"Kau lihat aku?" katanya saat kami duduk di bangku kantin kampus. "Tubuhku besar, tegap dan bisa memantul-mantulkan bola basket dua puluh kali dalam hitungan detik, dan yang tak boleh kaulupakan, Caius, ....Aku ini tampan sekaligus pemberani!"
Dia, Bumi, memang tampan! Tapi aku tak setuju kalau dia menyebut dirinya pemberani. Soalnya dia pernah kencing di celana ketika bahkan aku belum menawarinya naik rollercoaster. Dia berkelit, aku tidak takut, sama sekali tidak, cuma ya ada banyak hal yang harus kuurus daripada menaiki kereta bayi konyol itu.
Dia melanjutkan, "Aku ini loh, yang sempurna dan banyak dicintai cewek-cewek di kampus ini tak pernah bermimpi ingin memiliki Kalani---Dia bohong---Tapi kau, Caius," Dia menunjuk ujung hidungku dengan sedotan. "Aih, kumohon pikirkan baik-baik kalau kau yakin kau waras!"
Kalani adalah cewek dari fakultas Sastra Perancis yang menjadi idola di kampus kami. Reputasinya lebih terkenal ketimbang kampus itu sendiri. Dia cantik dan kaya. Memenangi beberapa penghargaan bergengsi di berbagai event kampus-kampus kota kami. Semua cowok tergila-gila padanya. Bumi (pernah) tergila-gila padanya, tapi dia berhenti semenjak dia tahu bahwa dia harus cukup tahu diri. Aku tergila-gila padanya. Bumi pernah bilang, jika saja Kalani memintanya mati demi dia, betul, dia akan melakukannya dengan senang hati. Mengapa tidak?
Tapi siapa sangka justru akulah yang mendapatkan Kalani. Kami tidak bersaing. Sama sekali tidak. Setelah Bumi menyerah, aku memutuskan melanjutkan perjuangannya.
"Aku tidak bermimpi," kataku pada Bumi. "Tapi---"
"Caius!" Dia memotong. Dia memang anak yang tidak sopan. "Tapi, tidak ada kata tapi-tapi-an buat cewe macam Kalani. Karena Kalani itu tidak kenal kata tapi untuk cowok seperti kita. Tahu dirilah...."
Aku merogoh ponsel di saku celanaku, membuka pola kuncinya lalu menunjukkan sebuah foto Kalani yang kusimpan di ponselku pada Bumi. "Tapi kami sudah jadian dua minggu lalu. Ini buktinya?" kataku.
Bumi, cowok berahang kotak dan keras dan bertubuh gempal itu tertawa terbahak-bahak yang membuat kepalanya memantul-mantul di atas meja. Dia juga menggebuk permukaan meja sebanyak empat kali, yang membuat seluruh pengunjung kantin kampus memerhatikan kami. Dan... aku menunggu seluruh pengunjung kantin menyeretnya masuk ke rumah sakit jiwa.
"Dasar sakit jiwa!" Katanya terbalik. "Kalau cuma sebuah foto, kau tahu, aku juga punya banyak sekali. Bahkan mungkin lebih banyak dari koleksi buku-buku fiksimu. Sepuluh ribu album, kau tahu?"
Aku tak tahu. Aku juga benar-benar tak tahu kalau aku lupa dia pernah menunjukkan foto itu padaku saat aku pernah bermain ke kamar kecilnya.