Aku sedang sakit gigi. Sakit gigi itu sama sekali tidak enak. Jika sakit gigi berbentuk sebuah lagu dan kamu kebetulan melewati suatu tempat dan seseorang yang sedang membawakan lagu water and a flame-nya Celine Dion, maka sakit gigi adalah lagu yang dibawakan oleh orang di dalam kamar mandi itu. Begitulah. Suaranya sama sekali tidak enak.
Syahdan dalam keadaan tidak enak seperti itu, Ibu menyuruhku bangun. Jangan tidur melulu katanya. Lalu Ibu menambahkan, "Kamu tahu di mana Keni? Sejak tadi pagi kok aku belum liat batang hidungnya ya?"Â
Keni adalah nama seekor kucing punya Ibu.
"Mungkin dia sedang main, Bu! Di suatu tempat bersama batang hidungnya," kataku sambil menindih kepala lagi dengan bantal. Tapi Ibu menariknya kuat-kuat.Â
"Sudah pukul berapa ini, ayo bangun! Mandi dan makan dan cepat cari Keni!"Â
Aku sedang sangat nelangsa. "Aku sedang sakit gigi, Bu! Lagi pula dia kan lagi main. Anak kecil saja tak suka disuruh pulang kalo sedang main. Kucing pasti begitu."Â
Kataku menjelaskannya dengan hati-hati sekaligus ogah-ogahan, karena bibir yang bergerak sedikit saja dalam situasi seperti ini rasanya seolah bukit berada di pelupuk gajah. Tak terbayangkan rasanya. Kelilipan debu saja bikin mata merah.
"Baiklah. Kalau begitu... tak ada jatah makan siang untukmu sebelum kamu berhasil menemukan Keni."
Selain sakit gigi, kepalaku juga sedikit pusing. Maka aku jawab enteng saja ancaman Ibu itu. "Sepakat. Lagi pula, kalau pun aku makan rasanya pasti tidak enak."Â
Mendengar aku bicara seperti orang kekenyangan dan tak ada hal lain lagi yang dibutuhkan selain tidur, Ibu nampaknya kesal.Â
"O, kau menantangku, Caiuuus!"
Aku selalu bergidik setiap kali melihat Ibu marah. Matanya menyorot sangat terang seperti lampu mercusuar.Â
"Bukan, Bu! Tidak! Mana mungkin aku berani menantang Ibu. Aku lebih suka menyerahkan diri saja," kataku. Kali ini aku mengalah.Â
Aku bangun, mandi dan langsung keluar kamar mencari Keni. Sendirian, menyeret kedua kaki dalam keadaan sakit gigi. Pipi kiriku sedikit menonjol karena bengkak yang disebabkan gusi gigi itu. Namun sebagai gantinya pusing di kepalaku menghilang.Â
Sejenak aku sempat khawatir dan bertanya-tanya apakah Keni memang tahu bahasa manusia. Terus terang semalam aku memang mengusirnya. Kubilang padanya bahwa: pergilah... kau berhak mendapatkan malam Minggu yang layak. Kencani kucing mana pun yang kau sukai dan jangan kembali lagi sebelum kau berhasil mengencani satu juta ekor kucing.Â
Begitu kataku padanya. Malam itu adalah malam Minggu. Menjadi jomblo semenjak lahir memang menyedihkan. Tapi melihat kucing itu, hanya melingkar di keset depan pintu menemaniku ngopi, rasa-rasanya dunia ini kejam sekali. Kucing seharusnya tidak melakukan yang manusia lakukan. Seperti memendam perasaan misalnya. Â
Kususuri jalan-jalan, gang-gang sempit, melihat-lihat atas pohon, pergi ke lapangan bulu tangkis dan juga, mencarinya di sungai. Aku cuma berpikir mungkin saja Keni despresi, belum makan dan ia jomblo dan di tengah-tengah kesulitannya itu ia memutuskan untuk pergi memancing sambil merenungi kedalaman hidupnya. Bisa jadi kan?Â
Menjelang sore, ketika kususuri sungai sampai ujung, aku tetap tidak menemukan Keni. Tak ada tanda-tanda dia ada di sana. Hanya ada senja dan bayang-bayang masa lalu yang sekonyong-konyong seperti ditumpahkan sebarang tempat. Dicecer tak jelas. Padahal aku sangat berharap menemukan dia dan mengatakan menyesal telah mengusirnya dan terakhir meminta maaf.Â
Sempat juga aku berpikir bahwa sakit gigiku disebabkan kata-kataku sendiri kepada Keni. Aku membentaknya, hingga menjelang pagi aku menemukan diriku sendiri kesulitan berkata-kata. Memikirkan itu, seketika hatiku terasa mencelus. Di manakah kau? Kembalilah. Pulanglah. Tolong cabut kutukanmu ini. Aku menderita sekali.
Hari sudah hampir magrib dan aku belum berhasil menemukan Keni. Ibu pasti tak suka aku pulang dengan tangan kosong. Tapi apa boleh buat, aku memutuskan untuk pulang saja sambil berharap Keni sudah ada di rumah.Â
Suara mangkuk tukang bakso yang diketuk-ketuk dengan sendok terdengar seolah alunan yang menandakan bahwa pertandingan telah berakhir dan aku kalah. Aku pulang, melangkahkan kaki dengan pandangan menunduk. Tiba-tiba seorang anak kecil berlari menabrakku. "Hai!" seruku.
"Maaf, Bang!"Â
Ya, jawabku dalam hati karena gigiku semakin sakit. Lain kali larinya pelan-pelan ya?Â
"Bang? Apa punya permen. Bagi dong?!" Anak itu malah minta permen. Astaga.Â
Dengan terpaksa aku membuka mulut supaya percakapan ini cepat selesai. "Dek! Ini bukan permen ya. Abang sedang sakit gigi. Jadi pipinya bengkak dan seperti inilah yang terlihat!"Â
"Ah. Abang ini pelit sekali," katanya. "Ayolah satu saja. Nanti tidak akan kubocorkan rahasia ini kepada teman-temanku."Â
"Rahasia?"Â
"Iya. Nah, sekarang Abang lihat!" Tangannya menunjuk ke lapangan bulu tangkis. Di sana ada sekitar sepuluh anak yang kutaksir umur mereka sama. "Kalo Abang tidak memberiku sebuah permen, maka aku akan berpura-pura mengunyah permen, lalu memberi tahu mereka semua bahwa di kantongmu ada banyak sekali permen. Mintalah padanya!"Â
Aku berpikir sejenak. Wah. Ancaman yang gawat.Â
"Tunggu. Tunggu. Tunggu. Begini saja. Aku akan memberi kalian semua permen. 10 buah. Tapi kalian harus menemukan seekor kucing. Bagaimana?"
"Apa jaminannya kalau Abang tidak kabur?"
Aku bingung. Memangnya jaminan apa yang pantas kuberikan pada anak berusia sepuluh tahun.Â
"Begini ya, Abang ini lelaki sejati dan lelaki sejati tak pernah melanggar janjinya."
"Benarkah? Tapi kami juga lelaki sejati loh, dan kami juga sering kok melanggar janji tak mengerjakan PR!"
Anak ini benar-benar cerewet. Namun ia pintar.Â
"Berarti kalian belum sepenuhnya menyadari dan menaati undang-undang yang biasa dilakukan oleh lelaki sejati." Ngomong apa aku ini? Sumpah! Anak kecil ini benar-benar membuatku merasa hilang ingatan.Â
"Memangnya ada Bang, undang-undang yang mengatur tentang kesejatian lelaki seperti itu?"
"Ada. Tentu ada, karena aku punya bukunya. Nanti setelah kalian mendapatkan kucing itu, aku akan pinjami bukuku kepada kalian."Â
Akhirnya bocah itu percaya juga pada cerita karanganku itu. Lalu ia memanggil teman-temannya. Mereka berkumpul di depanku, membentuk lingkaran dengan cara saling merangkul satu sama lain. Sepertinya mereka berdiskusi. Kemudian bocah yang badannya lebih besar dan sedikit tinggi dari teman-temannya mengajukan keberatan padaku, "Kami akan mencarinya dan berjanji akan menemukannya. Tapi kami butuh lebih dari sekedar permen. Kami mau...," matanya menatap gerobak bakso yang terparkir di bawah pohon mangga. "Semangkuk bakso. Bagaimana?"
"Sepakat," kataku. "Hanya semangkuk!"Â
"O, bukan. Maafkah kami. Kami cuma anak kecil yang sering kali mengungkapkan kata-kata yang tidak tepat. Maksud kami, semangkuk untuk satu orang. Dan kami akan melupakan soal permen!"
Astaga. Kesepakatan apa ini. Aku menghitung kepala bocah di depanku. Ada sebelas. Baiklah, daripada aku diusir oleh Ibu, batinku, maka aku menyepakatinya, kemudian mulai menyebutkan ciri-ciri Keni.Â
"Oh, kucing yang ekornya melipat itu ya? Dan di salah satu telinganya ada corak warna putih?"
"Ya, ya," kataku bersemangat seolah hampir menemukannya.Â
Mereka langsung membagi tugas dan tak lama memutuskan pergi berpencar ke segala penjuru. Menyisakan satu anak kecil di sampingku. Kurasa ia bertugas menjagaiku. Tiba-tiba aku merasa diriku adalah seorang tawanan.Â
Hanya butuh waktu lima belas menit mereka semua sudah berkumpul lagi dan tentu saja sesuai janji, mereka membawa Keni. Dan juga sesuai janji, maka aku pun mentraktir mereka semua dengan masing-masing semangkuk bakso. "Enak. Enak. Enak. Enak ya!" Itulah yang kudengar dari mulut mereka.Â
Kelihatannya juga enak. Melihat cara makan mereka yang bersungguh-sungguh aku jadi merasa lapar. Aku memesan satu mangkuk bakso dan menghabiskannya.Â
Matahari sudah turun dan bersembunyi. Adzan magrib mengalun bersahut-sahutan. Kepada tukang bakso aku katakan aku hutang dulu ya. Anak-anak itu aku yang bayar. Nanti kalau lewat depan rumah mampir saja, Bang! Tukang bakso nampak kecewa namun pada akhirnya mengangguk.
Aku pulang dengan menggendong Keni di tanganku. Meskipun Keni diam saja, aku tetap mengajaknya bicara ini dan itu. Seolah baru saja bertemu dan rindu mendorong mulutku untuk mengajaknya terus mengobrol. Kami juga sempat mengobrol tentang sekelompok anak kecil tadi. Kepalaku mendadak berputar merasa dikelabuhi anak-anak kecil yang suka menyembunyikan kucing orang-orang dan mereka berpura-pura menawarkan bantuan untuk mencarinya demi mendapatkan sebuah permen maupun semangkuk bakso. Namun percakapan semacam itu langsung kuubah karena mungkin saja aku hanya merasa merugi dan sebagainya. Sementara aku mencari topik baru untuk sebuah obrolan yang lebih menyenangkan, aku justru menyadari gigiku kembali pulih.
Ritual Lima Menit, 20 Desember 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H