Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/ Writer

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu Muliati Kartini Belanga

18 April 2023   17:10 Diperbarui: 18 April 2023   17:56 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah semuanya terbangun, masing-masing anak harus mengantar sarapan pagi kepada para tetangga yang belum siapkan sarapan. Dari rumah lorong satu hingga lorong tiga di Belanga semua dapat jatah bagi yang membutuhkan. Para lelaki warga di sana kebanyakan ke Malaysia merantau mencari nafkah buat anak istrinya, sebagian masih terperangkap kawin mawin di Kuala Enok atau di Sulawesi Tenggara, di Kalimantan Timur, sebagian pula masih di laut mencari ikan biasanya pulang pukul delapan atau pukul sembilan pagi setelah tangkapannya terjual habis di pasar Benteng Belanga. 

Tak terkecuali suami Ibu Muliati terbelenggu kesetiaan lantaran ia tak bisa berpisah dengan suaminya. Ia rela miskin harta demi kebersamaan pagi siang malam. Subuh atau pagi hari yang dirindukan, pelukan suaminya dari belakang saat ia sibuk di dapur. 

Demikian candaan di awal malam layaknya dongeng pengantar tidur. Kedua pasangan itu merupakan perkawinan sepupuan yang ditinggal mati masing-masing ibu mereka. Mertua lelaki ibu Muliati kawin mawin juga dengan beberapa perempuan hingga menelantarkan anaknya (yang kini suaminya). Berbeda dengan bapak dari Ibu muliati ia terperangkap di Kuala Enok Kepri lantaran diusir dari Belanda di era penjajahan hingga setelah Ibu Muliati lahir ia harus meninggalkan pulau celebes.

Banyak perempuan merana di Belanga. Para lelaki mereka sejak penjajahan Belanda terusir dari kampungnya sendiri. Tak heran jika banyak anak yang berdarah Belanda atau sebagai yatim. Sebagian lelaki pelaut di sana dikenal dengan orang Bajau. Sehingga tak heran jika Belanga Bajo merupakan inspirasi dari lelaki Bajau tadi yang gemar berlaut ke Sulawesi Tenggara, Ke Pulau Sumbawa, ke Pulau-pulau di Riau sana hingga ke luar negeri. Banyak perempuan menjanda di sana. 

Sehingga setiap pagi hanya memeluk selimut dan bantal guling. Berbeda dengan Ibu Muliati selalu pagi bersama dapur dengan masakan tersaji. Bubur nasi buat sarapan pagi anak-anaknya, lima hingga sepuluh piring dikirim ke tetangga yang belum sempat menyalakan tungku dapur. Tetangga dari lorong satu hingga tiga dapat jatah rebusan atau gorengan hasil panen kebun suami dan anak-anak Ibu Muliati.

Tak hanya rebusan dan gorengan sarapan para janda-janda atau anak yatim di Belanga. Demikian di hari lebaran tiba, Ibu Muliati menginisiasi membagikan buras (burasa adalah makanan tradisional masyarakat Bugis). Satu ikat terdiri dari dua bungkus nasi dengan daun pisang. Tiga ikat hingga lebih bergantung jumlah anggota keluarga setiap tetangga ia bagikan. Tak ada kelaparan sarapan di Belanga. 

Selalu ada pagi dari Ibu Muliati. Dari Ibu Muliati kepada warga di Belanga menjadi penyemangat pagi ketiga anaknya untuk berkeliling dari lorong ke lorong. Hasil kebun dan hasil panen padi suaminya kebanyakan untuk sedekah makanan rumahan kepada warga Belanga.

****

Sepuluh tahun terakhir hingga musim lebaran kali ini keadaan sudah terbalik. Rumah Ibu Muliati sangat sepi. Hanya dikunjungi peziarah yang ingin ke makam para leluhur mereka tepat di belakang kediaman mendiang Ibu Muliati. Nampak berjejer mobil-mobil peziarah dari kota. Para perantau dari Sulawesi Tenggara, dari Kuala Enok Riau, Kalimantan dan dari Malaysia membuat ramai kampung Belanga. Para peziarah khusus warga Belanga tak pernah lupa jasa sarapan pagi dari Ibu Muliati. Sehingga bunga pandan dan bunga bunga lainnya silih berganti warna.

Angin pagi masih berhembus dari arah timur laut, seperti biasa ia menyapa setiap ruang hingga ke ubun. Hanya saja aroma bubur nasi pagi sudah tidak ada. Aroma rebusan pisang kepo dan rebusan sukun hasil panen suami Ibu Muliati kini tak ada lagi.

Ikatan buras Ibu Muliati yang dirindukan oleh warga Belang kini hanya menjadi perbincangan sesekali di antara mereka yang mengingat kisah itu. Ikatan buras itu perlahan terlepas dari ingatan generasi ketiga di Belanga. Pelung dapur yang biasa menjadi seruling pagi Ibu Muliati menjadi kesepian. Abu tungku di dapur kini hanya menjadi debu. Sementara tungkunya sendiri menjadi pajangan depan tangga rumah panggung itu, hanya sesekali menyala jika kerinduan dari anak cucu Ibu Muliati muncul dari jauh dari arah barat Belanga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun