Setiap negara pastinya memiliki intensitas untuk menjaga kepentingannya dan memaksimalkan kemampuannya. Seperti hal nya yang dilakukan Cina, negara tersebut kerap melakukan apa saja dalam mencapai tujuan dan kepentingan bagi negaranya, salah satunya melalui diplomasi koersif.
Diplomasi koersif digambarkan sebagai "pemaksaan non-militerisasi" atau "ancaman yang bersifat negatif untuk mengintimidasi lawan target agar merubah tindakan yang dilakukannya."
Hal ini berbeda dengan bentuk diplomasi pada umumnya, yang mana para aktor menggunakan pendekatan positif dan strategi dalam membangun kepercayaan seperti bantuan asing dan investasi yang dijanjikan melalui jalinan kerja sama terhadap negara lainnya. (Hanson, Currey, & Beattie, 2020)
Penggunaan strategi politik Cina melalui diplomasi koersif ini bertujuan melindungi apa yang dilihatnya sebagai kepentingan nasional utama bagi Cina. Kepentingan yang ingin dicapai berupa stabilitas dalam negeri, kemajuan ekonomi, integritas teritorial, dan status kekuatan besar.
Menurut Cina sendiri, hal ini merupakan "kepentingan yang tak dapat dinegosiasikan dari kebijakan luar negeri Cina", sehingga Presiden Xi Jinping ingin memanfaatkan kekuatan Cina guna mempengaruhi pihak lain dan menentukan aturan permainan global untuk melindungi sekaligus memajukan kepentingan nasional Cina.
Negara-negara dengan kekuatan yang lebih besar, seperti Amerika Serikat serta Rusia, telah meluncurkan berbagai tekanan pada negara-negara kecil, dengan berbagai tingkat keberhasilan.
Meskipun demikian, strategi yang digunakan oleh Cina dianggap unik karena masih jarangnya negara-negara menggunakan taktik diplomasi koersif yang didukung oleh kemampuan negaranya.
Sebaliknya, Cina menerapkan startegi ini sama saja dengan mengakui hubungan antara tindakan dan tujuan Cina, memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar dalam meningkatkan atau menurunkan situasi dengan tanggung jawab yang lebih sedikit dan pemantauan internasional.
Akibatnya, bentuk diplomasi koersif yang tidak konvensional ini memerlukan berbedanya seperangkat instrumen dan kebijakan dibanding biasanya.
Cina semakin menggunakan diplomasi koersif terhadap pemerintah dan perusahaan asing, dimana strategi ini terbagi kedalam beberapa bentuk, seperti Penahanan atau eksekusi tak terduga, penyekatan kunjungan dinas, pembatasan penanaman modal, pembatasan perdagangan, penyekatan pariwisata, boikot populer, tekanan terhadap perusahaan individu.
Mereka berani pengambil langkah besar ini karena Cina merupakan mitra dagang terbesar di dunia untuk sekitar dua pertiga negara di dunia dengan menggunakan pengaruh ekonominya untuk memperoleh pengaruh politik dari para pesaingnya.
Diplomasi koersif sendiri sering dilakukan oleh Cina yang melibatkan 27 negara dan Uni Eropa sebagai target pelaksaan diplomasi koersif Cina. Asia Imur, Australia, Selandia Baru, Amerika Utara, dan juga Eropa adalah wilayah dan negara yang paling banyak mengalami insiden diplomasi koersif selama dekade terakhir.
Diplomasi koersif antara Cina dengan Australlia merupakan salah satu insiden diplomasi koersif yang paling terkenal. Cina melayangkan diplomasi koersif terhadap Australia dengan membatasi impor barang yang berasal dari Australia, serta membatalkan seluruh investasi yang masuk ke Australia, hal ini dipicu karena pembatalan sepihak perjanjian pembangunan infrastruktur Bolt and Road.
Kemudian Australia mengambil langkah defensive terhadap Cina dengan turut memblokir investasi Cina di negara tersebut. meluncurkan beberapa syarat khusus bagi Cina (Arbar, 2021).
Di wilayah Asia Timur, terdapat Korea Selatan yang berkonflik dengan Cina. Pemutusan kerja sama dalam Terminal High Altitude Area Defence (THAAD) yang dilakukan oleh Korea Selatan lah yang membuat Cina geram dan melakukan tindakan diplomasi komersial. Cina telah membatasi akses masuk barang dan jasa Korea Selatan ke negaranya, serta melarang warganya mengunjungi negara itu dengan menyekat akses parisiwisata.
Hal ini tentu berimbas besar terhadap kelangsungan ekonomi Korea yang mana Cina merupakan mitra dagang utama Korea Selatan. Namun sanksi-sanksi dan ancaman yang dilayangkan Cina tidak membuat Korea Selatan goyah untuk menarik kembali keputusan yang telah ia tetapkan.
Selain itu, Cina juga melakukan diplomasi koersif terhadap Ceko namun dapat dikatakan mengalami kegagalan. Berawal dari Ceko yang mulai menjalin hubungan dengan Taiwan, sedangkan Ceko sendiri bertumpu pada kebijakan one Cina policy. Hal ini tentu membuat Cina semakin memanas dan melakukan diplomasi koersif dengan melayangkan kritikan keras serta ancaman yang mengarah kepada Ceko.
Dalam pertemuan Ceko ke Taiwan, Ceko menegaskan bahwa mereka tak akan tunduk terhadap ancaman oleh Cina yang diarahkan kepadanya, dan tetap memberikan dukungan bagi Taiwan dengan melanjutkan hubungan kerja sama yang dijalin antara kedua negara tersebut. (VOA, 2021)
Jika dilihat dari beberapa contoh runtunan kejadian yang telah dilewati Cina, ternyata diplomasi koersif ini selain membawa keuntungan dalam mempertahankan kepentingannya, ternyata memiliki pengaruh yang tanpa disadari dapat menyerang kepentingan yang dijalani Cina sendiri.
Apa yang diupayakan Cina melalui diplomasi koersif ini ternyata pada akhirnya akan berimbas balik dan merugikan pihak mereka. Walaupun Cina sering menggunakan berbagai ancaman, sanksi dan pengaruhnya di bidang ekonomi, namun negara-negara target tersebut kebanyakan berusaha untuk mempertahankan kemerdekaan mereka, sehingga strategi ini dianggap kurang berhasil.
Seluruh kondisi yang dialami telah berubah 180 derajat sejak pandemi COVID-19 hadir ditengah-tengah kondisi Cina yang sedang mengalami kegoyahan dalam kebijakan diplomasi koersif yang dijalaninya.
Sejak Perang Dunia II, pandemi COVID-19 telah menjadi peristiwa paling mengganggu seluruh tatanan di dunia. COVID-19 berkembang menjadi lebih dari sekadar masalah kesehatan, melainkan menjadi urgensi yang menghadirkan tantangan multilateral untuk mengatasinya. Setelah epidemi, dunia akan menjadi semakin tidak teratur dan tidak stabil.
Ekonomi global telah terpukul secara signifikan, kemiskinan meningkat, dan pemulihan masih jauh. Pandemi menunjukkan kurangnya kepemimpinan global yang akan mendorong lebih banyak kerja sama antar negara. Langkah tepat yang paling baik untuk mengatasi situasi melalui bantuan mitra tepercaya.
Masa pandemi COVID-19 saat ini juga banyak menghambat berbagai negara dalam mempertahankan kepentingannya, begitupun juga Cina yang menghadapi tantangan baru dalam kelangsungan diplomatiknya. Cina menghadapi banyaknya kritik global mengenai Corona Virus yang awal mula ditemukannya dari salah satu wilayah Cina.
Akibat hal ini, kemudian banyak dari negara-negara besar mengubah perspektif mereka, khususnya Amerika Serikat, untuk melumpuhkan kekuatan Cina. Ditambah dengan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Cina melalui diplomasi koersif ternyata banyak mengalami kegagalan
Para diplomat Cina saat ini saling bekerja sama untuk menjaga reputasi negaranya dengan menerbitkan ulang cerita bahwa COVID-19 diperkenalkan ke Cina oleh negara lain.
Fakta bahwa Cina berani terlibat kedalam pertempuran kritik dan indimidasi dengan negara-negara lain menandakan jika Kementerian Luar Negeri Cina saat ini bersedia bermain keras, meninggalkan status low profile yang selama ini dibentuk oleh politik luar negeri Cina.
Generasi ini dikenal sebagai "Diplomasi Prajurit Serigala," dan yang muncul dan diasosiasikan dibawah kepemimpinan Xi Jin Ping, memperbaiki citra negaranya di seluruh dunia menjadi lebih terlihat dan eksplisit. (Firdaus, 2021)
Diplomasi Koersif Cina mengalami puncak kebangkitan ditengah-tengah kondisi kritis akibat pandemi, terlihat dari menurunnya citra baik Cina yang dipicu oleh beberapa negara.
Presiden Cina, Xi Jin Ping, beserta Menteri Luar Negeri Cina, Zhao Lijian, harus lebih tegas dalam menggunakan kebijakan luar negeri sebagai alat untuk merespon tuntutan serta kritik yang dilayangkan dari negara-negara yang memiliki keterkaitan hubungan dengan Cina atas memburuknya urgensi kesehatan dan belum terkendalinya penanganan siatuasi COVID-19.
Para perwakilan diplomat Cina di berbagai negara, seperti Prancis, Belgia, serta Venezuela melontarkan argumen yang kuat dan kritik tajam pada waktu yang bersamaan.
Bagian dari posisi kebijakan luar negeri Cina yang kuat kini telah menjadi kebijakan dan RRC telah meningkatkan pengaruhnya. Situasi COVID-19, bagaimanapun, merupakan faktor penentu utama bagi diplomat Cina yang menunjukkan minat dalam pembuatan kebijakan, karena “Diplomasi Paksaan” Cina tidak akan pernah terlihat tanpa adanya pemicu yang mengarahkan diplomat Cina untuk melayangkan kebijakan tersebut.
Restorasi diplomasi koersif Cina dapat berimplikasi dalam jangka panjang. Akibat dari pemulihan kekuatan di tengah pandemi, Cina menjadi lebih berkarakter karena para diplomat akhirnya menyadari kekuatan yang mereka miliki dengan instrumen yang dapat mereka jalani, salah satunya yaitu melalui diplomasi koersif.
Cina memiliki pijakan yang lebih baik dan posisi yang lebih tegas saat ini karena mereka memiliki para diplomat Politbiro yang berkuasa serta waspada terhadap isu yang dihadapi, yang mana para diplomat tersebut dengan sigap mencari celah ditengah-tengah kondisi pandemi yang tak stabil dengan memanfaatkan situasi Cina yang sedang terdesak ini untuk memperbaiki kualitas dan memperkuat kepentingan negaranya.
Berdasarkan apa yang terjadi pada saat ini, diplomat Cina memiliki tingkat legitimasi yang lebih tinggi selaku aspek yang memerlukan pertimbangan utama dari berbagai negara di seluruh dunia dalam menyikapi terhadap kolaborasi Cina.
PENUTUP
Dalam berbagai hal, dunia akan memiiliki tatanan baru setelah berakhirnya COVID-19. Jika melihat dalam segi dampak terhadap ekonomi dan politik global masih belum ada penelitian lebih lanjut, namun satu hal yang pasti adalah kepemimpinan Cina ingin memainkan peran kunci dalam membentuk dunia baru setelah COVID-19 berakhir dimana salah satu upaya yang dikerahkan melalui ancaman dan eksploitasi lawan target untuk mendominasi apa yang ingin dikuasainya, dan para diplomatnya akan secara aktif menegaskan kepentingan Cina dalam mencapai tujuan tersebut.
Berbagai negara terutama negara strategis yang dapat memenuhi kepentingan Cina perlu lebih waspada terutama di masa pandemi ini, karena Cina mulai bangkit kembali sebagai negara yang memiliki akal bulus yang luar biasa karena memiliki sekelompok diplomat ulet yang dipersenjatai dengan beragam koleksi instrumen mulai dari bantuan ekonomi yang akan menguji mereka di setiap kesempatan.
DAFTAR PUSTAKA
Arbar, T. F. (2021, April 23). Selamat Datang 'Perang Dingin' Cina-Australia. Retrieved from CNBC Indonesia: www.cnbcindonesia.com
Cheng, D. (2020). Challenging China’s “Wolf Warrior" Diplomats. Backgrounder No. 3504, 1-10.
Firdaus, L. (2021, Mei 07). Krisi COVID-19 Sebagai Babak Baru Kebangkitan Diplomasi Koersif Cina. Retrieved from IISAUC: www.iisauc.org
Hanson, F., Currey, E., & Beattie, T. (2020). The Chinese Communist Party's coercive diplomacy. Australia: The Australian Strategic Policy Institute.
IPDForum. (2021, Oktober 20). Berbagai negara menentang ‘diplomasi koersif’ RRT. Retrieved from Indo-Pacific Defense Forum: ipdefenseforum.com
Quinian, G. (2021, April 15). Diplomacy in the time of coronavirus. Retrieved from The Jakarta Post: www.thejakartapost.com
Rou, D. (2020). CINA’S PANDEMIC DIPLOMACY. Analysis from the East-West Center No. 144, 1-8.
VOA. (2021, Agustus 31). "Diplomasi Koersif" Cina Jadi Bumerang Saat Kunjungan Senat Ceko ke Taiwan. Retrieved from VOA: www.voaindonesia.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H