Sebagaimana dikutip pada "The Stanford Encyclopedia of Philosophy" ditulis oleh Pellauer & Dauenhauer (2016) bahwa tema utama yang menelusuri tulisan-tulisan Ricoeur adalah antropologi filosofis. Ricoeur berusaha untuk memberikan penjelasan tentang kemampuan dan kerentanan mendasar yang ditampilkan manusia dalam kegiatan yang membentuk kehidupan mereka, dan untuk menunjukkan bagaimana kemampuan ini memungkinkan tindakan manusia dan kehidupan yang bertanggung jawab bersama. Ricoeur secara konsisten menolak segala klaim bahwa diri segera transparan terhadap dirinya sendiri atau sepenuhnya menguasai dirinya sendiri. Pengetahuan diri hanya datang melalui pemahaman kita tentang hubungan kita dengan dunia dan hidup kita dengan dan di antara yang lain di dunia.
Dalam perjalanan mengembangkan antropologi ini, Ricoeur membuat beberapa perubahan metodologis besar, sebagian sebagai tanggapan terhadap perubahan dalam lingkungan intelektualnya ketika perkembangan baru berbicara tentang topik yang sedang ia hadapi, kadang-kadang dengan cara yang menantang pendekatannya sendiri, sebagian saat ia mengajukan pertanyaan yang muncul dalam karya terbitannya atau yang belum dipertimbangkan di sana. Pelatihan akademisnya adalah dalam tradisi filsafat refleksif Prancis, sebuah tradisi yang berupaya memahami bagaimana "aku" menyadari dirinya sendiri dan pemikiran serta tindakannya mulai dari pengalaman hidup dari kesadaran refleksif, kita menyadari diri kita sebagai ada, berpikir, dan bertindak. Fokus pada kesadaran refleksif ini selalu memainkan peran dalam mengatur pemikiran Ricoeur. Namun, publikasi besar pertamanya setelah Perang Dunia II, ditulis dalam bahasa fenomenologi eksistensial, yang mencerminkan tidak hanya studinya tentang Husserl, yang telah dimulai sebelum Perang Dunia II tetapi juga oleh Karl Jaspers, Gabriel Marcel, Jean-Paul Sartre, dan Maurice Merleau-Ponty. Namun, pada 1960, Ricoeur telah menyimpulkan bahwa untuk mempelajari realitas manusia dengan benar, khususnya dalam kaitannya dengan keberadaan kejahatan, ia harus menggabungkan deskripsi fenomenologis dengan interpretasi hermeneutik. Pergeseran ini menyebabkan peningkatan fokus pada teori penafsiran yang dapat dicangkokkan ke fenomenologi, suatu pendekatan yang ia lihat sebenarnya disebut oleh fenomenologi. Untuk fenomenologi hermeneutik ini, apa pun yang dapat dipahami datang kepada kita melalui dan melalui penggunaan bahasa kita. Sementara bahasa filosofis selalu mengarah pada konsep univocal, sebenarnya bahasa yang digunakan selalu polisemik; itu dapat memiliki lebih dari satu makna, lebih dari satu terjemahan, sehingga semua penggunaan bahasa tentu membutuhkan interpretasi. Giliran hermeneutik atau linguistik dalam pemikiran Ricoeur ini tidak mengharuskan dia untuk menolak hasil dasar dari penyelidikan sebelumnya. Namun, hal itu menuntunnya tidak hanya untuk meninjau kembali pekerjaan itu tetapi juga untuk melihat dengan lebih jelas implikasinya yang lebih luas, khususnya dalam kaitannya dengan dan sebagai tanggapan terhadap perkembangan strukturalisme yang ia lihat sebagai tantangan terhadap pendekatan hermeneutik semacam itu.
Hermeneutika selain sebagai filsafat, juga merupakan sebagai metode penelitian. Beberapa peneliti dalam ilmu sosial-budaya telah menggunakan hermeneutika sebagai metode tafsir dalam memahami teks baik untuk bidang ilmu agama, linguistik, ilmu budaya, sastra maupun ilmu komunikasi seperti yang telah dilakukan oleh Salikun (2015) dan Indraningsih (2016) dimana keduanya menggunakan Fenomenologi Paul Ricouer dalam memahami makna. Menurut Ricoeur sebagaimana dikutip dalam Indraningsih (2016), bahwa setidaknya ada tiga tahap pemahaman terhadap perubahan kehidupan di dalam simbol menjadi cara berpikir. Pertama, disebut sebagai totalitas simbolik dimana fenomenologi sederhana akan berawal dari pemahaman simbol oleh dan dari simbol itu sendiri. Meski tahp ini masih bersifat horizontal, setidaknya tahap ini sudah merupakan tahap memahami symbol. Maksud dari tahap ini kita harus mengikuti proses penafsiran dan terlibat dalam kehidupan sebuah simbol.
Kedua, tahap ini kita sudah masuk ranah hermeneutic, sebab kita sudah terjebak pada lingkaran hermeneutic itu sendiri, dimana interpretasiakan bergantung pada keadaan individual dari teks. Dalam hermeneutika modern, simbol itu sendiri memberikan makna dan bekerja bersama-sama. Hermeneutika mengajak kita untuk berperan dalam dinamika simbol sebagai bagian dari subjek. Hanya melalui peran bersama itulah pemahaman masuk ke dalam dimensi kritik dan akhirnya menjadi hermeneutika. You must understand in order to believe, but you must believe in order to understand (Ricoeur, 1974 dalam Indraningsih (2016). Ketiga, pemahaman akan simbol-simbol secara filosofis, dimana pemikiran berawal dari simbol dan tentang simbol membangun pernyataan dasar bagi wacana di antara manusia. Simbol membangkitkan pikiran sehingga kita harus selalu menghadapi pengulangan simbol dan tiruannya dalam rasionalitas, merasionalisasikan simbol, serta memastikan keberadaannya dalam imajinasi, tempat simbol itu lahir dan membentuk dirinya. Hermeneutika mensyaratkan adanya interpretasi kreatif.
Fenomenologi dan hermeneutika sebagai epistemologi menurunkan paradima berbeda; fenomenologi setidaknya menurunkan fenomenologi (etnosains), etnometodologi dan paradigma fenomenologi sosial (konstruksionis) sementara hermeneutika menurunkan dua paradigma yaitu Paradigma kepribadian kebudayaan dan tafsiriah.
Fenomenologi sebagai gerakan filsafat yang digunakan oleh beberapa fanatisme fenomenologi memandang bahwa fenomenologi sebagai salah satu cara teoritis dan metodologis dalam memahami sebuah gejala sosial budaya masyarakat. Peranan fenomenologi menjadi lebih penting ketika di tempat secara praxis sebagai jiwa dari metode penelitian sosial dalam pengamatan terhadap pola perilaku seseorang sebagai aktor sosial dalam masyarakat, sehingga fenomenologi telah memberikan pengaruh emansipatoris dan praktis dalam penelitian ilmu sosial. demikian implikasi secara teknis dan praxis dalam melakukan pengamatan aktor bukanlah esensi utama dari kajian fenomenologi sebagai perspektif. Fenomenologi Schutz sebenarnya lebih merupakan tawaran akan cara pandang baru terhadap fokus kajian penelitian dan penggalian terhadap makna yang terbangun dari realitas kehidupan sehari-hari yang terdapat di dalam penelitian secara khusus dan dalam kerangka luas pengembangan ilmu sosial.
Hermeneutika sebagai teori interpretasi setidaknya menjadikan tidakan dan teks sebagai obyek. Sejauh ini banyak kalangan beranggapan bahwa hermeneutika hanya fokus pada teks semata padahal secara teoritis ia lebih pada konteks symbol, bahasa dan benda benda di luar teks dan kesemuanya disebut sebagai tindakan atas teks. Sehingga hermeneuitka sebagai disiplin ilmu filsafat juga sangat relevan dalam memahami sebuah gejala atau fenomena sosial dengan caranya sendiri. Bahkan beberapa filosofer hingga peneliti kontemporer menggabungkan kedua episteme tersebut dalam melihat sebuah fenomena. Pada makalah ini belum sampai pada titik lemah kedua episteme dalam melihat fenomena sebagai obyek kajian, begitupun belum sampai pada perbandingan sejarah, tokoh dan pandangan tokoh masing masing atas fenomena.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H