Tayangan televisi maupun internet menjadi media yang nyata dalam konteks ini, budaya tersampaikan secara tersirat ataupun tersurat seiring dengan sajian musik, film, talkshow, maupun berita. Dimensi seks dan kekerasan , contohnya ditampilkan secara terbuka padahal belum tentu hal tersebut benar-benar terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga bagi beberapa orang akan memiliki pengaruh secara pemikiran dan moralitas.
Manusia memiliki pandangan teknologi yang berbeda-beda. Seringkali kita menganalogikan gadgetdengan pisau bermata dua, pernyataan tersebut muncul dari determinisme sosial bahwa teknologi hanyalah entitas yang netral, namun ketika teknologi sudah digunakan manusia untuk melancarkan kepentingan tertentu sehingga menjadi tidak netral. Namun menurut Don Ihde, teknologi tidaklah netral yakni sebagai mediator antara manusia dan dunia.Â
Budaya juga turut berubah dengan penerapan teknologi. Ihde menghindari konsep kenetralan teknologi dengan menggunakan hubungan manusia-teknologi yang tidak memisahkan subjek manusia pengguna teknologi dari objek teknologi itu sendiri. Teknologi bukan hanya semata-mata alat yang tergantung pada penggunaan manusia. Teknologi merupakan hubungan yang relative antara pengguna dengan alat teknologi. Pada ketidaknetralan teknologi maka Plurikulturalitas bisa digunakan sebagai petunjuk. Plurikulturalitas menghindari kembalinya monokulturalitas, sehingga sangat menghargai keberagaman.Â
Namun ada lagi pandangan determinisme teknologi, yakni setelah teknologi yang tidak netral diciptakan maka teknologi akan berjalan sesuai dengan alurnya sendiri. Teknologi menjadi otonom dan mendominasi hidup manusia dengan menenggelamkan manusia dalam cara berpikir yang instrumental. Berbeda dengan penafsiran Habemas , yakni dunia di bawah sistem teknologi dikuasai oleh teknologi dengan rasionalitasnya yang bersifat teknis, instrumental, dan berorientasi pada penyelesaian masalah(efisiensi).Â
Berbagai macam penafsiran terhadap teknologi juga merepresentasikan penafsiran di masyarakat, sehingga menunjukan bahwa masyarakat memiliki juga sikap yang berbeda-beda terhadap kemajuan teknologi. Ringkasnya, ada yang menganggap baik buruknya penggunaan teknologi tergantung kepribadian pengguna, ada pula yang menganggap teknologi tidak netral karena memiliki peran dalam transfer budaya, ada yang menganggap teknologi berjalan sesuai alurnya sendiri, ada yang memandang aspek teknis dan efisiensi dari teknologi. Dalam pemaparan kali ini cenderung menggunakan penafsiran bahwa teknologi tidak netral karena menjadi mediator antara manusia dengan dunia serta memiliki pengaruh terhadap kebiasaan atau budaya.
Teknologi yang semakin maju juga berpotensi memiliki dampak negatif terhadap pemikiran manusia yang tereduksi menjadi manusia satu dimensi, yakni manusia satu dimensi yang memandang segala sesuatu adalah komoditas. Pemikiran yang teknokratis sarat kepentingan politik dan ekonomi dari pihak tertentu secara tidak sadar menyetir masyarakat, yaitu dengan cara mengakomodasi kebutuhan manusia tetapi sebenarnya diarahkan demi suatu kepentingan.Â
Pada dasarnya, teknologi mempunyai ciri lifecentered,yaitu memiliki tujuan utama untuk mengembangkan kehidupan, namun seiring berjalannya waktu berubah menjadi powercentered,melalui teknologi manusia mampu menguasai orang lain.Teknologi memiliki hubungan dengan kapitalisasi, dalam pandangan Herbert Marcuse, kebudayaan kapitalisme tiada lain adalah kebudayaan komoditi; kebudayaan yang berbasis pengejaran laba. Di bawah naungan kebudayaan ini semua nilai ditakar dengan takaran komoditi atau laku-atau-tidaknya di pasar. Segala tujuan diarahkan dan diperjuangkan sepanjang ‘laba’ menghendaki.Â
Produksi umum bukan untuk memenuhi kebutuhan manusiawi tetapi agar terjual. Kebutuhan manusiawi yang sebenarnya, terutama komunikasi dan kebersamaan, malah tidak terpenuhi. Dalam kebudayaan komoditi, manusia tidak (perlu) lagi saling berhubungan sebagai sesama manusia. Benda-benda material telah mengambil alih hubungan antarmanusia yang seharusnya manusiawi
Salah satu realitas teknologis adalah memiliki pendasaran sosial. Selayaknya manusia sebagai makhluk sosial manusia mampu untuk berkomunikasi, mengutarakan perasaan, peka terhadap sesama, saling memahami, tolong menolong, simpati, empati, rasa saling memiliki, bahkan gotong royong yang menjadi kepribadian bangsa Indonesia. Dalam perjalanan perkembangan teknologi, humanisme juga diuji. Perjalanan tersebut memiliki dampak negatif bagi beberapa pihak, manusia menjadi semakin egois, manusia semakin terkotak-kotak bahkan terbentuk kelas-kelas, tidak memedulikan lingkungan sekitar.Â
Seharusnya manusia saling memiliki, maka akan memahami bahwa kita sama dan setara, tanpa membeda-bedakan latar belakang masing masing. Kita juga banyak melihat fakta, kecepatan dan luasnya teknologi dalam hal penyebaran informasi dijadikan alat untuk merenggangkan kesatuan dengan berbagai propaganda, pengalihkan isu, pembelokan kebenaran, konstruksi pemikiran, menciptakan kebodohan secara terstruktur, disitu banyak konflik kepentingan yang seringkali terwujud perang informasi.Â
Kedekatan manusia secara ‘rasa’ sering terabaikan maka rasa saling memiliki tidak terwujud. Kita dengan mudah mengenal kehidupan Justin Bieber , dari tanggal lahir, hobi, makanan favorit, bahkan seputar gosip atau permasalahan yang sedang menimpa Justin Bieber, namun kita belum tentu mengenal dekat tetangga sebelah kita. Fasilitas group pada media sosial maupun messenger mampu mengelompokan manusia secara virtual, informasi mampu beredar secara cepat, namun soliditas suatu kelompok tidak sebatas itu, kelompok dituntut untuk bergerak secara nyata dan saling melengkapi.Â