Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bermaksud memasukkan sertifikasi RSPO ke dalam Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) untuk pertanian, yang akan diluncurkan tahun depan. Dukungan ini ironis, karena OJK tampaknya lebih mementingkan citra publik daripada keberlanjutan sejati. Dengan mempromosikan RSPO sebagai tolok ukur keuangan hijau, OJK secara efektif melegitimasi industri yang gagal memenuhi standar lingkungan dan sosial dasar. TKBI, yang seharusnya menjadi pedoman yang kuat untuk keuangan berkelanjutan, dapat menjadi kebijakan kosong yang mendukung sertifikasi yang dicuci-hijaukan.
Sementara negara-negara lain menetapkan standar yang lebih tinggi, Indonesia tertinggal dengan taksonomi keuangan hijau yang gagal memenuhi aspirasi keberlanjutannya sendiri. Brasil, misalnya, menggunakan teknologi pemantauan deforestasi secara real-time, sementara Finlandia menekankan audit independen dan transparansi data publik. Sebaliknya, Indonesia terus bergantung pada sistem sertifikasi yang kurang pengawasan, transparansi, dan, pada akhirnya, kredibilitas.
Dengan memasukkan RSPO ke dalam TKBI, OJK mengirimkan pesan yang berbahaya bahwa standar yang lemah dan tidak memadai dapat diterima dalam perjalanan Indonesia menuju keberlanjutan. Alih-alih menuntut industri untuk mematuhi standar lingkungan yang ketat, OJK hanya memungkinkan kedok "hijau" bagi perusahaan yang terus merusak hutan dan menggusur masyarakat. Sikap ini menimbulkan kekhawatiran tentang dedikasi sejati OJK terhadap pembangunan berkelanjutan. Sistem keuangan yang benar-benar berkelanjutan akan menuntut transparansi, pemantauan lingkungan yang ketat, dan mekanisme akuntabilitas yang saat ini tidak dimiliki RSPO.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H