Setiap petang selepas bangun tidur, ia selalu berkeliling kompleks. Entah mencari apa? Setiap rumah ditatapnya dengan baik, setiap posisi rumah diperhatikannya dengan seksama seakan ia meminta untuk dipanggil masuk dalam rumah sehingga terkadang memancing kecurigaan orang-orang. Memang pola tidurnya berbeda dengan orang pada umumnya. Bahkan di siang ia tak pernah kelihatan, baik itu berangkat kerja, keluar kerja bakti, olahraga pagi atau sore, atau di mesjid.
Ia hanya suka berkeliling di petang hingga di subuh hari dengan dalih bekerja penuh di siang hari, kecapean hingga alasan lain membuat dirinya sendiri kebingungan menjawab jika ditanya. Memang ia melabeli dirinya sebagai montir elektronik.
Motornya pun diparkir di depan rumah tanpa dimasukkan di terasnya, tepat di depan pagar kayu sisa somel itu. Lampu teras dengan nyala balon 5 watt terlihat tak pernah padam siang malam. Sementara di dalam di ruang tengah sangat kelihatan seram. Hanya terlihat celah cahaya dari bagian toilet. Pintu rumah yang selalu dengan kondisi terbuka sedikit, namun di teras sedikit dihalangi papan bertuliskan “Serpis Elektonik”. Tulisan tersebut sedikit typo, dalam dialek Melayu terbilang okkots alias kesalahan berbahasa.
Orang-orang selalu beranggapan bahwa ia ada di dalam rumah, baik di malam hari maupun di siang hari. Namun tak pernah satu orang pun tetangga atau tamunya yang berhasil masuk dalam rumah, sebab ketika ada yang mengintip dari teras ke dalam, seakan-akan penghuninya sedang tidak bisa dingganggu alias istirahat. Terlihat dari barang-barang rongsokan digelar di mana-mana, mungkin saja hal ini sebagai siasatnya belaka. Bahkan istrinya pun ia kurung.
Berbeda dengan orang-orang pengontrak rumah lainnya tak akan ada yang berani memarkir kendaraan di pinggir jalan dan membuka celah di pintu utama. Sebab sedikit saja orang lengah maka akan ada debt collector yang mengangkut motor tanpa permisi, atau ada orang-orang yang berniat jahat merampok barang-barang berharga. Memang di kompleks itu tak aman. Setiap pagi terdengar suara musik yang tak karuan, pertengkaran ibu dan anak, warga dengan debt collector. Namun akhur-akhir ini sedikit aneh, siang atau malam hari selalu saja ada yang berteriak kemalingan kutang.
“Kenapa matanya merah daeng?” Tanya salah satu pelanggannya yang minta diperbaiki mesin cucinya.
“Mata saya memerah sudah sejak lama sejak masih di kampung” jawabnya acuh.
Seakan terbesit kecurigaan perempuan itu yang kebetulan tetangga satu perumahan. Hanya saja rumah mereka bersebelahan lorong. Rumah Daeng Kelleng berada di lorong ke empat, rumah ke enam menghadap ke timur. Sementara rumah perempuan yang bertanya itu berada di lorong ke tiga, rumah ke lima juga menghadap ke timur. Di samping rumah Daeng Kelleng ada sedikit jalur tikus alias lorong kecil, yang biasa ia manfaatkan untuk keluar tabpa harus lewat pintu utama, bila tanpa berkendara.
Di sela perbincangan Daeng Kelleng ke pelanggan barunya tersebut, istinya tiba-tiba datang dengan penuh kecurigaan. Istrinya jarang keluar rumah, ia seakan terkurung di dalam. Hanya keluar sesaat untuk belanja rokok dan kopi buat suaminya. Namun saat mendengar perbincangan itu, ia terbangun. Ini kesempatan baginya untuk keluar. Ia tiba-tiba datang.
“Kesini-ki Satimang!” Panggil tetangga tersebut ke I Satimang dengan sopan.
“Iyye” Nadanya tidak ikhlas namun tetap menunjukkan sikap honorifik ke tetangganya.