Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/ Writer

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Zaman Menggali Zamrud

7 Januari 2023   14:59 Diperbarui: 9 Januari 2023   12:56 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca dan menafsirkan karya sastra membutuhkan pandangan dan pendekatan berbeda. Misalnya pendekatan dekonstruksi untuk menemukan makna yang terkandung dari contoh-contoh syair yang ada dalam karya tertentu. 

Dekonstruksi pertama kali digagas oleh Jacques Derrida, seorang sosiolog dan kritikus yang selalu berseberangan dengan konsep-konsep filsafat modern, terutama pandangan metafisika dan logosentrisme. 

Dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika Barat seperti fenomenologi Husserlin, strukturalisme Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis Lacanian. 

Sesuatu yang "Ada", dalam konsep metafisika modern, bisa terwakili oleh kata dan tanda. Metafisika modern harus dibongkar (didekonstruksi) untuk menemukan solusi atas permasalahan modernitas. Dekonstruksi menolak adanya gagasan makna pusat. Pusat itu relatif.

Gagasan kunci dekonstruksi ini terdiri dari empat, yakni difference (unsur pembeda makna dalam Bahasa), tilas (trace/jejak; makna Bahasa tidak pernah otonom, dinamis), suplemen (Bahasa aslinya adalah ttuturan lisan sedangkan Bahasa tambahan adalah Bahasa tulis), teks (tidak ada di luar teks, semuanya berada dalam teks). Sehingga dengan pendekatan tersebut dapat memudahkan dalam melacak makna dalam ketiga kumpulan karya dimaksud. 

Sebuah teks sastra dapat melahirkan beragam interpretasi tergantung dari sudut pandang pembaca dan penafsir. Dekonstruksi dapat digunakan membongkar teks, sehingga bisa keluar dari strukturnya atau aspek intrinsik. 

Dekonstruksi membiarkan teks membias dan  menentang segala kemungkinan tafsiran terpusat dan ia bisa saja bersifat paradoks.  Paradoks merupakan bukan kebenaran mutlak, ia dimaksudkan sebagai interpretasi non struktural.

Dalam membaca teks sastra dengan pendekatan dekonstruksi ini, diharapkan seorang kritikus memperhatikan tahapan pembacaannya. Tahapan pembacaan teks sastra dengan pendekatan ini dimulai dengan rekonstruksi yakni membangun struktur dan logika teks dengan melihat keterkaitan contoh yang membentuk satu kesatuan makna. 

Kemudian, tahapan selanjutnya dengan cara mendekonstruksi, yaitu membongkar kesatuan makna yang telah di rekonstruksi sebelumnya. Tahap terakir adalah enskripsi (produksi) dengan menyajikan makna-makna contoh yang telah didekonstruksi.

Membaca karya sastra klasik di era moderen saat ini seakan mengantar kita membaca zaman dan layaknya menggali batu zamrud yang mengkristal pada zaman tersebut. Terdapat kisah tertentu yang ingin dikisahkan agar generasi tidak lagi terjebak pada zaman tertentu. Sebut misalnya karya sastra klasik sastrawan Indonesia Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer). Ada pengalaman tertentu yang menggores dibenak kita akan situasi di era minke dan nyai ontosoro. 

Pengalaman klasik di era modern saat ini akan terkenang dan akan muncul dibenak kita sedia kala. Layaknya zamrud akan muncul meski dalam kumpulan genangan air dan tanah. Demikian karya karya Alvin Toffler, karya Fukuyama yang mampu membaca zaman akan dibuktikan  sendiri oleh pengalaman pembaca kelak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun