Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Zaman Menggali Zamrud

7 Januari 2023   14:59 Diperbarui: 9 Januari 2023   12:56 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca karya sastra membaca zaman dan menggali Zamrud

Membaca Zaman

Penulis kenamaan Alvin Toffler (1928-2016) dinobatkan sebagai seorang Futurist Amerika atas karya terbaiknya di tahun 1970 "The Future Shock" dan karya berikutnya di tahun 1980 "The Third Wave". 

Karya tersebut lahir atas pengalaman dan research beliau di dunia industri, sosial, bisnis dan tentu bidang penulisan, penelitian serius ia mulai sejak awal 1960an. Sehingga kedua karyanya mengkisahkan tentang peradaban manusia dan fase perkembangan manusia. 

Dalam buku "the Third Wave" Ia membagi tiga fase tersebut yang ia sebut sebagai the Third Wave.  Ketiga fase atau gelombang revolusi yang dimaksud adalah the First Wave yaitu zaman Agraria, the second wave yaitu Zaman Industri dan the third wave yaitu pasca industri.

Zaman Agararia digambarkan bagaimana masyarakat pada zaman itu penuh dengan kegigihan untuk bertahan hidup dan melawan hidup dengan cara konvensional dalam kurun waktu cukup lama. Sementara di zaman kedua bahwa manusia berada pada posisi "tools" dari konsumerisasi industri. 

Pada level negara berkembang, manusia pada fase ini lebih cenderung menjadi tenaga ahli pada bidang teknologisasi sebagai perpanjangan tangan dari hasil produksi dari negara maju.  Selanjutnya di akhir dari fase menurut Tofler bahwa manusia dituntut untuk menjadi dirinya sendiri. Pada fase ini manusia tidak lagi menjadi pekerja pada sebuah industri tetapi lebih cenderung menjadi home insudtri atau self industri.

"[[Third Wave Democracy| The third wave]] led to the [[Information Era]] (now). Homes are the dominant institutions. Most people carry on their own production and consumption in their homes or electronic cottages, they produce more of their own products and services and markets become less important for them. People consider each other to be equally free as vendors of prosumer-generated commodities".

Rumah menjadi institusi, dan masyarakat cenderung pada re-produksi dan re-konsumerisasi; lalu menjelam recycle. Hidup manusia dan bumi terkesan recycle, karya-karya manusia cenderung mimesis (Plato), mimesis kemudian menjelma nilai (Aristoteles). Melihat kondisi tersebut juga saat ini tentu kita berada pada fase ketiga dengan menerima keadaan. 

Sebagaimana kutipan "Tomorrow's illiterate will not be the man who can't read; he will be the man who has not learned how to learn." (The Future Shock" A.T.) kita dapat menyimpulkan bahwa kondisi saat ini dan esok kita tentu dituntut untuk tidak buta huruf dan melek teknologi yang tidak lagi disiapkan vokasi untuk mengetahui suatu industri. 

Semua serba cepat dan instant. Maka manusia-manusia sebelum kita sebut saja Albert Einstein yang memadukan logika dan imaginasi, namun lebih mengedepankan imaginasi dibanding pengetahuan. Begitu halnya Isak Newton yang lebih cenderung membungkus imaginasi ketimbang akal sehat. 

Penemuan teori beliau diawali dengan penghayatan dan catatan. Sampai saat ini telah kita nikmati hasil imaginasi mereka dan saya selalu menyebutnya sayap-sayap Newton. 

Membaca Sastra sebagai perwujudan Zaman

Karya sastra sebagai karya kreatif, imaginatif dan sebagai rekaan seni bermediumkan bahasa namun tentu lebih didominasi unsur estetiknya. 

Masyarakat Cina menganggap sastra sebagai Wen dan tradisi bersastra adalah Dao. Mereka mengangap sastra itu sebagai alat interpretasi ralitas masyarakat dan sebuah jalan hidup. Wen diamanatkan sebagai aksara dan prasasti kuno maka dari itu bahasa sastra adalah bahasa klasik. 

Lanjut dari pandangan tersebut bahwa sastra dinilai sebagai Lu Yu atau jalan hidup yang suci (Dao). Sehingga jikalau kita menginterpretasikan bahwa karya sastra sebagai karya seni imaginatif sebagai jalan menuju kearifan maka tentu tidaklah mudah. Sebagaimana Fukuyama menjelaskan dalam buku The End of History and the Last Man (1990) bahwa seorang developer, dalam mencapai titik puncak seperti Donal Trump di AS dan pendaki ulung gunung Everest Reinhold Meissner. 

Dari apa yang mereka terima saat ini bukan hal biasa menurut kita tetapi hal hal biasa menurut mereka. Tentu sudah melewati proses dan wadah idealisme, Fukuyama menyebut itu sebagai perjalanan thymotic, atau proses kehidupan pada level nyaman. 

Saat ini kita sebagai manusia di masa milenial hadir sebagai pembaca kisah dari apa yang ditorehkan para pengkisah melalui hasil perjalanan thymotic tadi. Agar membantu membaca spirit dan semangat dari sebuah karya yang ada.

Apa yang ada di hadapan kita saat ini adalah buah karya dari hasil thymotic tadi begitu juga syair-syair, ditulis oleh penyair tentu sduah melewati sebuah proses kristalisasi ide, idealisme dan juga sebuah proses imaginatif. Sehingga bisa kita sepakati bahwa karya sastra yang ada di tangan kita adalah kebenaran imaginasi. 

Kebenaran imaginasi melukiskan kisah, pengalaman, pengetahuan, pengamatan juga sebuah zaman dimana penulis itu berada. Bahasa dipakai sebagai medium di dalam karya syair itu tentu menggunakan bahasa significance atau konvensi tambahan. 

Maka dalam pembacaan membutuhkan pendekatan estetis jika terkait dengan seni atau keindahan. Pendekatan imaginatif dan pemaknaan jika ingin memahami, menginternalisasi dan mengkritisi teks sastra dan memberi sumbangsi terhadap karya sastra yang telah ada. 

Teknik pembacaan teks sastra ini dapat dilakukan dengan cara mengapresiasi atau mengkritik karya sastra dengan menggunakan pendekatan tertentu sesuai dengan jenis sastra (Puisi) yang akan dikaji.

Membaca dan menafsirkan karya sastra membutuhkan pandangan dan pendekatan berbeda. Misalnya pendekatan dekonstruksi untuk menemukan makna yang terkandung dari contoh-contoh syair yang ada dalam karya tertentu. 

Dekonstruksi pertama kali digagas oleh Jacques Derrida, seorang sosiolog dan kritikus yang selalu berseberangan dengan konsep-konsep filsafat modern, terutama pandangan metafisika dan logosentrisme. 

Dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika Barat seperti fenomenologi Husserlin, strukturalisme Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis Lacanian. 

Sesuatu yang "Ada", dalam konsep metafisika modern, bisa terwakili oleh kata dan tanda. Metafisika modern harus dibongkar (didekonstruksi) untuk menemukan solusi atas permasalahan modernitas. Dekonstruksi menolak adanya gagasan makna pusat. Pusat itu relatif.

Gagasan kunci dekonstruksi ini terdiri dari empat, yakni difference (unsur pembeda makna dalam Bahasa), tilas (trace/jejak; makna Bahasa tidak pernah otonom, dinamis), suplemen (Bahasa aslinya adalah ttuturan lisan sedangkan Bahasa tambahan adalah Bahasa tulis), teks (tidak ada di luar teks, semuanya berada dalam teks). Sehingga dengan pendekatan tersebut dapat memudahkan dalam melacak makna dalam ketiga kumpulan karya dimaksud. 

Sebuah teks sastra dapat melahirkan beragam interpretasi tergantung dari sudut pandang pembaca dan penafsir. Dekonstruksi dapat digunakan membongkar teks, sehingga bisa keluar dari strukturnya atau aspek intrinsik. 

Dekonstruksi membiarkan teks membias dan  menentang segala kemungkinan tafsiran terpusat dan ia bisa saja bersifat paradoks.  Paradoks merupakan bukan kebenaran mutlak, ia dimaksudkan sebagai interpretasi non struktural.

Dalam membaca teks sastra dengan pendekatan dekonstruksi ini, diharapkan seorang kritikus memperhatikan tahapan pembacaannya. Tahapan pembacaan teks sastra dengan pendekatan ini dimulai dengan rekonstruksi yakni membangun struktur dan logika teks dengan melihat keterkaitan contoh yang membentuk satu kesatuan makna. 

Kemudian, tahapan selanjutnya dengan cara mendekonstruksi, yaitu membongkar kesatuan makna yang telah di rekonstruksi sebelumnya. Tahap terakir adalah enskripsi (produksi) dengan menyajikan makna-makna contoh yang telah didekonstruksi.

Membaca karya sastra klasik di era moderen saat ini seakan mengantar kita membaca zaman dan layaknya menggali batu zamrud yang mengkristal pada zaman tersebut. Terdapat kisah tertentu yang ingin dikisahkan agar generasi tidak lagi terjebak pada zaman tertentu. Sebut misalnya karya sastra klasik sastrawan Indonesia Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer). Ada pengalaman tertentu yang menggores dibenak kita akan situasi di era minke dan nyai ontosoro. 

Pengalaman klasik di era modern saat ini akan terkenang dan akan muncul dibenak kita sedia kala. Layaknya zamrud akan muncul meski dalam kumpulan genangan air dan tanah. Demikian karya karya Alvin Toffler, karya Fukuyama yang mampu membaca zaman akan dibuktikan  sendiri oleh pengalaman pembaca kelak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun