Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Memberantas Perjokian Ilmiah yang Sudah Mengakar

16 Februari 2023   14:50 Diperbarui: 18 Februari 2023   03:50 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi joki ilmiah. Sumber: Pixabay/Gerd Altmann via Kompas.com

Perjokian di dunia pendidikan masih terus berlanjut mulai dari sekolah hingga ke tingkat perguruan tinggi. Perjokian pada level sekolah pada dasarnya keingin individu untuk memasukkan anaknya sekolah di sekolah tertentu yang dianggap elit. 

Demikian berlanjut pada level perguruan tinggi misalnya di PTN terdapat jalur mandiri dan jalur tersebut menjadi cela perjokian antara keluarga calon mahasiswa dan orang dalam. Lebih lanjut lagi di dalam kampus masih saja ada perjokian yang bisa kita sebut dengan perjokian ilmiah. 

Kenapa dikatakan perjokian ilmiah karena pada dasarnya perjokian ini lebih mengarah pada kasus pembuatan karya tulis ilmiah baik itu tugas makalah, tugas akhir berupa skripsi dan juga perjokian percepatan kenaikan pangkat guru besar. Kasus-kasus perjokian tersebut sangat berdampak buruk terhadap kualitas pendidikan dan masa depan generasi kita.

Pada kesempatan ini penulis hanya akan membahas perjokian di perguruan tinggi. Mengingat perguruan tinggi merupakan gerbong akhir pencapaian tertinggi bagi masyarakat kita di Indonesia.

Pertama saya mencoba merekam beberapa kasus yang pernah dengar dan temui di lingkungan kampus. Untuk hal-hal kecil misalnya joki makalah hingga skripsi pada dasarnya kadang muncul dari belajar kelompok atau mereka temukan sendiri pada jasa-jasa pengetikan dekat dengan lingkungan kampus. 

Jasa pengetikan yang sekaligus jasa pembuatan makalah jauh sebelum adanya platform media sosial. Jasa pengetikan tertentu tidak secara langsung menawarkan jasa pembuatan makalah atau skripsi tetapi si korban yang biasanya tidak sepenuh hati belajar dan tidak mau berproses dengan baik pada akhirnya melakukan pendekatan kepada oknum tertentu. 

Ada beberapa macam cara dilakukan sehingga dapat berhasil. Karena pada dasarnya jasa pengetikan tentu tidak berani membuka jasa perjokian makalah dan skripsi. Mereka juga bisa mengukur kapasitas dirinya hingga resiko dari pekerjaan tersebut.

Ada beberapa oknum mahasiswa, dosen muda yang menjadi bagian dari perjokian ilmiah tadi yang bekerja sama dengan jasa pengetikan. Karena tergiur dengan uang sehingga aktivitas perjokian tersebut berlanjut. Tak hanya di situ, saat ini sedang marak iklan di media sosial terkait pendampingan skripsi dan pendampingan penulisan karya ilmiah seperti jurnal bereputasi nasional dan bereputasi internasional. 

Sehingga melihat dari beragam iklan pendampingan penulisan jurnal ilmiah dapat ditarik kesimpulan bahwa saat ini tidak hanya berupa jasa pengetikan makalah, skripsi namun juga perjokian pendampingan penulisan karya tulis ilmiah hingga publikasi pada jurnal yang dituju.

Merujuk pada persyaratan kenaikan pangkat akademik bagi dosen untuk mencapai gelar guru besar, tentu sangat menyulitkan bagi mereka yang tidak terbiasa dengan pengerjaan seperti itu. Demikian halnya tuntutan dari pihak pemerintah untuk memacu percepatan guru besar di Indonesia agar kelak guru besar ini bisa berkontribusi dengan baik pada generasi pendidikan di Indonesia. Selain itu juga dengan meningkatnya angka guru besar dapat dianggap bahwa pendidikan kita maju dibanding dengan negara lainnya. Memang bahwa pendidikan merupakan salah satu indikator dalam kemajuan suatu negara.

Dosen saat ini semakin dituntut untuk mengumpulkan kredit sebagai tangga mencapai titik puncak level akademik yakni guru besar (Professor). Dari kredit tersebut antara lain pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. 

Untuk poin pengabdian biasanya hanya sebatas publikasi sederhana baik berupa laporan tertulis, publikasi esai pada media massa cetak/ media online, atau publikasi berupa buku hasil pengabdian. Sementara untuk poin penelitian, dosen dituntut untuk mempublikasikan hasil risetnya pada jurnal beruputasi baik level nasional maupun internasional. 

Pada level nasional dikenal dengan tingkatan akreditasi mulai terindeks google scholar saja (belum terakreditasi, akreditasi sinta 4 hingga sinta 2. Demikian untuk level internasional dikenal dengan terakreditasi / berepupatasi terindeks scopus Q3 hingga Q1. Terlebih untuk kenaikan pangkat dan menuju guru besar. Seorang dosen harus mempublikasikan hasil risetnya pada jurnal terindeks minimal Q3.

ilustrasi perjokian, sumber kompas.id
ilustrasi perjokian, sumber kompas.id

Niat pemerintah pada dasarnya cukup baik. Yakni mengadopsi model pendidikan luar negeri sementara taraf kecakapan dosen kita pada level penelitian tidak merata. Berbeda dengan hanya pengajaran dan pengabdian ini sudah menjadi hal biasa bagi dosen-dosen di Indonesia. 

Akan tetapi mempublikasikan karyanya pada level internasional dengan jurnal terindeks scopus tidak semua mudah bagi dosen tertentu. Sebab ada yang disebut gaya selingkung, studi pustaka (paling tidak membaca banyak karya ilmiah internasional yang terindeks scopus agar bacaan kita tidak abal-abal), novelty (keterbaruan), referensi (sumber rujukan yang tentu tidak sedikit dan memiliki standar tertentu). 

Namun semakin tinggi lembaga pengindeks biasanya semakin rumit dan terkadang free (gratis). Jurnal yang terindeks bagus biasanya gratis dan tidak membutuhkan perjokian dalam penerbitan namun dalam riset dan penyusunan artikel di sini biasa membutuhkan tim.

Dengan permasalahan tersebut sedikit demi sedikit membuka keran perjokian dalam penelitian dan penulisan artikel ilmiah bereputasi hingga pendampingan publikasi agar seorang dosen dapat dengan segera mencapai puncak gelar akademik tadi. Dengan pencapaian tersebut tentu ia akan mendapat pengakuan dalam bidang akademik atas kepakarannya sehingga juga berpengaruh pada karir fungsional di lingkungan kampus.

Melihat problem tersebut yang tentunya sudah mengakar dan membudaya pada lingkungan kampus tertentu. Sehingga perlu kesadaran bagi siapa saja termasuk pemerhati pendidikan dan pemerintah. 

Yang pertama harus dilakukan tentunya adalah pemerintah harus meninjau kembali beberapa regulasi terkait percepatan guru besar yang tidak hanya dinilai dari lembaga pengindeks internasional semata tetapi melihat rekam jejak kepakaran dosen yang bersangkutan. 

Sehingga pemerintah dan kampus sebagai perpanjangan dari bidang pendidikan maka sedianya bisa melihat dan mengukur kemampuan dosen yang berhomebase di kampusnya. Selanjutnya untuk mencegah perjokian tersebut sedianya pemerintah dan pihak kampus memperhatikan kesejahteraan dosen. 

Jika dosen merasa nyaman dan sejahtera maka mereka tidak terlalu terburu mengejar gelar guru besar tadi. Beberapa kampus yang penulis temui bahkan ihlas berbagi ilmu pengetahuan (mendidik generasi). Hal ini bahakan menjadi tujuan utama mereka sementara gelar professor katanya hanya pengakuan semata. Selanjutnya di lingkungan kampus perlu sejak dini diberikan pengayaan kepada dosen dan mahasiswa untuk menghindari yang namanya perjokian sebab tentu hal tersebut tidak berberkah untuk kehidupan kita.

Dengan peran pemerintah tadi untuk terlibat dalam menekan angka perjokian bisa saja dilakukan baik melalui proses hukum maupun pembinaan. Namun proses tersebut terkesan kasustik dan tidak menyelesaikan persoalan jangka panjang. 

Olehnya pemerintah perlu memperhatikan nasib pendidik dengan tidak terlalu membenani administrasi termasuk aspek kesejahteraan sehingga dosen bisa fokus semata menjalankan tri dharma perguruan tinggi (pengajaran, pengabdian dan penelitian). 

Selain itu juga perlu ada pembinaan bagi dosen baik pada saat awal perekrutan maupun dalam setiap kegiatan penataran. Sehinga mahasiswa yang mendapatkan proses transformasi ilmu dari dosen mereka juga akan mendapatkan pembinaan ahlak yang baik. Siklus inilah kemudian yang akan menjadi proses pembinaan yang baik dalam menekan angka perjokian di kampus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun