Mohon tunggu...
Aldo
Aldo Mohon Tunggu... Lainnya - Detektif informasi, pemintal cerita, dan pemuja mise-en-scène

Everyone says that words can hurt. But have they ever been hurt by the deafening silence? It lingers like the awkward echo after a bad joke, leaving you wondering if you've been forgotten, ostracized, or simply become so utterly uninteresting that even crickets find your company unbearable.

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Kekecewaan di Piala Thomas: Perjuangan Mental Indonesia di Bawah Sorotan

6 Mei 2024   14:00 Diperbarui: 6 Mei 2024   14:05 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara dengan bulu tangkis yang bukan hanya sekadar olahraga, tetapi telah menjadi landasan budaya. Dalam catatan sejarah, Indonesia tidak pernah absen dalam turnamen Piala Thomas sejak tahun 1958.

Tim putra Indonesia telah mengikuti Piala Thomas sebanyak 30 kali, meraih gelar juara sebanyak 14 kali, dan hanya sekali gagal masuk empat tim teratas pada tahun 2012.

Catatan cemerlang Indonesia selalu dihiasi dengan prestasi membanggakan dalam turnamen kejuaraan beregu putra dunia ini. Piala Thomas 2024 menghadirkan cerita lain yang tidak kalah membanggakan dengan Indonesia yang berhasil meraih prestasi sebagai pemenang kedua dalam turnamen tersebut, kalah dari Tiongkok dengan skor 1-3.

Tiongkok berhasil meraih poin dari tunggal pertama, ganda pertama, dan ganda kedua mereka, sedangkan Indonesia hanya berhasil meraih poin melalui Jonatan Christie sebagai tunggal kedua.

Dalam dua edisi terbaru (2022 dan 2024), impian kemenangan Piala Thomas selalu pupus di pertandingan final, setelah tampil gemilang dan berhasil meraih gelar ke-14 pada edisi 2020.

Indonesia menjadi unggulan pertama pada edisi 2020 dan 2022, serta unggulan ketiga pada edisi 2024. Kondisi ini tentu menghadirkan cerita baru tentang pentingnya mentalitas luar biasa dalam turnamen besar kelas dunia.

Meskipun keterampilan teknis tetap menjadi dasar kesuksesan, ada masalah yang lebih dalam yang tampaknya dialami oleh tim putra Indonesia dalam turnamen Piala Thomas -- hambatan mental yang mengancam untuk menggagalkan ambisi bulu tangkis Indonesia.

Beban Berat Ekspektasi: Menuju Gelar Ke-15

Final Piala Thomas selalu menjadi ajang penuh tekanan bagi negara-negara yang terlibat, terutama Indonesia. Dalam sejarah, Indonesia berhasil masuk final turnamen ini dalam 21 kesempatan, dan berhasil mengonversi kesempatan tersebut menjadi 14 gelar yang merupakan rekor terbanyak dalam kejuaraan dunia ini.

Warisan legenda bulu tangkis Indonesia seperti Rudy Hartono,  Ferry Sonneville, Ardy Wiranata, dan Hariyanto Arbi tentu memberikan beban yang tidak mudah, membayangi generasi saat ini yang bertanding pada edisi 2024.

Dukungan kuat dari negara, yang merupakan sumber kebanggaan yang besar, akhirnya berubah menjadi tekanan yang mencekik. Tekanan ini akhirnya terwujud dalam berbagai cara -- reli ketat yang diselingi kesalahan tidak biasa oleh Bagas Maulana, pendekatan ragu-ragu yang menyerahkan inisiatif dari Anthony Ginting, atau keraguan diri yang melumpuhkan dan menguras kepercayaan diri dari Rian Ardianto.

Final edisi 2024 menjadi pelajaran unik bagi Indonesia dan tentunya Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI). 

Sementara skuad Indonesia menunjukkan kilatan kecemerlangan dalam babak-babak sebelumnya dengan mengalahkan Tionghoa Taipei pada semifinal, Korea Selatan pada babak perempatfinal, hingga India sebagai juara bertahan pada penyisihan grup, mereka goyah di bawah tekanan besar final, tidak seperti lawan mereka yang bersorak-sorai di bawah sorotan lampu, sang tuan rumah dan rival abadi, Tiongkok.

Di sini, evaluasi diri yang kritis diperlukan. Apakah proses pemilihan memberi tekanan yang tidak semestinya pada pemain-pemain Indonesia dengan mendorong mereka menjadi pusat perhatian sebelum mereka benar-benar siap secara mental?

Apakah ada sistem yang diterapkan untuk membantu pemain mengelola ekspektasi ini dan menyalurkannya menjadi kekuatan positif yang mendorong performa mereka?

Baptisan Api: Pengalaman dalam Situasi Bertekanan Tinggi

Raksasa bulu tangkis seperti Tiongkok memiliki segudang pengalaman yang diperoleh melalui berbagai turnamen berisiko tinggi.

Mentalitas yang ditempa pertempuran ini memungkinkan mereka untuk menavigasi wahana halilintar emosional dari pertandingan yang ketat, untuk membuat strategi di bawah tekanan, dan beradaptasi dengan taktik lawan dengan cepat.

Sebaliknya, skuad Indonesia, meskipun tidak diragukan lagi dalam konteks bakat, mungkin kekurangan pengalaman mental yang dibutuhkan untuk berkembang dalam lingkungan seperti itu. Statistik pencapaian dari kedua negara bisa menjadi pembanding.

Meskipun Indonesia telah berhasil meraih gelar Piala Thomas sebanyak 14 kali, tim Indonesia membutuhkan waktu 18 tahun untuk menyelesaikan gelar puasa yang dialami.

Sementara itu, Tiongkok bisa meraih kembali gelar juara pada tahun 2018, setelah gagal untuk pertama kalinya masuk final pada edisi 2016 dan kemudian semakin terpuruk dengan kegagalan lolos ke semifinal untuk pertama kali dalam sejarah keikutsertaan mereka.

Pada tahun 2020, Tiongkok kalah dari Indonesia pada babak final dan kembali dikalahkan dua tahun berikutnya pada babak perempatfinal, tetapi bisa kembali juara pada edisi 2024.

Perbandingan mentalitas dapat dikaitkan dengan beberapa faktor. Asosiasi Bulu Tangkis Tiongkok memiliki program pengembangan yang kuat dalam mengidentifikasi dan membina bakat-bakat muda sejak usia dini.

Selain itu, terdapat budaya bulutangkis yang kuat di Tiongkok, dengan banyak orang yang memainkan olahraga tersebut untuk bersenang-senang. Hal ini menciptakan lingkungan kompetitif yang membantu menghasilkan pemain tingkat tinggi dengan mentalitas yang kuat.

Lebih lanjut, para pemain Tiongkok sering kali menerima pelatihan terbaik dan memiliki akses terhadap fasilitas pelatihan yang sangat baik, yang berkontribusi terhadap kesuksesan mereka di tingkat internasional.Kemenangan dalam turnamen semacam ini, besar atau kecil, bisa sangat berharga dalam membangun mentalitas juara dan menumbuhkan keyakinan bahwa mereka bisa menang di panggung terbesar.

Mentalitas ini juga berpengaruh dalam catatan kemenangan para pemain Tiongkok pada turnamen individu. Meskipun baru menang pertama kali pada tahun 1982, Tiongkok telah berhasil meraih 21 gelar juara tunggal putra pada kompetisi All England, dibandingkan dengan 16 untuk Indonesia yang telah juara pada 1959.

Dalam Kejuaraan Dunia BWF, Tiongkok telah meraih 14 gelar juara tunggal putra, dibandingkan Indonesia dengan enam gelar juara. Dengan sistem kompetisi yang mempertandingkan tiga nomor tunggal putra dari lima kemungkinan pertandingan, tentu statistik ini menjadi penting.

Lebih dari Sekadar Kecemerlangan Individu: Kekuatan Semangat Tim

Dinamika tim dan semangat keseluruhan memainkan peran yang penting, namun sering diabaikan, dalam ketahanan mental. Unit yang kohesif dengan dukungan tak tergoyahkan satu sama lain bertindak sebagai penyangga terhadap tekanan.

Rekan satu tim yang merayakan kecemerlangan individu sambil memprioritaskan kesuksesan kolektif menumbuhkan rasa persahabatan dan mentalitas "kami melawan dunia" yang melampaui kegelisahan individu.

Di sini, perlu dilihat secara kritis proses pemilihan tim dan budaya tim. Pada final Piala Thomas 2024, Indonesia menurunkan Anthony Sinisuka Ginting, Jonatan Christie, dan Chico Aura Dwi Wardoyo pada nomor tunggal putra, serta Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto dan Muhammad Shohibul Fikri/Bagas Maulana pada nomor ganda putra.

Pada pertandingan pertama, Ginting yang duduk pada peringkat 7 BWF kalah dari Shi Yuqi (peringkat 2) setelah sebelumnya kalah telak 2-9 dalam rekor pertemuan keduanya.

Fajar dan Rian (peringkat 7) juga kalah dari pasangan Tiongkok, Liang Weikeng/Wang Chang (peringkat 1).

Jonatan alias Jojo (peringkat 3) sempat memberikan harapan bagi Indonesia setelah menang melawan Li Shifeng (peringkat 6) dan rekor pertemuan 6-1.

Pada akhirnya, Indonesia harus merelakan gelar Piala Thomas untuk saat ini setelah Fikri dan Bagas (peringkat 9) kalah dari He Jiting/Ren Xiangyu (peringkat 11). Fajar/Rian dan Fikri/Bagas belum pernah bertemu lawan masing-masing sebelumnya.

Membangun semangat tim yang kuat membutuhkan upaya sadar. Pendekatan yang seharusnya menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama dan sistem pendukung yang kuat sangat penting. 

Para pelatih juga secara aktif harus mempromosikan budaya dukungan dan tanggung jawab kolektif di dalam tim, di atas statistik peringkat dan rekor pertemuan dengan lawan-lawan para pemain Indonesia.

Membangun Mental Juara: Peran Psikologi Olahraga

Program psikologi olahraga yang membekali pemain dengan alat untuk mengelola tekanan, membangun kepercayaan diri, dan mengembangkan rutinitas untuk tetap fokus selama situasi bertekanan tinggi seharusnya menjadi langkah awal yang penting untuk mengatasi hambatan mental yang mungkin dihadapi oleh tim putra Indonesia.

Program-program ini dapat mengajarkan pemain teknik relaksasi, latihan visualisasi, dan strategi latihan mental yang dapat secara signifikan meningkatkan performa mereka di bawah tekanan.

Di sini, investasi pada psikolog olahraga yang berkualitas dan integrasi program mereka ke dalam program bulu tangkis nasional juga penting untuk membentuk budaya baru.

Bimbingan dari veteran bulu tangkis yang telah menaklukkan Piala Thomas dapat memberikan panduan yang tak ternilai, berbagi pengalaman mereka dalam menghadapi tekanan dan kehalusan taktis yang membedakan baik dari hebat di level tertinggi. Mungkin yang paling penting, budaya menang perlu ditanamkan dalam program bulu tangkis nasional.

Hal ini lebih dari sekadar merayakan kemenangan di turnamen besar, tetapi juga melibatkan perayaan kemenangan kecil, menekankan persiapan mental bersama dengan latihan fisik yang ketat, dan menumbuhkan sikap "pantang menyerah". Di sini, kita bisa mendapatkan inspirasi dari dominasi bulu tangkis Tiongkok, dengan mentalitas juara yang telah dipupuk sejak usia muda.

Perubahan budaya ini membutuhkan komitmen dari pelatih, pemain, dan pengurus bulu tangkis untuk memprioritaskan aspek mental permainan di samping aspek fisik.

Kesimpulannya, kekalahan Indonesia di Piala Thomas baru-baru ini menunjukkan kelemahan yang melampaui keterampilan teknis. Dengan mengakui pentingnya permainan mental, menerapkan program pelatihan yang ditargetkan, membina budaya kepercayaan yang tak tergoyahkan, dan memanfaatkan kebijaksanaan mentor berpengalaman, Indonesia dapat menjembatani kesenjangan antara potensi dan kejayaan.

Raksasa bulu tangkis ini memiliki bakat, semangat, dan warisan bulu tangkis yang kaya. Yang dibutuhkan sekarang adalah kekuatan mental untuk menaklukkan perbatasan terakhir dan merebut kembali tempat yang seharusnya di podium tertinggi Piala Thomas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun