Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Percakapan Papat dan Lima

26 September 2016   13:16 Diperbarui: 11 Oktober 2016   21:19 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Minggu pagi di bulan April yang cerah, kau memutuskan untuk menunggunya lagi. Kau kembali memperoleh keyakinan bahwa dia sedang menguji keotentikan penantianmu.

7 tahun berlalu, di hari Selasa  ketika kalian masih mengenakan seragam abu-abu, kau akan ingat pertama kali kau menulis puisi untuknya. Menyuruh dan mengupah temanmu yang cemberutan itu supaya menaruhnya di majalah dinding sekolah, ketika akhirnya kau lega mengetahui gadismu menyukai puisimu.

Atas saran bayang-bayangmu, kau membubuhkan inisial kecil di pojok kertas. Kepada siapa puisi itu ditujukan. Untuk: Lima Elnung Nenas. Satu-satunya kesalahan fatalmu adalah kau tidak mau mengakui bahwa puisimu adalah puisimu. Tapi temanmu yang berpenampilan lebih rapi dari seorang hakim, memintamu agar mengakui perbuatanmu seperti tersangka meskipun kau telah mengupahnya lebih besar dari kesepakan awal. Ia mendadak menjadi hakim yang kudus dan suci. Maka ia menolak, tapi kau mengancamnya.

Lantas temanmu pun mengeluh, "Lalu apa yang harus kukatakan padanya, jika ia bertanya?"

"Bilang bahwa kau harus pergi ke toilet."

"Sampai kapan?"

"Lakukan saja seperti langkah awal."

Gadismu lambat memahami orang yang dicintainya, sementara kau terlalu cepat percaya bahwa dia mencintaimu. Puisimu berhasil mengambil hatinya tapi gagal menandai letak cintamu seharusnya berada di hati itu.

Kau ingin sekali mengatakan kau mencintainya, kau bisa menunggu jika dia mau. Tapi tanpa kau mengatakan itu dia memang memintamu agar terus menulis puisi.

"Untukmu?" Kau bertanya.

"Kalau kau tak keberatan."

"Sampai kapan?"

"Lakukan saja seperti langkah awal."

Kau terkejut. Tapi kau manggut-manggut.

"Bisakah kita saling mencintai?"

"Kenapa tidak."

Kau merasa tenang mendengarkan jawabannya. Kadang-kadang masa depan semudah itu terbaca, pikirmu.

"Bisakah kita menikah?"

"Kenapa tidak."

Dan mulailah kau menyusun kata-kata. Mengumpulkan kata-kata acak, memilihnya dan membuang kata-kata yang tak berguna.

Kata-kata yang telah kau pilih berderet, berbaris dan membentuk ibu kalimat dan anak kalimat dan paragraf. Kelak 4 tahun mendatang, kau akan menuangkan kata-kata itu ke dalam sebuah kertas undangan.

***

"Kau sudah makan?" Tanyamu melalui pesan singkat, 2 tahun lalu, setelah kau berhasil mengetik: Sebenarnya saya ingin percaya, hmm, kau tahu? Bahwa bukan kesepian ini yang mengganggu kita. Tapi, Lima, kekasihku, tulismu, manusia adalah makhluk sederhana yang terkadang kelewat rumit.

Kau yakin angin kecil yang melintas di depan alismu mengerti hal-hal sepele. Tapi hukum, adat-istiadat, kau tahu betul detail konflik batin antara Zainudin dan Hayati yang malang hanya karena perkara sepele namun kompleks. Bedanya, Hayatimu belum menikah sepanjang yang kau tahu. Sepanjang ingatanmu.

"Kau sudah makan?"

Bulan berganti, dan jawaban sejati atas pertanyaanmu adalah: "Sudah. Kamu?"

Bulan menjadi tahun, dan ia pun membalas, "Sudah. Kamu?"

Tahun-tahun berlalu. "Sudah. Kamu?"

Terus seperti itu sampai tingkat yang mengkhawatirkan.

***

Pada Minggu siang di bulan april yang cerah, Papat dan Lima, saling duduk di sebuah kedai pusat kota. Bayang-bayang mereka juga saling menunduk melingkari meja. Tak ada yang, satu sama lain lakukan. Nenas, baru saja selesai menguncir rambutnya mirip sewaktu SMA dulu, tapi tidak setertib dan serapi yang terlihat. Gerakannya patah-patah, lambat dan seperti sedang tidak mengikat rambut kepalanya sendiri.

Papat memandanginya dengan pandangan aneh. Tapi Nenas  berusaha tidak memandanginya, alih-alih menatap senyum anak perempuan kecil pada tampilan seluler miliknya. Tapi semakin ia berusaha tidak melakukannya ia justru ingin melakukannya terus.

Dua cangkir coklat panas di hadapan mereka terlihat sedang menguping. Papat, mengambil cangkir panas itu dari tatakan dengan cara menjewer kuping cangkir dan meniupnya dan meminumnya. Rasanya manis seperti kenangan mereka.

Mengingat kenangan di masa lampau. Papat dan Nenas mulai membuka percakapan. Mereka tahu, mereka harus berusaha keras menggali dan mencangkul kenangan itu, mengingat, mengingat kenangan mereka sungguh dalam. Sehingga menimbulkan perasaan lapar.

"Kau sudah makan?"  Pertanyaan itu keluar dan saling bertabrakan. Dua cangkir coklat panas tertawa bergiliran. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun