Aku selalu bergidik setiap kali melihat Ibu marah. Matanya menyorot sangat terang seperti lampu mercusuar.Â
"Bukan, Bu! Tidak! Mana mungkin aku berani menantang Ibu. Aku lebih suka menyerahkan diri saja," kataku. Kali ini aku mengalah.Â
Aku bangun, mandi dan langsung keluar kamar mencari Keni. Sendirian, menyeret kedua kaki dalam keadaan sakit gigi. Pipi kiriku sedikit menonjol karena bengkak yang disebabkan gusi gigi itu. Namun sebagai gantinya pusing di kepalaku menghilang.Â
Sejenak aku sempat khawatir dan bertanya-tanya apakah Keni memang tahu bahasa manusia. Terus terang semalam aku memang mengusirnya. Kubilang padanya bahwa: pergilah... kau berhak mendapatkan malam Minggu yang layak. Kencani kucing mana pun yang kau sukai dan jangan kembali lagi sebelum kau berhasil mengencani satu juta ekor kucing.Â
Begitu kataku padanya. Malam itu adalah malam Minggu. Menjadi jomblo semenjak lahir memang menyedihkan. Tapi melihat kucing itu, hanya melingkar di keset depan pintu menemaniku ngopi, rasa-rasanya dunia ini kejam sekali. Kucing seharusnya tidak melakukan yang manusia lakukan. Seperti memendam perasaan misalnya. Â
Kususuri jalan-jalan, gang-gang sempit, melihat-lihat atas pohon, pergi ke lapangan bulu tangkis dan juga, mencarinya di sungai. Aku cuma berpikir mungkin saja Keni despresi, belum makan dan ia jomblo dan di tengah-tengah kesulitannya itu ia memutuskan untuk pergi memancing sambil merenungi kedalaman hidupnya. Bisa jadi kan?Â
Menjelang sore, ketika kususuri sungai sampai ujung, aku tetap tidak menemukan Keni. Tak ada tanda-tanda dia ada di sana. Hanya ada senja dan bayang-bayang masa lalu yang sekonyong-konyong seperti ditumpahkan sebarang tempat. Dicecer tak jelas. Padahal aku sangat berharap menemukan dia dan mengatakan menyesal telah mengusirnya dan terakhir meminta maaf.Â
Sempat juga aku berpikir bahwa sakit gigiku disebabkan kata-kataku sendiri kepada Keni. Aku membentaknya, hingga menjelang pagi aku menemukan diriku sendiri kesulitan berkata-kata. Memikirkan itu, seketika hatiku terasa mencelus. Di manakah kau? Kembalilah. Pulanglah. Tolong cabut kutukanmu ini. Aku menderita sekali.
Hari sudah hampir magrib dan aku belum berhasil menemukan Keni. Ibu pasti tak suka aku pulang dengan tangan kosong. Tapi apa boleh buat, aku memutuskan untuk pulang saja sambil berharap Keni sudah ada di rumah.Â
Suara mangkuk tukang bakso yang diketuk-ketuk dengan sendok terdengar seolah alunan yang menandakan bahwa pertandingan telah berakhir dan aku kalah. Aku pulang, melangkahkan kaki dengan pandangan menunduk. Tiba-tiba seorang anak kecil berlari menabrakku. "Hai!" seruku.
"Maaf, Bang!"Â