"Kau sudah makan?" Tanyamu melalui pesan singkat, 2 tahun lalu, setelah kau berhasil mengetik: Sebenarnya saya ingin percaya, hmm, kau tahu? Bahwa bukan kesepian ini yang mengganggu kita. Tapi, Lima, kekasihku, tulismu, manusia adalah makhluk sederhana yang terkadang kelewat rumit.
Kau yakin angin kecil yang melintas di depan alismu mengerti hal-hal sepele. Tapi hukum, adat-istiadat, kau tahu betul detail konflik batin antara Zainudin dan Hayati yang malang hanya karena perkara sepele namun kompleks. Bedanya, Hayatimu belum menikah sepanjang yang kau tahu. Sepanjang ingatanmu.
"Kau sudah makan?"
Bulan berganti, dan jawaban sejati atas pertanyaanmu adalah: "Sudah. Kamu?"
Bulan menjadi tahun, dan ia pun membalas, "Sudah. Kamu?"
Tahun-tahun berlalu. "Sudah. Kamu?"
Terus seperti itu sampai tingkat yang mengkhawatirkan.
***
Pada Minggu siang di bulan april yang cerah, Papat dan Lima, saling duduk di sebuah kedai pusat kota. Bayang-bayang mereka juga saling menunduk melingkari meja. Tak ada yang, satu sama lain lakukan. Nenas, baru saja selesai menguncir rambutnya mirip sewaktu SMA dulu, tapi tidak setertib dan serapi yang terlihat. Gerakannya patah-patah, lambat dan seperti sedang tidak mengikat rambut kepalanya sendiri.
Papat memandanginya dengan pandangan aneh. Tapi Nenas  berusaha tidak memandanginya, alih-alih menatap senyum anak perempuan kecil pada tampilan seluler miliknya. Tapi semakin ia berusaha tidak melakukannya ia justru ingin melakukannya terus.
Dua cangkir coklat panas di hadapan mereka terlihat sedang menguping. Papat, mengambil cangkir panas itu dari tatakan dengan cara menjewer kuping cangkir dan meniupnya dan meminumnya. Rasanya manis seperti kenangan mereka.