Ya, jawabku dalam hati karena gigiku semakin sakit. Lain kali larinya pelan-pelan ya?Â
"Bang? Apa punya permen. Bagi dong?!" Anak itu malah minta permen. Astaga.Â
Dengan terpaksa aku membuka mulut supaya percakapan ini cepat selesai. "Dek! Ini bukan permen ya. Abang sedang sakit gigi. Jadi pipinya bengkak dan seperti inilah yang terlihat!"Â
"Ah. Abang ini pelit sekali," katanya. "Ayolah satu saja. Nanti tidak akan kubocorkan rahasia ini kepada teman-temanku."Â
"Rahasia?"Â
"Iya. Nah, sekarang Abang lihat!" Tangannya menunjuk ke lapangan bulu tangkis. Di sana ada sekitar sepuluh anak yang kutaksir umur mereka sama. "Kalo Abang tidak memberiku sebuah permen, maka aku akan berpura-pura mengunyah permen, lalu memberi tahu mereka semua bahwa di kantongmu ada banyak sekali permen. Mintalah padanya!"Â
Aku berpikir sejenak. Wah. Ancaman yang gawat.Â
"Tunggu. Tunggu. Tunggu. Begini saja. Aku akan memberi kalian semua permen. 10 buah. Tapi kalian harus menemukan seekor kucing. Bagaimana?"
"Apa jaminannya kalau Abang tidak kabur?"
Aku bingung. Memangnya jaminan apa yang pantas kuberikan pada anak berusia sepuluh tahun.Â
"Begini ya, Abang ini lelaki sejati dan lelaki sejati tak pernah melanggar janjinya."