Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/ Writer

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Interpretasi atas Fenomena Sosial; Diskursus Fenomenologi dan Hermeneutika

28 Januari 2023   06:15 Diperbarui: 28 Januari 2023   06:19 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Interpretasi fenomenologi atas fenomena sosial

Fenomenologi atau phenomenology diartikan sebagai ilmu tentang gejala-gejala yang tampak atau menampakkan diri. ''fenomena'' merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita, namun realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran itu sebenarnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti sadar akan sesuatu. 

Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas (intensionallitas merupakan unsur hakiki kesadaran). Justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomena harus dimengerti sebagai suatu hal yang menampakkan diri. ''konstitusi'' merupakan proses tampaknya fenomena-fenomena kepada kesadaran. Fenomena mengonstitusi dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Tidak ada kebenaran pada dirinya lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan kesadaran.

Realitas di sini tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomena bagi kesadaran intensional. Berarti masalah di dalam feneomenologi adalah kesadaran. Hegel di dalam tulisan Ahimsa-Putra (2012) disebutkan bahwa fenomenologi adalah pengetahun sebagaimana pengetahuan itu hadir terhadap kesadaran, atau ilmu tentang penggambaran atas apa yang dilihat dan dirasakan oleh orang. Sehingga dapat kita sebut bahwa masalah dalam filsafat fenomenologi tak lain dari kesadaran manusia.

Menurut pandangan Ahimsa-Putra (2012) bahwa fenomena dapat dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu "menunjuk ke luar" atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran kita, karena fenomenologi selalu berada dalam kesadaran kita. Oleh karena itu dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat "penyaringan" (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Fenomena sosial mejadi objek kajian fenomenonologi, dengan dalil kesadaran. Kesadaran fenomenologi adalah kesadaran pengalaman, atau kesadaran akan pengalaman yang membutuhkan perangkat pengalaman manusia seperti alat pendengaran, penglihatan, perabaan, perasa, pemikiran, emosi dan keinginan (Block; Rasyid, 2005). Sehingga kesadaran fenomenal sangat bergantung pada alat penginderaan, dan alat penginderaan tentu.

Fenomenologi sosial adalah kombinasi konstruksi sosial dari realitas dan etnometodologi. Itu berkaitan dengan bagaimana orang menggunakan interaksi sehari-hari biasa untuk menghasilkan perasaan realitas dan intersubjektivitas. Sebagian besar karya Schutz menyangkut metode yang digunakan untuk konstruksi realitas melalui pengalaman sehari-hari. Sebagaimana dicatut dalam Nindito (2013) bahwa pemikiran Schultz merupakan jembatan pemikiran konseptual antara filosof sebelumnya dengan muara filsafat sosial dan psikologi dengan ilmu sosial yang berkaitan langsung dengan manusia pada tingkat kolektif, yaitu masyarakat. Posisi pemikiran ini tepatnya berada di tengah-tengah pemikiran fenomenologi murni dengan ilmu sosial menyebabkan buah pemikirannya mengandung konsep dari kedua belah pihak. Hal tersebut menandakan bahwa fenomenologi sosial Afred Schultz sangat relevan dan merespon atas adanya fenomena sosial kemasyarakatan sebagai obyek kajian ilmiah.

Seorang fenomenolog adalah orang yang terbuka pada realitas dengan segala kemungkinan rangkaian makna di baliknya, tanpa tendensi mengevaluasi atau menghakimi. Sehingga bisa dikatakan fenomenologi adalah kajian tanpa prasangka. Konsep fenomenologi Husserl juga mengacu (dipengaruhi) oleh konsep verstehen dari Max Weber. Verstehen adalah pemahaman sementara realitas untuk dipahami, bukan untuk dijelaskan. Menurut Husserl, fenomenologi sebagai minat terhadap sesuatu yang dapat dipahami secara langsung dengan indera mereka. Dimana semua pengetahuan diperoleh melalui alat sensor "fenomena"

Terkait intensionalitas, Husserl juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran Brentano terkait intensionalitas. Dalam konsep intensionalitas, Husserl telah membagi dua fenomena; fenomena fisik dan fenomena psikis. Dimana setiap tindakan mental tentu memiliki obek atau isi, objek atau isi inilah dimaksud intensionalitas. Menurut Rasyid (2005, 23) bahwa antara fenomenologi dengan psikologi memiliki kesamaan sebab sinonim dari psikologi deskriptif adalah fenomenologi. Dari konsep intensionalitas Brentano, maka Husserl melahirkan konsep epistemologi fenomenologi tersebut.

Schutz dan ahli fenomenologi sosiologis lainnya mencari bukan hanya untuk mengidentifikasi isi kesadaran kita terkait dengan konsepsi kita tentang realitas sosial dari kehidupan sehari-hari, tetapi juga, bagaimana realitas ini sampai pada asumsi. Pada intinya, Schutz dan ahli fenomenologi sosial pada prinsipnya prihatin dengan kejadian kehidupan sehari-hari atau apa yang disebut Schutz sebagai 'dunia kehidupan'. Di dalam dunia ini, hubungan antara sosial dan alam dunia adalah apa yang menjadi keraguan. Ada keberadaan makna yang ikut bermain namun kebanyakan orang hanya menerima dunia apa adanya dan tidak pernah menebak konsep atau masalah makna yang kedua. Schutz menggali lebih dalam hubungan spesifik seperti perbedaan antara hubungan intim tatap muka dan hubungan yang jauh dan impersonal.

Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspeksi mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung. Perhatian filsafat hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang kehidupan dunia dan kehidupan batiniah. Penyelidikan ini hendaknyaa menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandalkan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.

Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi. Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua ia sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomena -- fenomena. Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu realitas diluar yang kita kenal.

Berangkat dari cita-cita Husserl tentang bagaimana menjadikan fenomenologi ini sebagai ilmu ketat (rigorous) dengan cara mengembalikan akar kebenaran pada sumbernya. Sumber dalam artian adalah teori selama ini mendukung serta dianggap benar (Rosyadi, 2005). Untuk sampai pad aide besar tersebut, Husserl melakukan pencarian kesadaran murni (pure consciousness) dengan tiga tahap reduksi; eidetic, fenomenologis dan trasendental. Reduksi pertama, menyangkut pencarian hakikat atau struktur dasar (eidos), pada tahap reduksi ini menurut Husserl bahwa konsep ini berupaya membersihkan diri dari aksidental maupun eksistensial. Reduksi kedua, pada tahap ini terkait dengan pembersihan kesadaran subyek dari segala prasangka, kepercayaan, teori atau sejenisnya. Pembersihan kesadaran subyek bersifat sementara. Tahap reduksi ketiga, kembali pada esensi kesadaran dan aktivitasnya yakni bagaimana subyek dan aktivitas member makna trasenden pada kesadaran. 

Epistemologi fenomenologi Husserl banyak pula menuai kritik salah satunya adalah Fenomenolog asal Prancis, Merleau-Ponty (1908-1961). Merleau-Ponty melihat kunci ajaran tentang reduksi Husserl di dalam epistemologinya bahwa reduksi berarti kembali ke pengalaman. Sementara pengalaman sendiri merupakan asal muasal, tanah dari mana dapat tumbuh segala makna dan kebenaran. Menurut Merleau-Ponty di dalam ulasan Bertens (1985; 346-347) bahwa filsafat tidak lain merupakan suatu metafisika yang berakar dalam pengalaman, oleh karena itu tugas dari filsafat adalah emngeksplisitkan pengalaman-pengalaman.  

Pengalaman subyek dan obyek merupakan kesadaran kolektif yang tak lain sebagai wujud dari realitas. Ilmu pengetahun berusaha bertindak sesubyektif mungkin agar pengukuran realitas lebih eksakta. Menurut Merleau-Ponty bahwa sikap sientistis akan muncul jika pengukuran gejala dilakukan dengan wajar. Sientisme itu melupakan bahwa sikap ilmiah selalu berakar dalam pengalaman pra-ilmiah. Realitas obyektif yang diandaikan dan diolah oleh ilmu pengetahuan berasal dari dan berdasar pada realitas yang kita alami dalam hidup sehari-hari. Ilmu pengetahuan sama sekali tidak dipahami dengan baik tanpa ada pengalaman pra-ilmiah. 

Perhatian utama Schutz adalah bagaimana orang-orang memahami kesadaran orang lain sementara mereka hidup dalam arus kesadaran mereka sendiri. Dia berbicara banyak tentang intersubjektivitas, tetapi dalam arti yang lebih besar. Dia menggunakannya untuk memaksudkan keprihatinan dengan dunia sosial, khususnya sifat sosial dari pengetahuan. Banyak dari pekerjaannya berkaitan dengan "dunia kehidupan". Dalam hal ini, orang menciptakan realitas sosial di bawah kendala faktor dan struktur sosial dan budaya yang sudah ada sebelumnya. Dia sangat fokus pada "hubungan dialektis antara cara orang membangun realitas sosial dan realitas sosial dan budaya yang mereka warisi dari mereka yang mendahului mereka di dunia sosial".

Schutz juga dikenal karena keyakinannya bahwa manusia berusaha untuk melambangkan segala sesuatu - untuk mengkategorikan orang dan hal-hal untuk lebih memahami mereka dalam konteks masyarakat. Dia percaya bahwa berbagai tipifikasi yang kita gunakan menginformasikan bagaimana kita memahami dan berinteraksi dengan orang-orang dan benda-benda di dunia sosial. Ia menghubungkan karya Edmund Husserl dengan ilmu-ilmu sosial, dan memengaruhi warisan Max Weber tentang fondasi filosofis untuk sosiologi dan ekonomi melalui karya besar Schutz, Phenomenology of the Social World. Schutz bertemu Husserl dan mempelajari karyanya. Fenomenologi adalah studi tentang hal-hal yang muncul (fenomena). Hal ini juga sering dikatakan lebih bersifat deskriptif daripada menjelaskan: tugas utama fenomenologi adalah memberikan deskripsi yang jelas dan tidak terdistorsi tentang cara segala sesuatu muncul ". Ada banyak asumsi di balik fenomenologi yang membantu menjelaskan penciptaannya. Pertama, ia menolak konsep penelitian obyektif. Fenomenolog lebih suka mengelompokkan anggapan melalui proses yang disebut fenomenologis epoche. Kedua, fenomenologi percaya bahwa menganalisis perilaku manusia sehari-hari akan memberikan satu dengan pemahaman yang komprehensif tentang alam. Asumsi ketiga adalah bahwa orang, bukan individu, harus dieksplorasi dan dipertanyakan. Berbicara secara sosiologis, ini sebagian karena orang dapat lebih dipahami oleh cara-cara unik mereka mencerminkan dan melambangkan masyarakat tempat dia tinggal. Keempat, ahli fenologi lebih suka untuk mengumpulkan "capta," atau pengalaman sadar, daripada data tradisional. Akhirnya, fenomenologi dianggap berorientasi pada penemuan, dan karenanya fenomenologis g Ather penelitian menggunakan metode yang jauh lebih sedikit membatasi daripada dalam ilmu lain.

Interpretasi Hermeneutika atas Fenomena Sosial 

Pendekatan hermeneutik dimulai dari pengakuan bahwa fenomena manusia selalu sarat makna. Karena manusia dan apa yang mereka lakukan pada dasarnya bermakna, setiap upaya untuk memahami fenomena semacam itu harus memahami makna (biasanya diam-diam) yang menghuni apa yang hadir dalam pengalaman. Pendekatan ini juga menyatakan bahwa makna ciptaan manusia selalu dapat diakses oleh kita karena kita sendiri adalah makhluk yang memiliki makna yang merupakan bagian dari dunia kehidupan bersama, dunia yang diliputi oleh makna yang muncul selama berabad-abad dan telah menjadi bagian dari warisan semua manusia. dari kita.

"Because humans and what they do are inherently meaningful, any attempt to understand such phenomena must grasp the (usually tacit) meanings inhabiting what presents itself in experience. The approach also holds that the meaning of human creations is always accessible to us because we ourselves are meaning-endowing beings who are part of a shared lifeworld, a world suffused with meanings that emerged over the ages and have become part of the inheritance of all of us" (Guignon, 2012)


Paul Ricouer (1913-2005) adalah salah satu filsuf Francis terkemuka pada abad 20. Fokus Ricoeur pada praktik penafsiran tidak mengusulkan teori umum tunggal yang berlaku dalam setiap kasus. Pendekatannya agak menghubungkan teorinya tentang wacana sebagai penggunaan bahasa yang dimaksudkan untuk mengatakan sesuatu kepada seseorang dengan contoh-contoh wacana tersebut dan interpretasinya. Tetapi bahasa yang diucapkan adalah fana, ia menghilang. Wawasan genial Ricoeur adalah beralih ke contoh yang memperbaiki wacana seperti itu dengan menuliskannya dalam teks atau apa yang mungkin diperlakukan sebagai analog dengan teks. Acara berbicara mungkin hilang tetapi teks tetap untuk siapa saja yang tahu cara membaca. Oleh karena itu, makna teks dan bukan maksud penulis asli atau situasi asal yang menjadi objek interpretasi. Strukturalisme benar bahwa teks memiliki struktur. Tetapi struktur ini bervariasi tergantung pada jenis wacana yang tertulis dalam teks, sehingga membedakan struktur itu dan bagaimana kontribusinya dalam membentuk wacana itu membantu seseorang mengidentifikasi wacana sebagai jenis atau genre tertentu.

Awalnya mengenali genre ini adalah sesuatu seperti tebakan yang harus dikonfirmasi melalui menafsirkan teks, tetapi bacaan yang baik juga membuka penerjemah untuk ditanyai tentang asumsi awal seseorang oleh teks yang dimaksud. Apa yang ditemukan seseorang melalui penyelidikan seperti itu, Ricoeur percaya, adalah bahwa ada sesuatu seperti dunia teks yang tidak terletak di belakang teks tetapi secara metaforis di depannya sebagai sesuatu yang harus dieksplorasi oleh imajinasi penerjemah. Ini adalah dunia yang bisa kita anggap sebagai penghuni. Interpretasi, tentu saja, perlu diperiksa dan ditantang oleh interpretasi lain dan mereka cepat atau lambat perlu diperbaiki ketika situasi berubah seiring waktu. Jadi ada kemungkinan kritik internal dan eksternal: apakah teks itu koheren dalam bentuk generiknya, dapatkah itu dikonfirmasi atau dipalsukan oleh dokumen serupa lainnya atau data berikutnya? Teknik-teknik penjelasan juga memainkan peran, terutama ketika pemahaman rusak. Dalam pergantian kalimat yang bagus, Ricoeur suka mengatakan bahwa seseorang berusaha untuk menjelaskan lebih banyak agar dapat memahami dengan lebih baik. Dia juga setuju dengan teori hermeneutika Hans-Georg Gadamer bahwa apa yang dipertaruhkan dalam interpretasi adalah semacam apropriasi, meskipun Ricoeur melihat ini lebih berorientasi pada tindakan di masa kini daripada apa yang disebut Gadamer sebagai apropriasi tradisi, meskipun tradisi selalu melakukan memiliki peran untuk dimainkan, bahkan ketika dikritik atau ditolak. Selain itu, dia setuju dengan Gadamer, bahwa tujuan interpretasi adalah untuk memungkinkan kita memahami keberadaan kita yang diwujudkan dengan orang lain termasuk para pendahulu dan penerus kita di dunia.

Sebagaimana dikutip pada "The Stanford Encyclopedia of Philosophy" ditulis oleh Pellauer & Dauenhauer (2016) bahwa tema utama yang menelusuri tulisan-tulisan Ricoeur adalah antropologi filosofis. Ricoeur berusaha untuk memberikan penjelasan tentang kemampuan dan kerentanan mendasar yang ditampilkan manusia dalam kegiatan yang membentuk kehidupan mereka, dan untuk menunjukkan bagaimana kemampuan ini memungkinkan tindakan manusia dan kehidupan yang bertanggung jawab bersama. Ricoeur secara konsisten menolak segala klaim bahwa diri segera transparan terhadap dirinya sendiri atau sepenuhnya menguasai dirinya sendiri. Pengetahuan diri hanya datang melalui pemahaman kita tentang hubungan kita dengan dunia dan hidup kita dengan dan di antara yang lain di dunia.

Dalam perjalanan mengembangkan antropologi ini, Ricoeur membuat beberapa perubahan metodologis besar, sebagian sebagai tanggapan terhadap perubahan dalam lingkungan intelektualnya ketika perkembangan baru berbicara tentang topik yang sedang ia hadapi, kadang-kadang dengan cara yang menantang pendekatannya sendiri, sebagian saat ia mengajukan pertanyaan yang muncul dalam karya terbitannya atau yang belum dipertimbangkan di sana. Pelatihan akademisnya adalah dalam tradisi filsafat refleksif Prancis, sebuah tradisi yang berupaya memahami bagaimana "aku" menyadari dirinya sendiri dan pemikiran serta tindakannya mulai dari pengalaman hidup dari kesadaran refleksif, kita menyadari diri kita sebagai ada, berpikir, dan bertindak. Fokus pada kesadaran refleksif ini selalu memainkan peran dalam mengatur pemikiran Ricoeur. Namun, publikasi besar pertamanya setelah Perang Dunia II, ditulis dalam bahasa fenomenologi eksistensial, yang mencerminkan tidak hanya studinya tentang Husserl, yang telah dimulai sebelum Perang Dunia II tetapi juga oleh Karl Jaspers, Gabriel Marcel, Jean-Paul Sartre, dan Maurice Merleau-Ponty. Namun, pada 1960, Ricoeur telah menyimpulkan bahwa untuk mempelajari realitas manusia dengan benar, khususnya dalam kaitannya dengan keberadaan kejahatan, ia harus menggabungkan deskripsi fenomenologis dengan interpretasi hermeneutik. Pergeseran ini menyebabkan peningkatan fokus pada teori penafsiran yang dapat dicangkokkan ke fenomenologi, suatu pendekatan yang ia lihat sebenarnya disebut oleh fenomenologi. Untuk fenomenologi hermeneutik ini, apa pun yang dapat dipahami datang kepada kita melalui dan melalui penggunaan bahasa kita. Sementara bahasa filosofis selalu mengarah pada konsep univocal, sebenarnya bahasa yang digunakan selalu polisemik; itu dapat memiliki lebih dari satu makna, lebih dari satu terjemahan, sehingga semua penggunaan bahasa tentu membutuhkan interpretasi. Giliran hermeneutik atau linguistik dalam pemikiran Ricoeur ini tidak mengharuskan dia untuk menolak hasil dasar dari penyelidikan sebelumnya. Namun, hal itu menuntunnya tidak hanya untuk meninjau kembali pekerjaan itu tetapi juga untuk melihat dengan lebih jelas implikasinya yang lebih luas, khususnya dalam kaitannya dengan dan sebagai tanggapan terhadap perkembangan strukturalisme yang ia lihat sebagai tantangan terhadap pendekatan hermeneutik semacam itu.

Hermeneutika selain sebagai filsafat, juga merupakan sebagai metode penelitian. Beberapa peneliti dalam ilmu sosial-budaya telah menggunakan hermeneutika sebagai metode tafsir dalam memahami teks baik untuk bidang ilmu agama, linguistik, ilmu budaya, sastra maupun ilmu komunikasi seperti yang telah dilakukan oleh Salikun (2015) dan Indraningsih (2016) dimana keduanya menggunakan Fenomenologi Paul Ricouer dalam memahami makna. Menurut Ricoeur sebagaimana dikutip dalam Indraningsih (2016), bahwa setidaknya ada tiga tahap pemahaman terhadap perubahan kehidupan di dalam simbol menjadi cara berpikir. Pertama, disebut sebagai totalitas simbolik dimana fenomenologi sederhana akan berawal dari pemahaman simbol oleh dan dari simbol itu sendiri. Meski tahp ini masih bersifat horizontal, setidaknya tahap ini sudah merupakan tahap memahami symbol. Maksud dari tahap ini kita harus mengikuti proses penafsiran dan terlibat dalam kehidupan sebuah simbol.

Kedua, tahap ini kita sudah masuk ranah hermeneutic, sebab kita sudah terjebak pada lingkaran hermeneutic itu sendiri, dimana interpretasiakan bergantung pada keadaan individual dari teks. Dalam hermeneutika modern, simbol itu sendiri memberikan makna dan bekerja bersama-sama. Hermeneutika mengajak kita untuk berperan dalam dinamika simbol sebagai bagian dari subjek. Hanya melalui peran bersama itulah pemahaman masuk ke dalam dimensi kritik dan akhirnya menjadi hermeneutika. You must understand in order to believe, but you must believe in order to understand (Ricoeur, 1974 dalam Indraningsih (2016). Ketiga, pemahaman akan simbol-simbol secara filosofis, dimana pemikiran berawal dari simbol dan tentang simbol membangun pernyataan dasar bagi wacana di antara manusia. Simbol membangkitkan pikiran sehingga kita harus selalu menghadapi pengulangan simbol dan tiruannya dalam rasionalitas, merasionalisasikan simbol, serta memastikan keberadaannya dalam imajinasi, tempat simbol itu lahir dan membentuk dirinya. Hermeneutika mensyaratkan adanya interpretasi kreatif.

Fenomenologi dan hermeneutika sebagai epistemologi menurunkan paradima berbeda; fenomenologi setidaknya menurunkan fenomenologi (etnosains), etnometodologi dan paradigma fenomenologi sosial (konstruksionis) sementara hermeneutika menurunkan dua paradigma yaitu Paradigma kepribadian kebudayaan dan tafsiriah.

Fenomenologi sebagai gerakan filsafat yang digunakan oleh beberapa fanatisme fenomenologi memandang bahwa fenomenologi sebagai salah satu cara teoritis dan metodologis dalam memahami sebuah gejala sosial budaya masyarakat. Peranan fenomenologi menjadi lebih penting ketika di tempat secara praxis sebagai jiwa dari metode penelitian sosial dalam pengamatan terhadap pola perilaku seseorang sebagai aktor sosial dalam masyarakat, sehingga fenomenologi telah memberikan pengaruh emansipatoris dan praktis dalam penelitian ilmu sosial. demikian implikasi secara teknis dan praxis dalam melakukan pengamatan aktor bukanlah esensi utama dari kajian fenomenologi sebagai perspektif. Fenomenologi Schutz sebenarnya lebih merupakan tawaran akan cara pandang baru terhadap fokus kajian penelitian dan penggalian terhadap makna yang terbangun dari realitas kehidupan sehari-hari yang terdapat di dalam penelitian secara khusus dan dalam kerangka luas pengembangan ilmu sosial.

Hermeneutika sebagai teori interpretasi setidaknya menjadikan tidakan dan teks sebagai obyek. Sejauh ini banyak kalangan beranggapan bahwa hermeneutika hanya fokus pada teks semata padahal secara teoritis ia lebih pada konteks symbol, bahasa dan benda benda di luar teks dan kesemuanya disebut sebagai tindakan atas teks. Sehingga hermeneuitka sebagai disiplin ilmu filsafat juga sangat relevan dalam memahami sebuah gejala atau fenomena sosial dengan caranya sendiri. Bahkan beberapa filosofer hingga peneliti kontemporer menggabungkan kedua episteme tersebut dalam melihat sebuah fenomena. Pada makalah ini belum sampai pada titik lemah kedua episteme dalam melihat fenomena sebagai obyek kajian, begitupun belum sampai pada perbandingan sejarah, tokoh dan pandangan tokoh masing masing atas fenomena.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun