"Martha, selamat tidur. Mimpi-mimpiku akan menjagamu agar kau aman."
Begitulah akhir ritual yang biasa dia ucapkan sebelum tidur, kalau tidak lupa. Â Dan jika kalimat menyapa yang lain sering berubah-ubah, tapi untuk yang terakhir tidak pernah. Selalu sama. "Martha selamat tidur. Bla bla bla."
Dulu satu bulan lalu, ketika pertama kali dia menelponku, kukira dia hanya seorang yang sedang salah sambung. Maka kubilang padanya, "Aku bukan Martha. Aku, Flu. Anda salah sambung." Lalu saluram telepon kumatikan.
Akan tetapi, lima detik kemudian, dia menelponku lagi. Tak ada yang bisa kulakukan selain mengabaikannya sampai ponselku kehabisan daya. Dan ketika aku mengisinya, sebuah pesan masuk darinya.
"Martha, kenapa kau pergi dan meninggalkanku? Aku mencintaimu dan sebaiknya itu pun yang kamu lakukan padaku."
Kubalas, "Maaf. Ini bukan Martha. Ini Flu, si botol kecap," Aku berusaha mengajaknya becanda. "Tapi kalau kau tak suka, kau boleh memanggilku apa saja. Yang penting bukan Martha."
Sepuluh detik kemudian.
"Martha."
Sialan.
Aku ingin membalasnya sekali lagi. Tapi aku tidak punya alasan kuat buat meladeni orang yang salah sambung. Jadi aku mengaibaikannya.
Aku mengabaikannya terus-menerus sampai kemudian aku terbiasa mengaibaikan banyak hal. Namun akhir-akhir ini aku justru sering bertanya-tanya. Bukan kepada seseorang di balik telepon itu. Melainkan fokusku kepada si penerima, yang ia anggap aku, yang tak lain adalah Martha.