"Benarkah? Tapi kami juga lelaki sejati loh, dan kami juga sering kok melanggar janji tak mengerjakan PR!"
Anak ini benar-benar cerewet. Namun ia pintar.Â
"Berarti kalian belum sepenuhnya menyadari dan menaati undang-undang yang biasa dilakukan oleh lelaki sejati." Ngomong apa aku ini? Sumpah! Anak kecil ini benar-benar membuatku merasa hilang ingatan.Â
"Memangnya ada Bang, undang-undang yang mengatur tentang kesejatian lelaki seperti itu?"
"Ada. Tentu ada, karena aku punya bukunya. Nanti setelah kalian mendapatkan kucing itu, aku akan pinjami bukuku kepada kalian."Â
Akhirnya bocah itu percaya juga pada cerita karanganku itu. Lalu ia memanggil teman-temannya. Mereka berkumpul di depanku, membentuk lingkaran dengan cara saling merangkul satu sama lain. Sepertinya mereka berdiskusi. Kemudian bocah yang badannya lebih besar dan sedikit tinggi dari teman-temannya mengajukan keberatan padaku, "Kami akan mencarinya dan berjanji akan menemukannya. Tapi kami butuh lebih dari sekedar permen. Kami mau...," matanya menatap gerobak bakso yang terparkir di bawah pohon mangga. "Semangkuk bakso. Bagaimana?"
"Sepakat," kataku. "Hanya semangkuk!"Â
"O, bukan. Maafkah kami. Kami cuma anak kecil yang sering kali mengungkapkan kata-kata yang tidak tepat. Maksud kami, semangkuk untuk satu orang. Dan kami akan melupakan soal permen!"
Astaga. Kesepakatan apa ini. Aku menghitung kepala bocah di depanku. Ada sebelas. Baiklah, daripada aku diusir oleh Ibu, batinku, maka aku menyepakatinya, kemudian mulai menyebutkan ciri-ciri Keni.Â
"Oh, kucing yang ekornya melipat itu ya? Dan di salah satu telinganya ada corak warna putih?"
"Ya, ya," kataku bersemangat seolah hampir menemukannya.Â