Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Memberantas Perjokian Ilmiah yang Sudah Mengakar

16 Februari 2023   14:50 Diperbarui: 18 Februari 2023   03:50 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dosen saat ini semakin dituntut untuk mengumpulkan kredit sebagai tangga mencapai titik puncak level akademik yakni guru besar (Professor). Dari kredit tersebut antara lain pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. 

Untuk poin pengabdian biasanya hanya sebatas publikasi sederhana baik berupa laporan tertulis, publikasi esai pada media massa cetak/ media online, atau publikasi berupa buku hasil pengabdian. Sementara untuk poin penelitian, dosen dituntut untuk mempublikasikan hasil risetnya pada jurnal beruputasi baik level nasional maupun internasional. 

Pada level nasional dikenal dengan tingkatan akreditasi mulai terindeks google scholar saja (belum terakreditasi, akreditasi sinta 4 hingga sinta 2. Demikian untuk level internasional dikenal dengan terakreditasi / berepupatasi terindeks scopus Q3 hingga Q1. Terlebih untuk kenaikan pangkat dan menuju guru besar. Seorang dosen harus mempublikasikan hasil risetnya pada jurnal terindeks minimal Q3.

ilustrasi perjokian, sumber kompas.id
ilustrasi perjokian, sumber kompas.id

Niat pemerintah pada dasarnya cukup baik. Yakni mengadopsi model pendidikan luar negeri sementara taraf kecakapan dosen kita pada level penelitian tidak merata. Berbeda dengan hanya pengajaran dan pengabdian ini sudah menjadi hal biasa bagi dosen-dosen di Indonesia. 

Akan tetapi mempublikasikan karyanya pada level internasional dengan jurnal terindeks scopus tidak semua mudah bagi dosen tertentu. Sebab ada yang disebut gaya selingkung, studi pustaka (paling tidak membaca banyak karya ilmiah internasional yang terindeks scopus agar bacaan kita tidak abal-abal), novelty (keterbaruan), referensi (sumber rujukan yang tentu tidak sedikit dan memiliki standar tertentu). 

Namun semakin tinggi lembaga pengindeks biasanya semakin rumit dan terkadang free (gratis). Jurnal yang terindeks bagus biasanya gratis dan tidak membutuhkan perjokian dalam penerbitan namun dalam riset dan penyusunan artikel di sini biasa membutuhkan tim.

Dengan permasalahan tersebut sedikit demi sedikit membuka keran perjokian dalam penelitian dan penulisan artikel ilmiah bereputasi hingga pendampingan publikasi agar seorang dosen dapat dengan segera mencapai puncak gelar akademik tadi. Dengan pencapaian tersebut tentu ia akan mendapat pengakuan dalam bidang akademik atas kepakarannya sehingga juga berpengaruh pada karir fungsional di lingkungan kampus.

Melihat problem tersebut yang tentunya sudah mengakar dan membudaya pada lingkungan kampus tertentu. Sehingga perlu kesadaran bagi siapa saja termasuk pemerhati pendidikan dan pemerintah. 

Yang pertama harus dilakukan tentunya adalah pemerintah harus meninjau kembali beberapa regulasi terkait percepatan guru besar yang tidak hanya dinilai dari lembaga pengindeks internasional semata tetapi melihat rekam jejak kepakaran dosen yang bersangkutan. 

Sehingga pemerintah dan kampus sebagai perpanjangan dari bidang pendidikan maka sedianya bisa melihat dan mengukur kemampuan dosen yang berhomebase di kampusnya. Selanjutnya untuk mencegah perjokian tersebut sedianya pemerintah dan pihak kampus memperhatikan kesejahteraan dosen. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun