Roundtable on Sustainable Palm Oil atau RSPO sering membanggakan diri dengan upayanya dalam mendorong keberlanjutan dalam industri kelapa sawit. Namun seperti kata pepatah, tindakan lebih berarti daripada kata-kata. Sementara RSPO mengklaim menegakkan transparansi dan konservasi, perusahaan perkebunan kelapa sawit bersertifikat terus terlibat dalam deforestasi besar-besaran, krisis yang merugikan Indonesia hingga USD5,2 miliar atau sekitar Rp82,06 triliun setiap tahunnya. Kebijakan "deforestasi terkendali" RSPO tidak lebih dari sekadar undangan bagi perusahaan untuk berekspansi tanpa kendali, dengan hasil yang menghancurkan. Hampir 47,8% emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari perubahan penggunaan lahan dan deforestasi yang terkait dengan sektor pertanian, termasuk perkebunan kelapa sawit. Terlepas dari janji-janji RSPO, deforestasi tetap merajalela, dan standar lingkungan gagal mencegah emisi gas rumah kaca yang berbahaya. Lantas pertanyaannya, apakah RSPO benar-benar berkomitmen terhadap keberlanjutan, atau hanya sekadar label "hijau"?
Kalimantan Tengah merupakan studi kasus suram tentang kerugian lingkungan di balik pertumbuhan industri perkebunan kelapa sawit. Selama dua dekade terakhir, lebih dari 1,9 juta hektar hutan di wilayah tersebut telah hilang, dengan 725.647 hektar yang paling merusak telah dibuka antara tahun 2015 dan 2019. Angka-angka ini tentu mengejutkan, tetapi yang lebih meresahkan lagi, 80% dari deforestasi ini didorong oleh hanya enam kelompok perusahaan besar, termasuk di antaranya dengan bangga memamerkan sertifikasi RSPO. Meskipun seharusnya mematuhi prinsip "Planet" RSPO, perusahaan-perusahaan ini telah berkontribusi terhadap kerusakan skala besar ekosistem yang seharusnya dilindungi.
Standar RSPO bisa dibilang sangat longgar dalam implementasinya. Standar tersebut mengizinkan penggundulan hutan di bawah kerangka kerja yang "terkendali", yang memungkinkan perusahaan untuk berekspansi dengan pengawasan minimal. Pada tingkat ini, RSPO merupakan kaki tangan dalam penghancuran yang diklaimnya untuk dicegah. Suatu badan sertifikasi yang benar-benar menghargai keberlanjutan akan memprioritaskan pembatasan ketat pada perluasan lahan dan penggundulan hutan, tetapi RSPO tampaknya merasa nyaman memberikan sertifikasi tanpa akuntabilitas lingkungan yang berarti.
Dampak terhadap Komunitas Adat: Terpinggirkan Atas Nama Keuntungan
Konflik lahan juga semakin meningkat, dengan masyarakat adat menanggung beban terbesar dari ekspansi perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2023 saja, tercatat ada 241 konflik agraria di Indonesia, tertinggi ke-6 di Asia, dengan industri perkebunan kelapa sawit sebagai biang keladi utamanya. Angka tersebut sangat mengejutkan---apalagi merabah 638.188 hektar lahan terdampak, dengan 135.608 keluarga terlibat dalam sengketa atas tanah leluhur mereka. Sertifikasi RSPO tidak banyak membantu mencegah pelanggaran tersebut, meskipun melindungi hak-hak masyarakat merupakan salah satu komitmen utamanya.
Di Kalimantan Tengah saja, setidaknya 349 sengketa agraria belum terselesaikan termasuk dari tahun-tahun lama, banyak yang terkait dengan ekspansi kelapa sawit. Meskipun hak-hak masyarakat adat diakui pemerintah berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, masyarakat adat hanya mendapat sedikit dukungan dalam kerangka RSPO. Realitasnya, sertifikasi RSPO sering kali mengabaikan atau bahkan memfasilitasi marginalisasi suara masyarakat adat. Perusahaan-perusahaan bersertifikat terus beroperasi di tanah yang disengketakan tanpa konsultasi atau persetujuan yang memadai dari masyarakat yang terkena dampak. Akibatnya, model RSPO gagal melindungi masyarakat ini, mengungkap kelemahan mendasar dalam klaim keberlanjutannya. Sementara RSPO menggembar-gemborkan misinya untuk memberi manfaat bagi orang-orang, tampaknya hanya korporasi yang mendapat untung. Ini menyoroti masalah yang lebih luas tentang kebutaan RSPO terhadap dampak sosial perkebunan kelapa sawit, karena hal itu memungkinkan korporasi untuk menggembar-gemborkan label "berkelanjutan" tanpa akuntabilitas yang berarti kepada mereka yang paling terkena dampak oleh praktiknya.
Keterlibatan Sektor Keuangan: Topeng Label Hijau untuk Pendanaan Deforestasi
Meskipun terdapat berbagai permasalahan yang terdokumentasi dengan baik dalam industri perkebunan kelapa sawit, perusahaan-perusahaan dalam industri ini terus mengamankan pendanaan besar-besaran dari lembaga-lembaga keuangan Indonesia. Sejak tahun 2016, sebanyak USD39 miliar atau Rp615,46 triliun telah didistribusikan oleh lembaga jasa keuangan kepada para pelaku industri kelapa sawit di Indonesia dalam bentuk kredit dan jaminan untuk sekuritas yang merisikokan hutan. Yang mengejutkan, perusahaan-perusahaan bersertifikat RSPO, bahkan yang dikenal dengan pembukaan lahan dan kebakaran hutan, menerima dukungan substansial dari bank-bank yang menganggap sertifikasi RSPO sebagai bukti keberlanjutan. Kepercayaan buta terhadap RSPO ini menggambarkan keterlibatan sektor keuangan Indonesia dalam melanggengkan kerusakan lingkungan.
Bank-bank Indonesia sangat bergantung pada kredibilitas RSPO, menginvestasikan sejumlah besar uang ke dalam industri yang sebagian besar masih belum diatur meskipun ada klaim keberlanjutan. Hubungan ini memungkinkan bank untuk lepas tangan dari akuntabilitas sambil mengambil untung dari industri yang merusak lingkungan. Hasilnya? Label "berkelanjutan" dari RSPO memungkinkan penggundulan hutan terus-menerus dengan kedok investasi yang bertanggung jawab, menciptakan kedok yang memungkinkan keuntungan finansial tanpa keberlanjutan yang sejati. Kurangnya penilaian kritis oleh bank semakin menggarisbawahi kebenaran yang meresahkan: tanggung jawab lingkungan tetap menjadi hal sekunder dibandingkan keuntungan.
Taksonomi Berkelanjutan OJK: Komitmen Kosong untuk Keberlanjutan Sejati
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bermaksud memasukkan sertifikasi RSPO ke dalam Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) untuk pertanian, yang akan diluncurkan tahun depan. Dukungan ini ironis, karena OJK tampaknya lebih mementingkan citra publik daripada keberlanjutan sejati. Dengan mempromosikan RSPO sebagai tolok ukur keuangan hijau, OJK secara efektif melegitimasi industri yang gagal memenuhi standar lingkungan dan sosial dasar. TKBI, yang seharusnya menjadi pedoman yang kuat untuk keuangan berkelanjutan, dapat menjadi kebijakan kosong yang mendukung sertifikasi yang dicuci-hijaukan.
Sementara negara-negara lain menetapkan standar yang lebih tinggi, Indonesia tertinggal dengan taksonomi keuangan hijau yang gagal memenuhi aspirasi keberlanjutannya sendiri. Brasil, misalnya, menggunakan teknologi pemantauan deforestasi secara real-time, sementara Finlandia menekankan audit independen dan transparansi data publik. Sebaliknya, Indonesia terus bergantung pada sistem sertifikasi yang kurang pengawasan, transparansi, dan, pada akhirnya, kredibilitas.
Dengan memasukkan RSPO ke dalam TKBI, OJK mengirimkan pesan yang berbahaya bahwa standar yang lemah dan tidak memadai dapat diterima dalam perjalanan Indonesia menuju keberlanjutan. Alih-alih menuntut industri untuk mematuhi standar lingkungan yang ketat, OJK hanya memungkinkan kedok "hijau" bagi perusahaan yang terus merusak hutan dan menggusur masyarakat. Sikap ini menimbulkan kekhawatiran tentang dedikasi sejati OJK terhadap pembangunan berkelanjutan. Sistem keuangan yang benar-benar berkelanjutan akan menuntut transparansi, pemantauan lingkungan yang ketat, dan mekanisme akuntabilitas yang saat ini tidak dimiliki RSPO.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H