Selain pada penyelenggaran SEA Games 2011 dengan Indonesia sebagai tuan rumah, kontingen kita hanya mampu meraih posisi terbaik ketiga dalam tabulasi medali akhir. Pada ajang Asian Games, kontingen Indonesia juga belum pernah menembus setidaknya posisi 10 besar dalam akumulasi medali akhir, kecuali pada tahun 2018 ketika Indonesia menjadi tuan rumah, padahal Indonesia sendiri merupakan negara terbesar ketiga di Asia dari segi jumlah penduduk dan kelima dari segi ekonomi.
Kepentingan Politik yang Mendominasi
Semangat kebersamaan dan persatuan yang dulu menjadi landasan utama PON kini tersisih oleh agenda politik. PON menjadi panggung bagi para pejabat daerah dan pusat untuk membangun citra politik mereka, seringkali dengan memanfaatkan anggaran negara yang besar tanpa mempertimbangkan kelangsungan pembangunan infrastruktur olahraga jangka panjang. Kepentingan politik yang mendominasi ini mengaburkan tujuan utama dari PON sebagai ajang olahraga murni yang seharusnya fokus pada pengembangan bakat dan prestasi atlet, serta persatuan antar-provinsi.
Demi mewujudkan penyelenggaraan PON XX yang berstandar internasional, Pemerintah Provinsi Papua di bawah kepemimpinan Gubernur Lukas Enembe mengambil langkah strategis dengan mendatangkan peralatan olahraga dari luar negeri, serta memberikan fasilitas gratis berupa akomodasi, konsumsi, dan transportasi lokal kepada seluruh kontingen.Â
Alhasil, anggaran pun membengkak. Kemudian, empat tahun sebelum hajatan PON tersebut digelar, Lukas Enembe secara resmi meminta Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan agar mengizinkan penggunaan Dana Otsus Papua untuk membiayai pembangunan infrastruktur terkait PON. Melalui konsultasi dan lobi yang panjang, Menteri Keuangan, Sri Mulyani akhirnya menyetujui penggunaan dana tersebut, hingga akhirnya PON XX berhasil diselenggarakan.
Politikus dan Wakil Ketua DPR Papua, Yunus Wonda, menganggap keberhasilan perhelatan PON tersebut untuk mematahkan "isu-isu" seputar masalah keamanan di provinsi tersebut akibat gerakan separatisme yang digerakkan oleh Organisasi Papua Merdeka. Frasa "panggung kesetaraan dan panggung keadilan" yang digunakan Presiden Joko Widodo untuk mendeskripsikan PON XX pada upacara pembukaan juga dianggap merujuk pada situasi sosial kontemporer di Papua. Elit politik nasional diserukan membutuhkan kepercayaan dari elit politik Papua, sedangkan upaya untuk memberikan lampu hijau bagi Papua sebagai tuan rumah PON XX dan persetujuan penggunaan Dana Otsus Papua untuk tujuan yang berbeda dianggap sebagai cara untuk mendapatkan kepercayaan tersebut, sekalipun akhirnya harus mengorbankan masyarakat kecil.
Manajemen Penyelenggaraan yang Buruk
Masalah manajemen penyelenggaraan juga kerap menjadi sorotan. Pada beberapa PON terakhir, muncul berbagai masalah terkait logistik, ketidaksiapan infrastruktur, hingga masalah teknis yang merusak jalannya pertandingan. Kurangnya perencanaan matang membuat pengalaman bagi atlet, pelatih, dan penonton menjadi kurang optimal. Bahkan, sering kali ketidaksiapan ini menciptakan kesan bahwa PON diselenggarakan tanpa visi jangka panjang yang jelas, hanya untuk memenuhi ambisi politik atau komersial sesaat.
Baru-baru ini, pemberitaan terkait PON XXI diramaikan dengan fasilitas yang buruk, sangat jomplang dibandingkan dengan anggaran tinggi yang digunakan. Pemerintah Indonesia mengeluarkan anggaran sebesar Rp811 miliar untuk menggelar PON XXI di Aceh-Sumut 2024.Â
Meskipun demikian, ditemukan arena olahraga yang digunakan dengan jalanan rusak dan kotor, penuh genangan air. Selain itu, ada juga isu bahwa beberapa atlet hanya mengemper di tenda karena tidak mendapatkan tempat istirahat yang layak. Anggota kontingen dari beberapa provinsi juga mengomentari transportasi yang tidak mumpuni dan bahkan harus naik angkot, serta makanan atlet di Aceh dengan porsi yang tidak sesuai harapan.
Sekitar delapan tahun yang lalu, PON XIX yang dilaksanakan di Jawa Barat diwarnai isu ketidaksiapan Panitia Besar (PB) PON dalam menyediakan technical hand book pada cabang olahraga gantole. Di cabang berkuda, juga muncul isu teknis yang menyebabkan aksi boikot dari sembilan kontingen provinsi. Bahkan, pada PON XVII di Riau, sejumlah pendukung sepakbola dari Jawa Timur diberitakan melakukan demonstrasi terhadap PB PON karena keputusan yang dianggap tidak adil.