Mohon tunggu...
ANDJANI RAMADINA AZZAHRA
ANDJANI RAMADINA AZZAHRA Mohon Tunggu... Mahasiswa / Akuntansi / FEB/Universitas Mercu Buana

Nama : Andjani Ramadina Azzahra NIM : 43222120001 Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan etik umb

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis 9 - Diskursus Kejahatan pada Pemikiran Teodesi

8 November 2024   22:41 Diperbarui: 9 November 2024   00:31 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diskursus Kejahatan dalam Pemikiran Teodisi: Apa Itu Kejahatan?

Dalam wacana teologi dan filsafat, teodisi adalah upaya untuk membenarkan keadilan Tuhan di tengah-tengah adanya kejahatan dan penderitaan di dunia. Istilah teodisi pertama kali diperkenalkan oleh Gottfried Wilhelm Leibniz pada abad ke-18 dalam karyanya yang berjudul Essays on Theodicy. 

Teodisi mencoba menjawab pertanyaan mendasar: Jika Tuhan itu Maha Kuasa dan Maha Baik, mengapa kejahatan tetap ada di dunia ini? Pertanyaan ini menjadi pusat diskusi dalam banyak tradisi agama, khususnya agama-agama monoteis seperti Islam, Kristen, dan Yahudi.

Diskusi tentang teodisi melibatkan berbagai pemikiran dan pendekatan dari para filsuf dan teolog yang mencoba menjelaskan bagaimana kejahatan bisa eksis di dunia yang diyakini diciptakan oleh Tuhan yang Maha Pengasih. Dalam tulisan ini, kita akan membahas apa itu kejahatan menurut beberapa pandangan dalam teodisi, termasuk pandangan Leibniz, David Hume, dan Irenaeus.

Apa Itu Kejahatan?

Secara umum, kejahatan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bertentangan dengan kebaikan, merugikan makhluk hidup, dan menimbulkan penderitaan. Dalam konteks teologi, kejahatan sering dibagi menjadi dua kategori:

  1. Kejahatan Moral (Malum Morale): Kejahatan yang dilakukan oleh manusia melalui tindakan yang disengaja, seperti pembunuhan, pencurian, dan penipuan. Kejahatan moral adalah hasil dari pilihan bebas manusia untuk melakukan perbuatan jahat yang melanggar hukum moral dan agama.

  2. Kejahatan Alamiah (Malum Physicum): Kejahatan yang terjadi akibat fenomena alam, seperti bencana alam (gempa bumi, tsunami), penyakit, dan kematian. Kejahatan jenis ini tidak melibatkan tindakan manusia secara langsung, tetapi tetap menimbulkan penderitaan.

Dalam diskusi teodisi, kehadiran kejahatan jenis apa pun menimbulkan dilema. Bagaimana mungkin Tuhan yang Maha Baik mengizinkan penderitaan yang begitu hebat terjadi? Ini adalah pertanyaan yang memicu beragam jawaban dari para pemikir teologi sepanjang sejarah.

Modul Prof.Apollo
Modul Prof.Apollo

Modul Prof.Apollo
Modul Prof.Apollo

Modul Prof.Apollo
Modul Prof.Apollo

Teodisi Leibniz: Dunia Terbaik yang Mungkin Ada

Gottfried Wilhelm Leibniz adalah salah satu filsuf yang percaya bahwa meskipun ada kejahatan di dunia, dunia ini tetap merupakan "dunia terbaik yang mungkin ada". Menurutnya, Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana tentu tidak akan menciptakan dunia yang sepenuhnya buruk. Dalam pandangan Leibniz, kejahatan yang ada di dunia ini tidak bertentangan dengan kebaikan Tuhan, tetapi justru bagian dari rencana ilahi yang lebih besar.

Leibniz menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan dunia dengan mempertimbangkan keseluruhan harmoni. Dunia ini mungkin mengandung kejahatan, namun kejahatan tersebut berperan dalam menciptakan keseimbangan dan kebaikan yang lebih besar. Misalnya, penderitaan dapat membantu manusia memahami nilai kebahagiaan dan kesenangan. Dengan kata lain, kejahatan berfungsi untuk menekankan nilai-nilai kebaikan dan mendorong manusia untuk mencapainya.

Leibniz juga menekankan bahwa tidak ada sesuatu yang benar-benar jahat. Segala sesuatu yang tampak sebagai kejahatan atau penderitaan memiliki alasan yang lebih tinggi, yang mungkin tidak bisa dipahami oleh manusia. Jika kita mengetahui seluruh alasan Tuhan dalam menciptakan dunia, kita akan menyadari bahwa semua kejahatan yang ada sebenarnya berkontribusi pada kebaikan yang lebih besar (Leibniz, 1710).

David Hume: Kritik terhadap Teodisi

David Hume, seorang filsuf empiris dari Skotlandia, mengajukan kritik tajam terhadap teodisi. Dalam karyanya, Dialogues Concerning Natural Religion, Hume berargumen bahwa kehadiran kejahatan di dunia merupakan tantangan serius bagi kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Baik. Menurut Hume, jika Tuhan adalah makhluk yang Maha Kuasa, maka Dia seharusnya mampu mencegah kejahatan. Sebaliknya, jika Tuhan adalah makhluk yang Maha Baik, maka Dia tentu menginginkan untuk mencegah penderitaan yang tidak perlu.

Hume mempertanyakan, mengapa kejahatan terus ada jika Tuhan memiliki kemampuan untuk menghentikannya? Menurut Hume, jika kita berpegang pada keyakinan bahwa Tuhan Maha Kuasa dan Maha Baik, maka keberadaan kejahatan di dunia membawa kita pada kesimpulan bahwa salah satu dari dua sifat tersebut tidak benar. Dengan kata lain, kehadiran kejahatan bisa berarti bahwa Tuhan tidak sepenuhnya baik atau tidak sepenuhnya berkuasa (Hume, 1779).

Teodisi Irenaeus: Penderitaan sebagai Proses Pertumbuhan

Pandangan lain tentang teodisi datang dari Irenaeus, seorang teolog Kristen awal. Dalam teodis Irenaeus, kejahatan dan penderitaan dipandang sebagai bagian dari proses pertumbuhan manusia. Irenaeus berpendapat bahwa manusia tidak diciptakan dalam kondisi sempurna, tetapi dalam kondisi yang memungkinkan mereka untuk berkembang menuju kesempurnaan moral dan spiritual.

Menurut Irenaeus, Tuhan memberikan manusia kehendak bebas untuk memilih antara kebaikan dan kejahatan. Kebebasan ini penting, karena tanpa kehendak bebas, manusia tidak dapat mengembangkan kebajikan moral seperti kesabaran, kebaikan, dan keberanian. Penderitaan yang dialami manusia di dunia ini, menurut Irenaeus, adalah bagian dari ujian moral yang memungkinkan manusia untuk bertumbuh dan menjadi sempurna secara moral.

Lebih lanjut, Irenaeus berpendapat bahwa kesempurnaan moral manusia tidak bisa dicapai dalam sekejap, tetapi harus melalui proses berkembang secara bertahap. Oleh karena itu, kejahatan dan penderitaan di dunia ini adalah alat pendidikan yang digunakan oleh Tuhan untuk membantu manusia mencapai kesempurnaan. Meskipun penderitaan tidak mengenakkan, ia memiliki tujuan yang lebih tinggi dalam membentuk karakter manusia (Irenaeus, 180).

Mengapa Kejahatan Ada di Dunia yang Diciptakan oleh Tuhan yang Maha Kuasa?

Salah satu pertanyaan mendasar dalam filsafat agama dan teologi adalah mengapa kejahatan dan penderitaan ada di dunia jika Tuhan yang menciptakan dunia ini diyakini sebagai Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Baik, dan Maha Pengasih? Pertanyaan ini menimbulkan problem kejahatan yang menjadi pusat diskusi dalam pemikiran teodisi. Teodisi berasal dari bahasa Yunani "theos" yang berarti Tuhan, dan "dike" yang berarti keadilan, sehingga secara harfiah berarti pembenaran Tuhan. Dengan kata lain, teodisi berusaha menjawab pertanyaan mengapa Tuhan mengizinkan kejahatan dan penderitaan terjadi di dunia ciptaan-Nya.

Dalam tulisan ini, kita akan mengeksplorasi mengapa kejahatan ada menurut pemikiran beberapa tokoh besar dalam teodisi, termasuk Leibniz, David Hume, dan Irenaeus, serta bagaimana mereka mencoba menjawab problem kejahatan dalam konteks keberadaan Tuhan.

Mengapa Kejahatan Ada?

Kejahatan, dalam konteks teologi, sering kali dibagi menjadi dua kategori utama:

  1. Kejahatan Moral: Kejahatan ini merujuk pada tindakan jahat yang dilakukan oleh manusia, seperti pembunuhan, pencurian, atau penipuan. Kejahatan moral terjadi karena pilihan bebas manusia untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum moral.

  2. Kejahatan Alamiah: Kejahatan ini mencakup penderitaan yang disebabkan oleh fenomena alam, seperti bencana alam, penyakit, dan kematian. Kejahatan alamiah tidak terkait langsung dengan tindakan manusia, tetapi tetap menimbulkan penderitaan yang besar.

Kedua jenis kejahatan ini memicu pertanyaan tentang mengapa Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Baik mengizinkan kejahatan terjadi. Berbagai filsuf dan teolog telah mencoba menjawab pertanyaan ini melalui berbagai pendekatan yang dikenal sebagai teodisi.

Leibniz: Dunia Terbaik yang Mungkin Ada

Gottfried Wilhelm Leibniz, seorang filsuf Jerman, menawarkan salah satu jawaban paling terkenal untuk problem kejahatan. Dalam karyanya Essays on Theodicy (1710), Leibniz berargumen bahwa dunia ini adalah "dunia terbaik yang mungkin ada". Menurutnya, meskipun dunia ini mengandung kejahatan dan penderitaan, Tuhan menciptakan dunia ini sebagai dunia yang paling optimal dari semua kemungkinan dunia yang bisa ada.

Leibniz menjelaskan bahwa Tuhan Maha Bijaksana dan mengetahui segala kemungkinan. Jika tidak ada kejahatan, maka kebahagiaan, kebaikan, dan keadilan mungkin tidak akan dipahami atau dihargai sepenuhnya. Dengan kata lain, kejahatan diperlukan untuk menyoroti kebaikan. Menurut Leibniz, Tuhan memiliki alasan yang baik dan bijaksana untuk mengizinkan kejahatan ada, bahkan jika manusia tidak selalu mampu memahaminya. Leibniz percaya bahwa kejahatan yang tampak di dunia ini mungkin merupakan bagian dari rencana besar yang lebih baik yang hanya dapat dipahami dalam konteks keseluruhan ciptaan Tuhan.

Mengapa kejahatan ada? Bagi Leibniz, jawabannya adalah karena dunia ini, meskipun tidak sempurna, adalah dunia terbaik yang bisa diciptakan oleh Tuhan dengan mempertimbangkan segala konsekuensi yang mungkin terjadi (Leibniz, 1710).

David Hume: Kritik terhadap Teodisi

David Hume, seorang filsuf skeptis dari Skotlandia, memberikan kritik yang tajam terhadap teodisi. Dalam karyanya Dialogues Concerning Natural Religion (1779), Hume mempertanyakan bagaimana mungkin Tuhan yang Maha Baik dan Maha Kuasa mengizinkan kejahatan dan penderitaan terjadi. Hume berargumen bahwa kehadiran kejahatan di dunia ini tidak kompatibel dengan keyakinan bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa dan Maha Baik.

Hume mengajukan beberapa skenario yang memunculkan dilema teologis. Jika Tuhan mampu mencegah kejahatan tetapi tidak mau melakukannya, maka Tuhan tidak Maha Baik. Sebaliknya, jika Tuhan ingin mencegah kejahatan tetapi tidak mampu melakukannya, maka Tuhan tidak Maha Kuasa. Jika Tuhan baik dan berkuasa, mengapa kejahatan tetap ada?

Bagi Hume, kehadiran kejahatan di dunia menunjukkan bahwa ada ketidakcocokan antara sifat-sifat Tuhan yang diyakini oleh agama monoteis dengan realitas kehidupan yang penuh penderitaan. Dengan kata lain, mengapa kejahatan ada? Menurut Hume, jawabannya adalah karena Tuhan, sebagaimana dipahami dalam teologi tradisional, mungkin tidak ada atau tidak memiliki sifat seperti yang diyakini (Hume, 1779).

Irenaeus: Penderitaan sebagai Proses Pertumbuhan Moral

Irenaeus, seorang teolog Kristen awal, menawarkan pendekatan yang berbeda dalam menghadapi problem kejahatan. Dalam teodisi Irenaeus, kejahatan dan penderitaan dianggap sebagai bagian dari proses pertumbuhan moral manusia. Mengapa kejahatan ada? Menurut Irenaeus, jawabannya terkait dengan proses penciptaan manusia yang belum selesai.

Irenaeus berpendapat bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang belum sempurna dan masih dalam proses menuju kesempurnaan moral. Tuhan memberikan manusia kehendak bebas untuk memilih antara kebaikan dan kejahatan. Kebebasan ini sangat penting, karena tanpa kebebasan, manusia tidak dapat mengembangkan kebajikan moral seperti cinta, keberanian, dan kesabaran.

Penderitaan yang dialami manusia, menurut Irenaeus, adalah alat pendidikan moral yang digunakan Tuhan untuk membantu manusia berkembang secara spiritual. Oleh karena itu, kejahatan dan penderitaan yang ada di dunia ini bukanlah bukti ketidaksempurnaan Tuhan, melainkan bagian dari rencana Tuhan untuk memungkinkan manusia belajar dan tumbuh. Manusia, menurut Irenaeus, perlu melalui proses penderitaan untuk mencapai kesempurnaan moral yang sebenarnya (Irenaeus, 180).

Bagaimana Teodise Menjawab Kejahatan?

Teodise berusaha menjawab pertanyaan bagaimana kejahatan bisa ada dalam dunia yang diciptakan oleh Tuhan yang Maha Baik dan Maha Kuasa. Jawaban-jawaban ini muncul melalui berbagai pendekatan, termasuk teodise dari pemikir seperti Irenaeus, Leibniz, dan Hume. Untuk memahami lebih dalam, kita bisa melihat gagasan-gagasan dari beberapa tokoh penting ini.

1. Teodise Irenaeus: Kesempurnaan yang Belum Sempurna

Salah satu bentuk teodise yang paling terkenal adalah teodise Irenaeus. Irenaeus, seorang teolog Kristen awal, berargumen bahwa manusia adalah ciptaan yang belum sempurna. Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan untuk mereka mencapai kesempurnaan moral melalui proses panjang, di mana penderitaan dan kejahatan memainkan peran penting.

Menurut Irenaeus, bagaimana kejahatan berperan dalam teodise adalah sebagai alat untuk pertumbuhan moral. Penderitaan dan kejahatan memungkinkan manusia untuk belajar, berkembang, dan berjuang menuju kesempurnaan. Dalam pandangan ini, dunia ini adalah tempat di mana manusia diuji dan dibentuk, bukan dunia yang sempurna. Manusia diberikan kebebasan untuk membuat pilihan moral, dan melalui pilihan-pilihan ini, manusia bisa tumbuh menjadi lebih baik. Proses ini bukanlah proses sekali jadi; kesempurnaan dicapai melalui perjuangan dan perkembangan moral yang bertahap (Hick, 1978).

Namun, kelemahan dari teodise Irenaeus adalah bahwa penderitaan dan kejahatan dapat terlihat tidak adil. Mengapa Tuhan tidak menciptakan manusia yang sempurna sejak awal? Mengapa penderitaan harus menjadi bagian dari pengalaman manusia? Jawaban Irenaeus adalah bahwa kebebasan manusia adalah bagian penting dari rencana Tuhan, dan kebebasan ini mencakup kemungkinan untuk berbuat baik atau jahat.

2. Teodise Leibniz: Dunia Terbaik yang Mungkin Ada

Filsuf Jerman Gottfried Wilhelm Leibniz juga memberikan pandangannya tentang bagaimana kejahatan bisa ada dalam dunia yang diciptakan oleh Tuhan yang Maha Baik. Leibniz berargumen bahwa dunia tempat kita hidup ini adalah dunia terbaik yang mungkin ada (Leibniz, 1710). Menurutnya, Tuhan, yang Maha Bijaksana, tidak akan menciptakan dunia yang sempurna karena dunia yang sempurna hanya mungkin ada di alam Tuhan sendiri.

Leibniz percaya bahwa kejahatan di dunia ini adalah bagian dari rencana Tuhan yang lebih besar dan lebih baik. Setiap penderitaan atau kejahatan memiliki alasan yang hanya bisa dipahami oleh Tuhan. Dalam pandangan ini, kejahatan dilihat sebagai bagian dari keseimbangan kosmis yang lebih besar. 

Misalnya, kejahatan moral yang dilakukan oleh manusia adalah konsekuensi dari kebebasan kehendak yang diberikan oleh Tuhan. Kebebasan ini memungkinkan manusia untuk memilih antara yang baik dan yang jahat, dan ini adalah bagian dari dunia yang lebih kompleks dan lebih baik.

Namun, pandangan Leibniz juga mendapatkan kritik, terutama dari filsuf seperti David Hume. Hume berargumen bahwa penderitaan dan kejahatan di dunia ini tampaknya terlalu besar untuk dijelaskan sebagai bagian dari rencana Tuhan yang lebih besar. Menurut Hume, jika kejahatan begitu meluas, bagaimana mungkin dunia ini bisa menjadi yang terbaik? Dalam kritiknya, Hume mempertanyakan apakah Tuhan yang Maha Baik dan Maha Kuasa benar-benar ada jika kejahatan dan penderitaan tetap ada dalam skala yang begitu besar (Hume, 1779).

3. Teodise Kebebasan: Kejahatan dan Kebebasan Manusia

Salah satu jawaban bagaimana kejahatan bisa ada adalah melalui konsep kebebasan kehendak. Teori ini dikembangkan oleh filsuf seperti Augustine dan Alvin Plantinga. Menurut pendekatan ini, kejahatan adalah hasil dari kebebasan manusia. Tuhan memberikan manusia kebebasan untuk memilih, dan kebebasan itu mencakup kemungkinan untuk memilih kejahatan.

Dalam pandangan ini, kebebasan moral adalah hal yang sangat berharga sehingga Tuhan memilih untuk menciptakan manusia dengan kemampuan untuk memilih, meskipun kebebasan ini juga membuka kemungkinan adanya kejahatan. Jika manusia tidak memiliki kebebasan untuk memilih, maka kehidupan manusia tidak akan memiliki makna moral. Oleh karena itu, kejahatan moral adalah konsekuensi yang diperlukan dari kebebasan manusia.

Namun, kelemahan dari pendekatan ini adalah bahwa kebebasan manusia tidak selalu menjelaskan kejahatan alam, seperti bencana alam atau penyakit. Apakah kebebasan manusia bisa menjelaskan mengapa bencana alam yang menyebabkan penderitaan terjadi? Ini adalah salah satu kritik yang sering diajukan terhadap teodise kebebasan.

DAFTAR PUSTAKA

  • Hume, David. (1779). Dialogues Concerning Natural Religion. London: Longman.
  • Leibniz, Gottfried Wilhelm. (1710). Essays on Theodicy: On the Goodness of God, the Freedom of Man, and the Origin of Evil. London: Routledge.
  • Irenaeus. (180). Against Heresies.
  • Hick, John. (1978). Evil and the God of Love. Palgrave Macmillan.
  • Hume, David. (1779). Dialogues Concerning Natural Religion. Hafner Press.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun