Pagi yang dingin di musim panen padi. Ibu Muliati membangunkan anak-anaknya dengan tradisi paginya. Asap dapurnya selalu mengepul mewarnai pagi dengan aromanya yang menghampiri setiap hidung yang sudah tersadar dari pelukan. Sebagian ayam masih bertengger di kolom rumah, yang lainnya sudah asyik bermain di tanah lapang dengan embun yang sejuk.
Angin timur laut masih terus berhembus hingga ke kamar pribadi Ibu Muliati beserta suami. Di sebelahnya adalah kamar para lelaki yang tidak jauh dari dapur. Boleh dikata itu kamar meski tanpa pintu hanya kelambu yang meng-antarai bilik itu atau lemari kayu yang membelakangi salah satu kamar dari keduanya. Rumah panggung yang berdiri itu menghadap ke timur di depan tanah lapang. Sehingga setiap pagi di musim panen padi anginnya berhembus menembus setiap ruang, hanya pohon mangga yang menjadi pelindung dari topan angin yang kencang bila itu terjadi.Â
Dulu ada pohon nangka tepat berdiri di panggung rumah itu namun tidak berbuah lagi sebab kekasih Ibu Muliati terkadang cemburu bila buah nangka yang telah dibuat sayur lodeh telah habis dibagikan kepada semua tetangga tiap pagi dari lorong satu hingga lorong tiga. Pohon nangka itu tidak berbuah lagi, tak ada yang membuat cemburu kekasih Ibu Muliati, sudah ter-tebang dan terganti dengan pohon mangga dengan dua tangkai besar saling berpelukan pertanda simbol cinta pasangan itu. Buah mangga pun ibarat buah hatinya.
Lonceng sekolah di depan tanah lapang itu juga kiranya tiga jam lebih baru berbunyi. Dapur tetangga belum berasap. Ibu Muliati sudah bersiaga, Ia terus memasak apa saja hasil kebun dari pasangannya. Anak-anaknya pun selepas sekolah diminta menanam apa saja di kebun dan di ladang yang kosong di Belanga. Sebab banyak kebun dan ladang kosong yang ditinggal pemilik yang sedang merantau mengadu nasib. Hasil kebun dan hasil panen padi tak ternilai jauh sebelum krisis moneter hingga di awal 2000an.
Angin pagi seperti sajak pagi, menghembus setiap ruang di rumah panggung, hingga meniup ubun yang masih tertimbun dalam lamunan mimpi. Jarak antara rumah dan laut memang tidak jauh, hanya sebatas suara sirine mercusuar di pantai dengan suara penjual apem pagi di tengah sawah.Â
Anginnya pula tak ada yang berani menghalau sebab ia adalah doa para nelayan, doa para lelaki Bajau pemburu teripang laut dan juga doa para pemulung padi setelah sekian lama padinya tertimbun genangan penghujan. Kemarau saat itu adalah rindu para anak-anak main layangan di tegah sawah tanpa halau dari pohon, rindu ikan-ikan yang berayun di permukaan menunggu umpan para mata pancing dan jala nelayan.
Ibu Muliati di pagi yang dingin itu, ia keluar dari selimut dan lipatan kelambu yang tergantung pada empat sisi tiang rumah panggung. Sebelum adzan subuh berkumandang dari arah Selatan ia sudah berdoa di depan dapur. Entah masakannya dari pukul empat pagi untuk sarapan saja atau juga untuk bungkusan pada suaminya dan anak-anaknya ke sawah atau ke sekolah. Sedari tadi ia asyik di dapur membereskan masakan lainnya sebelum lelakinya terbangun. Sesekali ia mengunjungi bilik kamar kedua tempat ketiga anaknya saling berpelukan. Dicium ubun anak- anaknya setiap nyala api di tungku membara, hangat dahi dan bibirnya membasuh dingin ubun dan tubuh ketiga anak lelakinya.
Setiap pagi Ia sedang bernyanyi dan bersiul. Suaminya mengunjunginya setiap pagi di dapur, mereka tampak mesra. Kopi hangat yang ia seduh dengan bara api diaduknya tujuh kali ke kanan ke kiri dengan tangan kirinya yang keriput itu. Ia hanya tersenyum manis saat dipeluk dari belakang suaminya.
 Di usianya yang senja itu tentu sesuatu keluarbiasaan masih menyimpan api cinta yang tak pernah padam. Terkadang senyumnya sampai pada mulut pelung hingga ke tunggu dan ke bara api. Senyum paginya terpancar pada muka tetangga yang selalu kebagian sarapan pagi. Ayam pagi berkokok, ia masih menyalakan tungku dapur. Ia terus memasak. Memasak apa saja yang ada.Â
Pagi itu ia memasak buah pisang kepo yang manis dan buah sukun yang manis di pohon. Dua tungku menyala dengan dua masakan yang berbeda. Di sebelah kiri rebusan di sebelah kanan gorengan. Di meja dapur berjejer piring-piring dan bingkisan. Apakah masakan itu untuk siang hari sebagai bekal ke sawah memanen padi atau buat bekal sekolahan ketiga anaknya yang sekolah berbeda di Bone kota si sulung, di pusat kecamatan Belanga anak tengah dan di SDN desa Belanga si bungsu yang manja itu.
Setelah semuanya terbangun, masing-masing anak harus mengantar sarapan pagi kepada para tetangga yang belum siapkan sarapan. Dari rumah lorong satu hingga lorong tiga di Belanga semua dapat jatah bagi yang membutuhkan. Para lelaki warga di sana kebanyakan ke Malaysia merantau mencari nafkah buat anak istrinya, sebagian masih terperangkap kawin mawin di Kuala Enok atau di Sulawesi Tenggara, di Kalimantan Timur, sebagian pula masih di laut mencari ikan biasanya pulang pukul delapan atau pukul sembilan pagi setelah tangkapannya terjual habis di pasar Benteng Belanga.Â
Tak terkecuali suami Ibu Muliati terbelenggu kesetiaan lantaran ia tak bisa berpisah dengan suaminya. Ia rela miskin harta demi kebersamaan pagi siang malam. Subuh atau pagi hari yang dirindukan, pelukan suaminya dari belakang saat ia sibuk di dapur.Â
Demikian candaan di awal malam layaknya dongeng pengantar tidur. Kedua pasangan itu merupakan perkawinan sepupuan yang ditinggal mati masing-masing ibu mereka. Mertua lelaki ibu Muliati kawin mawin juga dengan beberapa perempuan hingga menelantarkan anaknya (yang kini suaminya). Berbeda dengan bapak dari Ibu muliati ia terperangkap di Kuala Enok Kepri lantaran diusir dari Belanda di era penjajahan hingga setelah Ibu Muliati lahir ia harus meninggalkan pulau celebes.
Banyak perempuan merana di Belanga. Para lelaki mereka sejak penjajahan Belanda terusir dari kampungnya sendiri. Tak heran jika banyak anak yang berdarah Belanda atau sebagai yatim. Sebagian lelaki pelaut di sana dikenal dengan orang Bajau. Sehingga tak heran jika Belanga Bajo merupakan inspirasi dari lelaki Bajau tadi yang gemar berlaut ke Sulawesi Tenggara, Ke Pulau Sumbawa, ke Pulau-pulau di Riau sana hingga ke luar negeri. Banyak perempuan menjanda di sana.Â
Sehingga setiap pagi hanya memeluk selimut dan bantal guling. Berbeda dengan Ibu Muliati selalu pagi bersama dapur dengan masakan tersaji. Bubur nasi buat sarapan pagi anak-anaknya, lima hingga sepuluh piring dikirim ke tetangga yang belum sempat menyalakan tungku dapur. Tetangga dari lorong satu hingga tiga dapat jatah rebusan atau gorengan hasil panen kebun suami dan anak-anak Ibu Muliati.
Tak hanya rebusan dan gorengan sarapan para janda-janda atau anak yatim di Belanga. Demikian di hari lebaran tiba, Ibu Muliati menginisiasi membagikan buras (burasa adalah makanan tradisional masyarakat Bugis). Satu ikat terdiri dari dua bungkus nasi dengan daun pisang. Tiga ikat hingga lebih bergantung jumlah anggota keluarga setiap tetangga ia bagikan. Tak ada kelaparan sarapan di Belanga.Â
Selalu ada pagi dari Ibu Muliati. Dari Ibu Muliati kepada warga di Belanga menjadi penyemangat pagi ketiga anaknya untuk berkeliling dari lorong ke lorong. Hasil kebun dan hasil panen padi suaminya kebanyakan untuk sedekah makanan rumahan kepada warga Belanga.
****
Sepuluh tahun terakhir hingga musim lebaran kali ini keadaan sudah terbalik. Rumah Ibu Muliati sangat sepi. Hanya dikunjungi peziarah yang ingin ke makam para leluhur mereka tepat di belakang kediaman mendiang Ibu Muliati. Nampak berjejer mobil-mobil peziarah dari kota. Para perantau dari Sulawesi Tenggara, dari Kuala Enok Riau, Kalimantan dan dari Malaysia membuat ramai kampung Belanga. Para peziarah khusus warga Belanga tak pernah lupa jasa sarapan pagi dari Ibu Muliati. Sehingga bunga pandan dan bunga bunga lainnya silih berganti warna.
Angin pagi masih berhembus dari arah timur laut, seperti biasa ia menyapa setiap ruang hingga ke ubun. Hanya saja aroma bubur nasi pagi sudah tidak ada. Aroma rebusan pisang kepo dan rebusan sukun hasil panen suami Ibu Muliati kini tak ada lagi.
Ikatan buras Ibu Muliati yang dirindukan oleh warga Belang kini hanya menjadi perbincangan sesekali di antara mereka yang mengingat kisah itu. Ikatan buras itu perlahan terlepas dari ingatan generasi ketiga di Belanga. Pelung dapur yang biasa menjadi seruling pagi Ibu Muliati menjadi kesepian. Abu tungku di dapur kini hanya menjadi debu. Sementara tungkunya sendiri menjadi pajangan depan tangga rumah panggung itu, hanya sesekali menyala jika kerinduan dari anak cucu Ibu Muliati muncul dari jauh dari arah barat Belanga.
Andi Samsu Rijal. Seorang peneliti bidang bahasa dan budaya, Seorang ayah yang penyuka fiksi ini menetap di Maros Sulawesi Selatan dan sedang studi lanjut di Jogja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H