Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Drama Artikel Utama

Cerpen | Tokoh Pertama yang Gagal Menjadi Tokoh Utama

15 September 2017   18:25 Diperbarui: 17 September 2017   13:29 2342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: www.instagram.com/creative_ace/

"Kau lihat aku?" katanya saat kami duduk di bangku kantin kampus. "Tubuhku besar, tegap dan bisa memantul-mantulkan bola basket dua puluh kali dalam hitungan detik, dan yang tak boleh kaulupakan, Caius, ....Aku ini tampan sekaligus pemberani!"

Dia, Bumi, memang tampan! Tapi aku tak setuju kalau dia menyebut dirinya pemberani. Soalnya dia pernah kencing di celana ketika bahkan aku belum menawarinya naik rollercoaster. Dia berkelit, aku tidak takut, sama sekali tidak, cuma ya ada banyak hal yang harus kuurus daripada menaiki kereta bayi konyol itu.

Dia melanjutkan, "Aku ini loh, yang sempurna dan banyak dicintai cewek-cewek di kampus ini tak pernah bermimpi ingin memiliki Kalani---Dia bohong---Tapi kau, Caius," Dia menunjuk ujung hidungku dengan sedotan. "Aih, kumohon pikirkan baik-baik kalau kau yakin kau waras!"

Kalani adalah cewek dari fakultas Sastra Perancis yang menjadi idola di kampus kami. Reputasinya lebih terkenal ketimbang kampus itu sendiri. Dia cantik dan kaya. Memenangi beberapa penghargaan bergengsi di berbagai event kampus-kampus kota kami. Semua cowok tergila-gila padanya. Bumi (pernah) tergila-gila padanya, tapi dia berhenti semenjak dia tahu bahwa dia harus cukup tahu diri. Aku tergila-gila padanya. Bumi pernah bilang, jika saja Kalani memintanya mati demi dia, betul, dia akan melakukannya dengan senang hati. Mengapa tidak?

Tapi siapa sangka justru akulah yang mendapatkan Kalani. Kami tidak bersaing. Sama sekali tidak. Setelah Bumi menyerah, aku memutuskan melanjutkan perjuangannya.

"Aku tidak bermimpi," kataku pada Bumi. "Tapi---"

"Caius!" Dia memotong. Dia memang anak yang tidak sopan. "Tapi, tidak ada kata tapi-tapi-an buat cewe macam Kalani. Karena Kalani itu tidak kenal kata tapi untuk cowok seperti kita. Tahu dirilah...."

Aku merogoh ponsel di saku celanaku, membuka pola kuncinya lalu menunjukkan sebuah foto Kalani yang kusimpan di ponselku pada Bumi. "Tapi kami sudah jadian dua minggu lalu. Ini buktinya?" kataku.

Bumi, cowok berahang kotak dan keras dan bertubuh gempal itu tertawa terbahak-bahak yang membuat kepalanya memantul-mantul di atas meja. Dia juga menggebuk permukaan meja sebanyak empat kali, yang membuat seluruh pengunjung kantin kampus memerhatikan kami. Dan... aku menunggu seluruh pengunjung kantin menyeretnya masuk ke rumah sakit jiwa.

"Dasar sakit jiwa!" Katanya terbalik. "Kalau cuma sebuah foto, kau tahu, aku juga punya banyak sekali. Bahkan mungkin lebih banyak dari koleksi buku-buku fiksimu. Sepuluh ribu album, kau tahu?"

Aku tak tahu. Aku juga benar-benar tak tahu kalau aku lupa dia pernah menunjukkan foto itu padaku saat aku pernah bermain ke kamar kecilnya.

"Coba buktikan yang lain?" Kata Bumi. Nadanya lebih terdengar seperti sedang mengolok-ngolok sekarung kentang yang idiot. 

"Baiklah," sahutku tidak terima diolok-olok seperti sekarung kentang. Aku langsung menelpon Kalani. Cewek favorit itu, supaya Bumi mau berhenti mengolok-ngolok pacar barunya.

Akan tetapi, sepuluh panggilan masukku, sial, malah dibalas oleh layanan otomatis operator dengan bunyi nomor yang anda tuju sedang di luar jangkauan, cobalah...

Orang yang pernah sekali mencoba, niscahya dia akan mencobanya lagi.

Dan tanpa basa-basi pula aku terus mencoba mengikuti saran operator itu untuk bisa tersambung dengan Kalani, hingga akhinya aku menyerah juga. Dan sebagai gantinya, kekalahanku ini disambut antusias oleh Bumi. "Berhenti mencoba, Caius. Sebab semakin banyak kau berusaha mencobanya, kau hanya akan semakin membuat perutku sakit!" Dia tertawa lagi. Jika aku boleh komentar warna tawanya sama sekali tidak enak. Mirip dengan suara kaset yang diputar terbalik.

Karena aku kelewat kesal padanya, aku meninggalkan kantin itu dengan meninggalkan dua lembar uang kertas lima puluh ribu di atas meja sebagai ganti resiko bahwa aku tak berhasil membuktikan kalau Kalani adalah pacarku. Padahal kalau aku menang aku bisa mendapatkan sebulan uang jajan gratis darinya.

***

Malam sebelum itu, melalui saluran telepon, Bumi mengajakku bermain futsal. "Kami sudah booking tempat selama dua jam," katanya setelah mengatakan dengan siapa nanti kami akan bertanding.

Aku menolak ajakannya itu dengan halus, dengan berkata bahwa aku sudah enggakjomblo, sudah enggak perlu meratapi malam minggu dengan menendang-nendang bola karet yang cukup kecil.

"Sialan kau!" timpalnya kesal padaku. "Memangnya kau mau kemana?"

"Adalah," aku bermain rahasia.

"Kemana?" Bumi memaksa.

"Ke toko buku," kataku. 

"Dengan?"

"Kalani."

Bumi langsung tertawa terpingkal-pingkal mungkin persis seperti yang dilakukannya keesokan hari di kantin mendengar aku kencan dengan Kalani.

"Baiklah," ujarnya. "Besok kau harus membuktikannya padaku. Kalau tidak, oh, aku mungkin akan memberimu kuliah panjang soal jomblo-jomblo yang tak boleh kalah menghadapi kenyataan-kenyataan pahit." Lalu dia mematikan saluran ponselnya.

Bumi pasti mengira kalo aku menipunya. Boleh saja berpikir begitu. Lagi pula dia juga pernah bilang --saat tim futsal kami kalah telak oleh tim lawan-- dia berkata melapangkan dada kami, kalau kami tak perlu bersedih selama pertandingan ini bukan melawan diri sendiri. Kami boleh kalah.  

***

Setelah bangkit dari meja kantin, aku langsung mencari-cari Kalani di kampus. Perutku keroncongan lapar dan haus. Aku berputar-putar mengelilingi area kampus yang luasnya sepuluh kali lipat lapangan sepak bola hingga membuatku merasa harus pingsan. Siang itu betul-betul panas. Dimanakah gerangan perempuan berkucir kuda itu?

Aku ingin sekali mengadu denganmu,
bahwa aku mencintaimu
dan aku haus,
dan kehilangan
uang jajanku.

Dalam perjalanan mencari Kalani, aku menulis puisi itu dalam selembar kertas kecil. Cuma buat berjaga-jaga saja kalau tiba-tiba aku terkapar karena dehidrasi atau apalah, aku sudah menyampaikan perasaanku dengan baik dan benar kepada orang kucintai. Dan, Kalani, bisa tahu kalau aku mati dalam keadaan mencintai dirinya.

Andai aku tahu apa masalahku hingga aku tak perlu repot-repot mesti mati lebih dulu demi bisa dicintai orang lain. 

Setelah berkeliling kampus selama kurang lebih dua jam, akhirnya aku pun menemukan Kalani. Aku menarik napas panjang seolah sudah lama sekali menahannya.  

Dia sedang di taman di bawah pohon palem yang indah dan sejuk bersama teman-temannya. Angin selatan melintas di sekitar situ yang membuat rambut kucir kuda Kalani berkibar-kibar macam bendera yang diikat di atas tiang. Dari jarak seratus meter aku memerhatikannya. Kalani nampak cantik. Dia bahkan memiliki mata yang mengahancurkan. Jika diposisiku aku yakin kau akan tahu perasaanku itu.

Aku melangkah lebih dekat kepadanya. Dan menyadari apa sedang kulakukan, perangkat tubuh panasku langsung bereaksi dengan gegabah dan berlebihan. Tanganku berkeringat. Ketiakku berkeringat. Dahiku berkeringat. Seluruh tubuhku berkeringat. Aku melangkah mendekati Kalani lagi. Lebih dekat. Lebih dekat. Lebih dekat. Lalu dengan degup kencang dan gugup yang rasanya baru kali ini aku memilikinya, kuulurkan kertas kecil itu ke arahnya. Sambil  menyebut nama sekali. Sambil berdoa berkali-kali agar aku tidak hancur....

(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun