Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Sepasang Sepatu dan Anak Lelaki yang Beruntung

1 Januari 2018   16:00 Diperbarui: 1 Januari 2018   16:27 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://sketsasore.files.wordpress.com

Bila ada yang bertanya pada saya: "Seperti apa gambaran ibumu ketika beliau jadi ibu?"Tanggapan pertama saya, tentu saja dengan berbesar hati, menjawab: beliau biasa saja.

Ibu saya memang biasa saja. Bahkan sampai detik ini saya menuliskannya. Sebetulnya saya tidak bisa berhenti memikirkan apa utamanya ibu saya untuk jadi  seorang ibu bagi saya? Apa yang membedakan beliau dengan Ibu-ibu lainnya. Apa hal yang paling intens sehingga beliau begitu mencolok dari ibu-ibu di luaran sana.  

Mungkin tidak ada. Atau itulah yang membuat saya menyerah memikirkannya. Sebab semakin saya memikirkan celah itu semakin saya tidak menemukan perbedaan mendasar yang saya cari.

Usia saya 25 tahun, dan selama itu pula saya bersama beliau,  mengenali watak dan tabiat beliau; mengenali aroma keringatnya yang menempel dan sesekali disekanya ketika gerah dengan ujung jari, mengenali beliau dari bau masakannya, caranya memanggil anak lelakinya, caranya hadir ke sekolah mengambil rapor.

Ibu saya biasa saja. Namun rasanya, jika ibu saya biasa saja mengapa saya berharap beliau luar biasa? Bukankan itu artinya saya telah menyakitinya? Saya tak ingin menyakiti ibu saya. Saya menyayanginya, bahkan tak rela jika sampai dia meninggalkan saya seperti waktu itu.  

Saya ingat suatu kali pernah merengek minta dibelikan sepatu baru pada beliau. Sejak kecil pertama masuk sekolah dasar, sudah jadi kebiasaan, kalau tiap tahun, tiap kenaikan tingkat kelas, saya mendapatkan sepatu baru dari Ibu. Tapi tahun itu tidak. 

Itu terjadi di tahun ketika saya naik kelas dua SMP. Dan di tahun itu pula ibu saya tak sanggup memenuhi kewajibannya. Saya pun benar-benar kecewa pada Ibu saya. 

Apalagi ketika beliau bermaksud menghibur saya dengan mengatakan, "Kan sepatu yang lama masih bagus. Masih kuat, masih pantes dilihat," katanya. Lantas menambahkan, "Beli sepatu barunya tahun depan aja ya? Ibu enggak punya uang. Nanti kalo masuk kelas tiga Ibu janji deh, beliin sepatu baru buat kamu."

Pagi di hari Minggu itu saya tak ingat jawab apa. Namum saya tahu betul bahwa saya begitu jengkel. Lalu seperti anak perempuan yang sedang jengkel, saya masuk ke dalam kamar.

Seharian saya di dalam kamar. Dan selama dua hari saya memutuskan puasa bicara dan makan sebagai sikap protes terhadap perlakukan Ibu. Saya pun enggan masuk sekolah.

Namun bukannya melerai dan mendinginkan keadaan saya, ibu  justru tidak peduli dengan ritual kekanak-kanakan itu. Beliau sama sekali tidak terguncang ketika saya menderita kelaparan.

Namun saya sudah tidak tahan. Dua hari tidak makan, membuat saya sangat nelangsa. Saya keluar kamar dan pergi ke dapur, berharap ibu saya ada di sana. Tapi ternyata beliau tidak ada. Pasti di rumah tetangga, pikir saya waktu itu. Sedang bergosip dengan ibu-ibu lainnya. Dan kekesalan saya makin bertambah ketika mendapati meja dapur sama sekali tak ada makanan. Apa yang beliau lakukan seharian ini, tanya saya dalam hati.

Lantas dalam keadaan lapar seperti itu. Saya mencari ibu saya. Saya mencari beliau ke setiap rumah tetangga. Tapi tetap tak saya temukan. Dan saat itu juga, rasa kelaparan saya menghilang dan digantikan perasaan cemas. Apa beliau meninggalkan rumah? Apa beliau marah pada saya karena saya tak memahami keungannya, kemudian karena begitu frustasi dengan anak lelakinya, beliau meninggalkan rumah untuk menghukum kelakukan kurang ajar saya?

Sepanjang perjalanan gagal saya menemukan ibu. Saya pun pulang dalam keadaan lemas, seraya tidak berdaya. Lantas pelan-pelan air saya merasakan air mata saya menitik di pipi. Saya membayangkan Ibu saya benar-benar pergi, meninggalkan saya.

Menyesali apa yang telah saya lakukan. Saya minta maaf pada Ibu saya melalui tangisan sepanjang perjalanan pulang.

"Maaf, bu, sudah bikin Ibu marah. Maafkan saya, Bu, sudah minta yang tidak-tidak. Maafkan saya bu, sudah bikin ibu.... Saya janji saya enggak akan minta sepatu lagi. Saya janji akan jadi anak patuh. Saya janji akan berangkat sekolah lagi. Saya janji.... Asal ibu pulang. Asal ibu tidak meninggalkanku."

Sesampainya di rumah, dalam keadaan sedih seperti itu, saya menghampiri lemari ibu. Dan memeluk daster beliau yang sering dikenakannya, sambil menangis di kamarnya hingga saya tertidur.

Saya tidak ingat lagi bangun pukul berapa waktu itu. Yang jelas sosok yang saya tangisi itulah yang membangunkan saya. Katanya, kamu lapar ya?

Iya aku lapar, bu. Tapi kata-kata itu tak sempat saya ucapkan. Karena yang pertama yang saya pikirkan ketika menjumpai sosoknya, yang saya lakukan adalah memeluknya. Saya memeluk Ibu saya erat. Tangisan babak kedua saya pun berlanjut.  

Harusnya saat itu saya bertanya Ibu  dari mana? Tapi saya rasa itu tidak perlu. Karena saya dia sudah kembali.

Lantas beberapa detik setelah itu, ibu saya menarik tangan saya, meminta saya untuk bertopang macam orang berdoa. Lalu Ibu saya melakukan kejutan dengan menaruh sepasang sepatu baru di atas telapak tangan saya. Saya pun mulai menangis lagi.

Namun Ibu saya buru-buru menyeka air mata yang keluar dari mata saya. Beliau berkata, "Kamu anak-anak laki-laki. Jangan cengeng," serunya. "Sekarang ayo jajal sepatu barumu. Semoga kamu suka."

Saat itu saya jawab, saya suka, Bu.

"Baik. Kalo begitu, selagi kamu menjajal sepatunya. Ibu gorengin tempe untukmu dulu ya? Kamu pasti lapar."

"Aku lapar sekali, Bu" Saya menjajal sepatu itu.

"Ibu minta maaf ya, tadi pergi tidak bilang-bilang."

***
Bertahun-tahun setelah itu, setiap kenaikan tingkat kelas, ibu saya selalu memberikan sepatu baru untuk saya.

Kesalahan saya, cuma satu. Saya tak pernah sempat bertanya dari mana dia mendapatkannya. Seperti kejadian itu. Dan bertahun-tahun kemudian, baru saya tahu bahwa untuk mendapatkan sepatu untuk saya, beliau boleh pinjam uang sana-sini ke tetangga. Dan dengan membayarnya mencicil pula.  

Jika memikirkan ini saya mendadak amat sedih, sekaligus merasa paling beruntung memiliki Ibu seperti Ibu saya.

Ah Ibu. Saya minta maaf, pernah jadi anakmu yang bandel dan egois. Saya sayang Ibu. Selamat hari Ibu untukmu ya?

*Peluk kamu ya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun