Dan malam itu pula, dengan perasaan putus asa, aku menerima pekerjaan baruku. Yaitu tukang sapu jalan. Tukang sapu sepanjang jalan. Aku bukan hendak mengeluh. Bukan berarti di alam nyata aku menganggur lalu seenaknya membelot di alam mimpi aku boleh bersyukur mendapatkan kerja. Bukana. Melainkan rasanya pekerjaan itu kurang cocok denganku. Karena aku segera merasa bahwa mimpiku tak ada bedanya dengan sampah.
Meski pada akhirnya aku menerima pekerjaan itu juga.
Maka ketika aku sedang menyapu daun-daun yang berguguran di pinggir jalan dan menemukan sebuah koran bekas tergeletak di sana, yang menginformasikan lowongan pekerjaan, aku buru-buru mencatat informasi itu di kepalaku sebelum akhirnya menyadari bahwa dunia nyata sudah menjelang pagi, dan aku bangun.
Aku bangun dalam keadaan bau badan dan tubuh berkeringat banyak layaknya seorang tukang sampah yang panas-panasan. Ya ampun. Mimpi buruk (bekerja sebagai tukang sapu) betul-betul tak menyenangkan.
Akan tetapi, aku segera sadar bahwa aku baru saja mendapat pertanda bahwa di suatu tempat, ada sebuah lowongan pekerjaan yang harus kudatangi dan kulamar. Dan itu benar.
Namun ketika aku justru mengatakan yang sebenarnya kepada si pewancara dia malah bilang aku ini mengada-ada dan tertawa keras. Seakan-akan ruangan wawancara itu sudah terinfeksi gas tawa.
Aku mendengus. Tak bisa berkata banyak. Karena aku juga tak bisa membuktikan kebenarannya.Â
Andai aku bisa membawa bekas koran di mimpi itu dan menunjukkannya kepada wanita di depanku.
"Eh. Ngomong-ngomong, berapa nomornya. Biar kupasangi!" Dia tertawa mengejek lagi.
Aku bangkit dari hadapan wanita itu dan menutup pintu dari luar. Namun sesaat sebelum aku meraih gagang pintu, wanita di balik meja itu lekas bangkit. Melipat kedua tangannya, bersedekap seperti gerakan melindungi diri. Lantas dia berseru kepadaku, "Kau harusnya berubah. Apa saja yang terakhir kau lakukan lima tahun belakangan ini?! Karena kau tahu, Flu! Kau terlihat kacau sekali."
Aku menatapnya sejenak, lalu mengucapkan terimakasih.