Andai aku tahu apa masalahku hingga aku tak perlu repot-repot mesti mati lebih dulu demi bisa dicintai orang lain.Â
Setelah berkeliling kampus selama kurang lebih dua jam, akhirnya aku pun menemukan Kalani. Aku menarik napas panjang seolah sudah lama sekali menahannya. Â
Dia sedang di taman di bawah pohon palem yang indah dan sejuk bersama teman-temannya. Angin selatan melintas di sekitar situ yang membuat rambut kucir kuda Kalani berkibar-kibar macam bendera yang diikat di atas tiang. Dari jarak seratus meter aku memerhatikannya. Kalani nampak cantik. Dia bahkan memiliki mata yang mengahancurkan. Jika diposisiku aku yakin kau akan tahu perasaanku itu.
Aku melangkah lebih dekat kepadanya. Dan menyadari apa sedang kulakukan, perangkat tubuh panasku langsung bereaksi dengan gegabah dan berlebihan. Tanganku berkeringat. Ketiakku berkeringat. Dahiku berkeringat. Seluruh tubuhku berkeringat. Aku melangkah mendekati Kalani lagi. Lebih dekat. Lebih dekat. Lebih dekat. Lalu dengan degup kencang dan gugup yang rasanya baru kali ini aku memilikinya, kuulurkan kertas kecil itu ke arahnya. Sambil  menyebut nama sekali. Sambil berdoa berkali-kali agar aku tidak hancur....
(*)