Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu Muliati Kartini Belanga

18 April 2023   17:10 Diperbarui: 18 April 2023   17:56 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi yang dingin di musim panen padi. Ibu Muliati membangunkan anak-anaknya dengan tradisi paginya. Asap dapurnya selalu mengepul mewarnai pagi dengan aromanya yang menghampiri setiap hidung yang sudah tersadar dari pelukan. Sebagian ayam masih bertengger di kolom rumah, yang lainnya sudah asyik bermain di tanah lapang dengan embun yang sejuk.

Angin timur laut masih terus berhembus hingga ke kamar pribadi Ibu Muliati beserta suami. Di sebelahnya adalah kamar para lelaki yang tidak jauh dari dapur. Boleh dikata itu kamar meski tanpa pintu hanya kelambu yang meng-antarai bilik itu atau lemari kayu yang membelakangi salah satu kamar dari keduanya. Rumah panggung yang berdiri itu menghadap ke timur di depan tanah lapang. Sehingga setiap pagi di musim panen padi anginnya berhembus menembus setiap ruang, hanya pohon mangga yang menjadi pelindung dari topan angin yang kencang bila itu terjadi. 

Dulu ada pohon nangka tepat berdiri di panggung rumah itu namun tidak berbuah lagi sebab kekasih Ibu Muliati terkadang cemburu bila buah nangka yang telah dibuat sayur lodeh telah habis dibagikan kepada semua tetangga tiap pagi dari lorong satu hingga lorong tiga. Pohon nangka itu tidak berbuah lagi, tak ada yang membuat cemburu kekasih Ibu Muliati, sudah ter-tebang dan terganti dengan pohon mangga dengan dua tangkai besar saling berpelukan pertanda simbol cinta pasangan itu. Buah mangga pun ibarat buah hatinya.

Lonceng sekolah di depan tanah lapang itu juga kiranya tiga jam lebih baru berbunyi. Dapur tetangga belum berasap. Ibu Muliati sudah bersiaga, Ia terus memasak apa saja hasil kebun dari pasangannya. Anak-anaknya pun selepas sekolah diminta menanam apa saja di kebun dan di ladang yang kosong di Belanga. Sebab banyak kebun dan ladang kosong yang ditinggal pemilik yang sedang merantau mengadu nasib. Hasil kebun dan hasil panen padi tak ternilai jauh sebelum krisis moneter hingga di awal 2000an.

Angin pagi seperti sajak pagi, menghembus setiap ruang di rumah panggung, hingga meniup ubun yang masih tertimbun dalam lamunan mimpi. Jarak antara rumah dan laut memang tidak jauh, hanya sebatas suara sirine mercusuar di pantai dengan suara penjual apem pagi di tengah sawah. 

Anginnya pula tak ada yang berani menghalau sebab ia adalah doa para nelayan, doa para lelaki Bajau pemburu teripang laut dan juga doa para pemulung padi setelah sekian lama padinya tertimbun genangan penghujan. Kemarau saat itu adalah rindu para anak-anak main layangan di tegah sawah tanpa halau dari pohon, rindu ikan-ikan yang berayun di permukaan menunggu umpan para mata pancing dan jala nelayan.

Ibu Muliati di pagi yang dingin itu, ia keluar dari selimut dan lipatan kelambu yang tergantung pada empat sisi tiang rumah panggung. Sebelum adzan subuh berkumandang dari arah Selatan ia sudah berdoa di depan dapur. Entah masakannya dari pukul empat pagi untuk sarapan saja atau juga untuk bungkusan pada suaminya dan anak-anaknya ke sawah atau ke sekolah. Sedari tadi ia asyik di dapur membereskan masakan lainnya sebelum lelakinya terbangun. Sesekali ia mengunjungi bilik kamar kedua tempat ketiga anaknya saling berpelukan. Dicium ubun anak- anaknya setiap nyala api di tungku membara, hangat dahi dan bibirnya membasuh dingin ubun dan tubuh ketiga anak lelakinya.

Setiap pagi Ia sedang bernyanyi dan bersiul. Suaminya mengunjunginya setiap pagi di dapur, mereka tampak mesra. Kopi hangat yang ia seduh dengan bara api diaduknya tujuh kali ke kanan ke kiri dengan tangan kirinya yang keriput itu. Ia hanya tersenyum manis saat dipeluk dari belakang suaminya.

 Di usianya yang senja itu tentu sesuatu keluarbiasaan masih menyimpan api cinta yang tak pernah padam. Terkadang senyumnya sampai pada mulut pelung hingga ke tunggu dan ke bara api. Senyum paginya terpancar pada muka tetangga yang selalu kebagian sarapan pagi. Ayam pagi berkokok, ia masih menyalakan tungku dapur. Ia terus memasak. Memasak apa saja yang ada. 

Pagi itu ia memasak buah pisang kepo yang manis dan buah sukun yang manis di pohon. Dua tungku menyala dengan dua masakan yang berbeda. Di sebelah kiri rebusan di sebelah kanan gorengan. Di meja dapur berjejer piring-piring dan bingkisan. Apakah masakan itu untuk siang hari sebagai bekal ke sawah memanen padi atau buat bekal sekolahan ketiga anaknya yang sekolah berbeda di Bone kota si sulung, di pusat kecamatan Belanga anak tengah dan di SDN desa Belanga si bungsu yang manja itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun