Perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumut Tahun 2024 telah resmi ditutup oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy pada 20 September 2024. Sejumlah hal menarik pun telah tersaji kepada masyarakat Indonesia, mulai dari Nurul Akmal yang menyulut api ke kaldron utama pada upacara pembukaan, gagalnya Veddriq Leonardo dalam meraih medali emas dalam nomor panjang tebing speed relay putra, keluarnya Jawa Barat sebagai "juara umum", hingga berbagai kontroversi akibat infrastruktur yang belum siap dan pengaturan pertandingan yang dianggap tidak adil. Lantas, bagaimana sebenarnya sejarah penyelenggaran ajang utama multi-event olahraga yang sudah ada sejak 1948 ini? Mengapa PON yang konon dibentuk sebagai ajang pemersatu bangsa sekarang justru jadi ajang adu gengsi antar-provinsi belaka?
PON lahir sebagai manifestasi dari semangat kebangsaan dan usaha untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia mampu bangkit dan bersatu melalui olahraga. Pada tahun 1946, Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) yang dibantu oleh Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI) -- yang kemudian dilebur menjadi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) -- berusaha mempersiapkan atlet-atlet Indonesia untuk mengikuti Olimpiade London 1948. Namun, berbagai rintangan politik dan diplomatik kala itu, termasuk ketidakmampuan Indonesia untuk mengirimkan atletnya akibat belum ada pengakuan dari Komite Olimpiade Internasional (IOC), membuat rencana tersebut gagal, yang menjadi pemicu munculnya ide PON sebagai alternatif kebanggaan nasional.
Pada Konferensi Darurat PORI yang diadakan pada 1 Mei 1948 di Solo, diputuskan untuk menggelar ajang olahraga nasional guna menggantikan partisipasi Indonesia di Olimpiade. PON I akhirnya diselenggarakan pada 8-12 September 1948 di Solo dengan misi besar: membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia, meski sedang dalam tekanan setelah Perjanjian Renville, tetap bisa mengadakan acara olahraga berskala besar. Solo dipilih pada saat itu karena menjadi kota kedudukan PORI dan memiliki fasilitas olahraga terbaik di Indonesia.
Komersialisasi dan Prioritas Anggaran
Dahulu, PON digagas untuk menghidupkan kembali semangat nasionalisme dan persatuan melalui olahraga, tetapi kini ajang ini kerap dijadikan hanya sebagai wahana komersialisasi dan ajang politik. Anggaran yang dikeluarkan untuk membangun infrastruktur mewah kerap berlebihan dan tidak relevan, sering kali mengesampingkan pembinaan atlet daerah yang seharusnya menjadi prioritas utama dengan penyelenggaraaan PON. Ajang yang seharusnya memunculkan potensi atlet lokal kini lebih sering digunakan sebagai ajang pencitraan daerah dengan anggaran besar yang tak jarang mubazir. Banyak stadion dan fasilitas olahraga yang dibangun dengan dana besar namun kemudian mangkrak, tidak dimanfaatkan secara optimal setelah acara selesai.
Penyelenggaraan PON XX di Papua pada 2021 menjadi contoh nyata komersialisasi PON yang akhirnya menjadi kasus korupsi ironis. PON Papua menghabiskan anggaran sebesar Rp10,43 triliun yang diambil dari sejumlah pos APBN, termasuk Dana Otsus Papua sebesar Rp1,1 triliun. Ironisnya, penggunaan dana tersebut harus mengorbankan bantuan perbaikan gizi 'Anak Asli Papua'. Belum lagi, hal ini juga diikuti oleh kontroversi lainnya, kasus korupsi dengan kisaran Rp6 hingga 8 triliun dan melibatkan tokoh-tokoh penting di Papua dari proyek pembangunan infrastruktur dan operasional penyelenggaraan PON XX.
Minimnya Pembinaan Atlet Daerah dan Tidak Ada Translasi pada Kesuksesan Internasional
Cita-cita awal PON untuk membina dan mengembangkan kapasitas atlet-atlet lokal kini juga mulai memudar. Di banyak provinsi, demi ambisi memenangkan medali, daerah lebih memilih untuk "mengimpor" atlet dari provinsi atau bahkan negara lain, mengabaikan potensi lokal yang seharusnya dipupuk dan dikembangkan. Ini membuat PON kehilangan esensi sebagai ajang pencarian bakat nasional sekaligus upaya untuk melibatkan provinsi yang lebih beragam pada ajang internasional, seperti SEA Games, Asian Games, dan bahkan Olimpiade. Sebaliknya, kompetisi ini menjadi sekadar pameran kekuatan finansial yang tidak mencerminkan kualitas pembinaan daerah.
Kontingen Indonesia mengirimkan 29 atlet terbaik untuk berkompetisi dalam 12 disiplin olahraga di ajang Olimpiade Paris 2024. Tim ini terdiri dari 16 atlet putra dan 13 atlet putri yang siap mengharumkan nama bangsa. Jika kita melihat profil mendetail dari atlet yang bertanding, hanya 8 atlet atau kurang dari 28% kontingen Indonesia yang berasal dari provinsi-provinsi di luar Jawa. Sebagai perbandingan, enam provinsi di Jawa meraih 399 medali emas atau sekitar 58% dari total emas yang diperebutkan, seolah mengindikasikan pemerataan pembinaan atlet di Indonesia.
Selain itu, penyelenggaran pertandingan-pertandingan pada setiap edisi PON yang selalu dianggap berhasil juga tidak diikuti oleh kesuksesan tim nasional Indonesia pada ajang internasional. Dalam ajang SEA Games yang selalu didominasi oleh Indonesia hingga 1997, berbagai tim nasional olahraga kita belum mampu menciptakan kesuksesan gemilang lainnya.Â
Selain pada penyelenggaran SEA Games 2011 dengan Indonesia sebagai tuan rumah, kontingen kita hanya mampu meraih posisi terbaik ketiga dalam tabulasi medali akhir. Pada ajang Asian Games, kontingen Indonesia juga belum pernah menembus setidaknya posisi 10 besar dalam akumulasi medali akhir, kecuali pada tahun 2018 ketika Indonesia menjadi tuan rumah, padahal Indonesia sendiri merupakan negara terbesar ketiga di Asia dari segi jumlah penduduk dan kelima dari segi ekonomi.
Kepentingan Politik yang Mendominasi
Semangat kebersamaan dan persatuan yang dulu menjadi landasan utama PON kini tersisih oleh agenda politik. PON menjadi panggung bagi para pejabat daerah dan pusat untuk membangun citra politik mereka, seringkali dengan memanfaatkan anggaran negara yang besar tanpa mempertimbangkan kelangsungan pembangunan infrastruktur olahraga jangka panjang. Kepentingan politik yang mendominasi ini mengaburkan tujuan utama dari PON sebagai ajang olahraga murni yang seharusnya fokus pada pengembangan bakat dan prestasi atlet, serta persatuan antar-provinsi.
Demi mewujudkan penyelenggaraan PON XX yang berstandar internasional, Pemerintah Provinsi Papua di bawah kepemimpinan Gubernur Lukas Enembe mengambil langkah strategis dengan mendatangkan peralatan olahraga dari luar negeri, serta memberikan fasilitas gratis berupa akomodasi, konsumsi, dan transportasi lokal kepada seluruh kontingen.Â
Alhasil, anggaran pun membengkak. Kemudian, empat tahun sebelum hajatan PON tersebut digelar, Lukas Enembe secara resmi meminta Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan agar mengizinkan penggunaan Dana Otsus Papua untuk membiayai pembangunan infrastruktur terkait PON. Melalui konsultasi dan lobi yang panjang, Menteri Keuangan, Sri Mulyani akhirnya menyetujui penggunaan dana tersebut, hingga akhirnya PON XX berhasil diselenggarakan.
Politikus dan Wakil Ketua DPR Papua, Yunus Wonda, menganggap keberhasilan perhelatan PON tersebut untuk mematahkan "isu-isu" seputar masalah keamanan di provinsi tersebut akibat gerakan separatisme yang digerakkan oleh Organisasi Papua Merdeka. Frasa "panggung kesetaraan dan panggung keadilan" yang digunakan Presiden Joko Widodo untuk mendeskripsikan PON XX pada upacara pembukaan juga dianggap merujuk pada situasi sosial kontemporer di Papua. Elit politik nasional diserukan membutuhkan kepercayaan dari elit politik Papua, sedangkan upaya untuk memberikan lampu hijau bagi Papua sebagai tuan rumah PON XX dan persetujuan penggunaan Dana Otsus Papua untuk tujuan yang berbeda dianggap sebagai cara untuk mendapatkan kepercayaan tersebut, sekalipun akhirnya harus mengorbankan masyarakat kecil.
Manajemen Penyelenggaraan yang Buruk
Masalah manajemen penyelenggaraan juga kerap menjadi sorotan. Pada beberapa PON terakhir, muncul berbagai masalah terkait logistik, ketidaksiapan infrastruktur, hingga masalah teknis yang merusak jalannya pertandingan. Kurangnya perencanaan matang membuat pengalaman bagi atlet, pelatih, dan penonton menjadi kurang optimal. Bahkan, sering kali ketidaksiapan ini menciptakan kesan bahwa PON diselenggarakan tanpa visi jangka panjang yang jelas, hanya untuk memenuhi ambisi politik atau komersial sesaat.
Baru-baru ini, pemberitaan terkait PON XXI diramaikan dengan fasilitas yang buruk, sangat jomplang dibandingkan dengan anggaran tinggi yang digunakan. Pemerintah Indonesia mengeluarkan anggaran sebesar Rp811 miliar untuk menggelar PON XXI di Aceh-Sumut 2024.Â
Meskipun demikian, ditemukan arena olahraga yang digunakan dengan jalanan rusak dan kotor, penuh genangan air. Selain itu, ada juga isu bahwa beberapa atlet hanya mengemper di tenda karena tidak mendapatkan tempat istirahat yang layak. Anggota kontingen dari beberapa provinsi juga mengomentari transportasi yang tidak mumpuni dan bahkan harus naik angkot, serta makanan atlet di Aceh dengan porsi yang tidak sesuai harapan.
Sekitar delapan tahun yang lalu, PON XIX yang dilaksanakan di Jawa Barat diwarnai isu ketidaksiapan Panitia Besar (PB) PON dalam menyediakan technical hand book pada cabang olahraga gantole. Di cabang berkuda, juga muncul isu teknis yang menyebabkan aksi boikot dari sembilan kontingen provinsi. Bahkan, pada PON XVII di Riau, sejumlah pendukung sepakbola dari Jawa Timur diberitakan melakukan demonstrasi terhadap PB PON karena keputusan yang dianggap tidak adil.
Refleksi dari Sejarah dan Harapan Masa Depan
Jika kita kembali melihat sejarah penyelenggaraan PON pertama pada 1948, kita diingatkan pada semangat nasionalisme dan tekad untuk bersatu di tengah tekanan global. Pada masa itu, PON menjadi simbol perjuangan bangsa Indonesia untuk mengukuhkan identitasnya di kancah dunia, bahkan di saat negara belum sepenuhnya diakui oleh banyak negara. Misi PON I bukan hanya tentang olahraga, tetapi juga tentang kebanggaan dan kedaulatan nasional, serta persatuan Indonesia yang masih belia. Kini, semangat tersebut tampaknya telah tergerus oleh kepentingan politik dan komersialisasi yang semakin mendominasi penyelenggaraan PON di era modern.
Untuk mengembalikan PON ke cita-cita awalnya, perlu adanya reformasi mendasar, baik dalam manajemen, alokasi anggaran, dan prioritas tujuan. PON harus kembali menjadi ajang pembinaan bakat-bakat muda dari seluruh Indonesia untuk mewujudkan kekuatan bangsa di kompetisi internasional, bukan sekadar ajang pameran politik atau bisnis.Â
Upaya ini harus disertai dengan peningkatan transparansi dalam penggunaan anggaran, serta komitmen untuk membangun infrastruktur olahraga yang bermanfaat jangka panjang bagi masyarakat, bukan hanya sebagai simbol prestise semata. Kita harus mengingat bahwa PON lahir dari perjuangan bangsa Indonesia untuk diakui dunia, dan semangat itu harus tetap hidup dalam setiap penyelenggaraannya. Jika tidak, PON tidak menjadi Pekan Olahraga Nasional, tetapi hanya sekadar Pemborosan Ongkos Negara atau Pesta Orang-orang Narsis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H