Namun saya sudah tidak tahan. Dua hari tidak makan, membuat saya sangat nelangsa. Saya keluar kamar dan pergi ke dapur, berharap ibu saya ada di sana. Tapi ternyata beliau tidak ada. Pasti di rumah tetangga, pikir saya waktu itu. Sedang bergosip dengan ibu-ibu lainnya. Dan kekesalan saya makin bertambah ketika mendapati meja dapur sama sekali tak ada makanan. Apa yang beliau lakukan seharian ini, tanya saya dalam hati.
Lantas dalam keadaan lapar seperti itu. Saya mencari ibu saya. Saya mencari beliau ke setiap rumah tetangga. Tapi tetap tak saya temukan. Dan saat itu juga, rasa kelaparan saya menghilang dan digantikan perasaan cemas. Apa beliau meninggalkan rumah? Apa beliau marah pada saya karena saya tak memahami keungannya, kemudian karena begitu frustasi dengan anak lelakinya, beliau meninggalkan rumah untuk menghukum kelakukan kurang ajar saya?
Sepanjang perjalanan gagal saya menemukan ibu. Saya pun pulang dalam keadaan lemas, seraya tidak berdaya. Lantas pelan-pelan air saya merasakan air mata saya menitik di pipi. Saya membayangkan Ibu saya benar-benar pergi, meninggalkan saya.
Menyesali apa yang telah saya lakukan. Saya minta maaf pada Ibu saya melalui tangisan sepanjang perjalanan pulang.
"Maaf, bu, sudah bikin Ibu marah. Maafkan saya, Bu, sudah minta yang tidak-tidak. Maafkan saya bu, sudah bikin ibu.... Saya janji saya enggak akan minta sepatu lagi. Saya janji akan jadi anak patuh. Saya janji akan berangkat sekolah lagi. Saya janji.... Asal ibu pulang. Asal ibu tidak meninggalkanku."
Sesampainya di rumah, dalam keadaan sedih seperti itu, saya menghampiri lemari ibu. Dan memeluk daster beliau yang sering dikenakannya, sambil menangis di kamarnya hingga saya tertidur.
Saya tidak ingat lagi bangun pukul berapa waktu itu. Yang jelas sosok yang saya tangisi itulah yang membangunkan saya. Katanya, kamu lapar ya?
Iya aku lapar, bu. Tapi kata-kata itu tak sempat saya ucapkan. Karena yang pertama yang saya pikirkan ketika menjumpai sosoknya, yang saya lakukan adalah memeluknya. Saya memeluk Ibu saya erat. Tangisan babak kedua saya pun berlanjut. Â
Harusnya saat itu saya bertanya Ibu  dari mana? Tapi saya rasa itu tidak perlu. Karena saya dia sudah kembali.
Lantas beberapa detik setelah itu, ibu saya menarik tangan saya, meminta saya untuk bertopang macam orang berdoa. Lalu Ibu saya melakukan kejutan dengan menaruh sepasang sepatu baru di atas telapak tangan saya. Saya pun mulai menangis lagi.
Namun Ibu saya buru-buru menyeka air mata yang keluar dari mata saya. Beliau berkata, "Kamu anak-anak laki-laki. Jangan cengeng," serunya. "Sekarang ayo jajal sepatu barumu. Semoga kamu suka."