar dalam masyarakat atau institusi tertentu. Ketika korupsi menjadi praktik yang diterima secara sosial, nilai-nilai moral yang seharusnya diinternalisasi oleh Superego menjadi terdistorsi. Seseorang mungkin tidak lagi merasa bersalah melakukan tindakan korupsi, karena lingkungan sekitarnya menganggap tindakan tersebut sebagai bagian dari sistem yang sudah ada.

Selain itu, kurangnya pendidikan moral yang kuat juga dapat menyebabkan kelemahan pada Superego. Jika seseorang tidak mendapatkan pendidikan yang cukup tentang pentingnya integritas dan etika, maka Superego mereka mungkin tidak berkembang dengan baik. Dalam situasi ini, dorongan Id untuk mendapatkan keuntungan pribadi bisa dengan mudah mengalahkan pengawasan moral yang seharusnya dilakukan oleh Superego.

Lingkungan Sosial dan Budaya Korupsi

Dalam memahami bagaimana korupsi terjadi, kita juga perlu mempertimbangkan faktor eksternal seperti lingkungan sosial dan budaya. Di Indonesia, korupsi sering kali dianggap sebagai bagian dari budaya birokrasi dan politik. Di banyak institusi, korupsi telah menjadi norma yang diterima, dan individu yang menolak untuk terlibat dalam praktik tersebut dapat dianggap sebagai ancaman bagi sistem yang ada.

Budaya seperti ini dapat melemahkan Superego individu, karena mereka melihat bahwa tindakan korupsi adalah sesuatu yang wajar dan bahkan diharapkan. Ketika seseorang berada dalam lingkungan di mana korupsi menjadi hal yang umum, mereka mungkin merasa terpaksa untuk ikut serta demi menjaga hubungan baik dengan rekan kerja atau atasan.

Dalam hal ini, bagaimana seseorang dapat menolak dorongan untuk melakukan korupsi menjadi sangat sulit, karena tekanan sosial yang kuat untuk mengikuti norma yang ada. Lingkungan yang permisif terhadap korupsi dapat mengaburkan batas antara yang benar dan salah, sehingga individu tidak lagi merasa bersalah ketika terlibat dalam tindakan tersebut.

Mengatasi Korupsi dari Perspektif Psikoanalisis Freud

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun